Civil Society: M encari Bentuk Peran Negara dan M asyarakat

C. Civil Society: M encari Bentuk Peran Negara dan M asyarakat

Discourse mengenai hubungan negara dengan masyarakat atau hubungan rakyat dengan penguasa dengan sendirinya selalu menarik perhatian para ahli, terlebih jika dikaitkan dalam konteks hubungan keduanya secara struktural. Kajian tersebut sarna menariknya dengan discourse mengenai hubungan agama dan negara dalam banyak literatur tentang pemikiran politik Islam. Namun, discourse mengenai hubungan negara dengan masyarakat, secara substantif meniscayakan suatu jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan seputar; apakah dasar yang melandasi hubungan keduanya; bagaimanakah mekanisme politik bagi pengaturan hubungan keduanya; apakah batasan yang boleh ditetapkan bagi segala bentuk oposisi masyarakat kepada negara; bagaimanakah ciri peran politik masing-masing untuk menentukan sampai pada tingkatan mana bentuk keterkaitan antara peran yang dimainkan oleh negara maupun masyarakat, dan lain sebagainya. Dalam Civil Society salah satu prinsip yang mendasari hubungan antara penguasa dan rakyat adalah prinsip tidak memberikan sangsi hukum kepada anggota masyarakat keeuaIi yang nampak dalam prilaku nyata yang dilakukan oleh individu dalam masyarakat.

Dan seperti diyakini banyak kalangan, prinsip ini untuk pertama kalinya diintroduksikan oleh Umar bin Khattab ra, yang mengatakan bahwa pada zaman Nabi saw,manusia diambil persaksiannya dengan wahyu, tetapi sekarang wahyu telah terputus, maka dari itu, manusia diambil persaksiannya dari apa yang nampak dalam priIaku sehari-harinya. Imam Ghozali, dalam hal ini, malah menegaskan tentang keterbatasan wewenang seorang faqih, sampai dalam urusan menghukumi keislaman seseorang pun, terbatas hanya menghukuminya dari apa yang tampak dari perilaku dan perkataannya saja. Sebab -seperti juga sering ditegaskan Cak Nur-di luar wilayah itu, menjadi urusan Tuhan dengan yang bersangkutan.

Prinsip seperti ini dapat ditelusuri dalam teori Hukum dan perundang- undangan modern tentang watak dan karakteristik hukum modern. Dalam teori hukum modern disebutkan bahwa di antara beberapa ciri dan karakteristik hukum dan perundangan-undangan modern adalah sifatnya yang general (Amanah- Mujarradah), dalam arti tidak mengenal kata "siapa"; juga watak sosialnya dimana Prinsip seperti ini dapat ditelusuri dalam teori Hukum dan perundang- undangan modern tentang watak dan karakteristik hukum modern. Dalam teori hukum modern disebutkan bahwa di antara beberapa ciri dan karakteristik hukum dan perundangan-undangan modern adalah sifatnya yang general (Amanah- Mujarradah), dalam arti tidak mengenal kata "siapa"; juga watak sosialnya dimana

Persamaan di depan pengadilan, yaitu bahwa setiap orang berhak untuk diperlakukan sama di depan pengadilan dengan cara mengikuti prosedur hukum (judicial proceedings) yang berlaku. Dengan kata lain, seseorang ketika dihadapkan pada pengadilan, sebelum didapatkan pembuktian bahwa dirinya telah melanggar hukum dan melakukan kesalahan, pengadilan harus tetap menghormatinya melalui "asas praduga tak bersalah" sampai suatu saat dapat dinyatakan sebagai bersalah atau tidak.

Kemudian persamaan dalam pemerataan kesejahteraan yang merupakan implementasi dari persamaan dalam hak-hak materi. Harta yang menjadi kekayaan negara adalah milik warga seluruhnya. Dan lembaga yang menangani sektor ini dituntut agar mampu memeratakan hasil-hasil kekayaan negara tersebut. Inilah yang disebut keadilan sosial. Keniscayaan pertanggungjawaban atas keputusan-keputusan politik oleh negara atau pemerintah dan pemeliharaan supremasi hukum serta ketentuan-ketentuan etik moral Al-Qur'an juga menjadi ciri -sekaligus merupakan prinsipdalam rnasyarakat madani. Karena dalam Civil Society, ketundukan negara kepada ketentuan-ketentuan etik moral yang telah ditetapkan Tuhan melalui syari'at - Nya merupakan keniscayaan. Jika perundang-undangan modern mensyaratkan prinsip kedaulatan negara dan menjadikannya sebagai salah satu karakteristik terpenting dari negara, maka Islam sesungguhnya tidak mengikatkan prinsip kedaulatan ini kepada seseorang atau segolongan tertentu, tetapi mengikatkannya dengan prinsip kedaulatan syari'at yaitu kedaulatan hukum. Adapun yang dimaksud dengan kedaulatan rakyat (people's sovereignly) adalah kedaulatan yang menjelma menjadi hak rakyat untuk mengawasi atau mengontrol kekuasaan dan pemerintahan, agar dapat memerintah sesuai dengan bimbingan etik moral yang dituntunkan Tuhan. Ini diperlukan agar pelaksanaan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan dapat setiap saat dikontrol sehingga senafas dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Ketentuan seperti ini harus tercermin dalam kehidupan umum dan dijamin secara hukum agar dapat diciptakan suatu sistem pengat uran politik yang perlu bagi realisasi cita-cita syari'at. Civil Society adalah masyarakat demokratis, oleh karenanya selalu mencerminkan adanya kolektifitas pendapat, derni menghindari munculnya pendapat tunggal, utamanya dalam merespon problem-problem sosial dan dinamika masyarakat. Syari’at yang merupakan gagasan politik utama dalam Al-Qur'an relevan dengan semangat ini. Sebab kolektifitas pendapat dan pandangan seperti ini, hanya mungkin terwadahi dalam institusi syari’at yang jika ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang dikenal dengan sistem politik demokrasi. Dengan dernikian, demokrasi merupakan aspek terpenting dari cita-cita politik Civil Society. .Kohesi antara Islam dan demokrasi seperti diadvokasikan oleh Filasuf Pujangga Muhammad Iqbal, sebagaimana sering ditirukan oleh Syafi'l Ma'arif terletak pada prinsip persamaan (equality) yang di dalam Islam dirnanifestasikan oleh tauhid sebagai satu gagasan kerja (a working idea) dalam Kemudian persamaan dalam pemerataan kesejahteraan yang merupakan implementasi dari persamaan dalam hak-hak materi. Harta yang menjadi kekayaan negara adalah milik warga seluruhnya. Dan lembaga yang menangani sektor ini dituntut agar mampu memeratakan hasil-hasil kekayaan negara tersebut. Inilah yang disebut keadilan sosial. Keniscayaan pertanggungjawaban atas keputusan-keputusan politik oleh negara atau pemerintah dan pemeliharaan supremasi hukum serta ketentuan-ketentuan etik moral Al-Qur'an juga menjadi ciri -sekaligus merupakan prinsipdalam rnasyarakat madani. Karena dalam Civil Society, ketundukan negara kepada ketentuan-ketentuan etik moral yang telah ditetapkan Tuhan melalui syari'at - Nya merupakan keniscayaan. Jika perundang-undangan modern mensyaratkan prinsip kedaulatan negara dan menjadikannya sebagai salah satu karakteristik terpenting dari negara, maka Islam sesungguhnya tidak mengikatkan prinsip kedaulatan ini kepada seseorang atau segolongan tertentu, tetapi mengikatkannya dengan prinsip kedaulatan syari'at yaitu kedaulatan hukum. Adapun yang dimaksud dengan kedaulatan rakyat (people's sovereignly) adalah kedaulatan yang menjelma menjadi hak rakyat untuk mengawasi atau mengontrol kekuasaan dan pemerintahan, agar dapat memerintah sesuai dengan bimbingan etik moral yang dituntunkan Tuhan. Ini diperlukan agar pelaksanaan pemerintahan dan penggunaan kekuasaan dapat setiap saat dikontrol sehingga senafas dengan kepentingan dan kemaslahatan rakyat. Ketentuan seperti ini harus tercermin dalam kehidupan umum dan dijamin secara hukum agar dapat diciptakan suatu sistem pengat uran politik yang perlu bagi realisasi cita-cita syari'at. Civil Society adalah masyarakat demokratis, oleh karenanya selalu mencerminkan adanya kolektifitas pendapat, derni menghindari munculnya pendapat tunggal, utamanya dalam merespon problem-problem sosial dan dinamika masyarakat. Syari’at yang merupakan gagasan politik utama dalam Al-Qur'an relevan dengan semangat ini. Sebab kolektifitas pendapat dan pandangan seperti ini, hanya mungkin terwadahi dalam institusi syari’at yang jika ditransformasikan dalam kehidupan modern sekarang dikenal dengan sistem politik demokrasi. Dengan dernikian, demokrasi merupakan aspek terpenting dari cita-cita politik Civil Society. .Kohesi antara Islam dan demokrasi seperti diadvokasikan oleh Filasuf Pujangga Muhammad Iqbal, sebagaimana sering ditirukan oleh Syafi'l Ma'arif terletak pada prinsip persamaan (equality) yang di dalam Islam dirnanifestasikan oleh tauhid sebagai satu gagasan kerja (a working idea) dalam

Pengertian seperti ini, menurut Nurcholish Madjid, akan mengacu kepada kualitas civility, yangmengandung makna t oleransi dan kesediaan pribadi-pribadi untuk menerima beragam pandangan poIitik yang berbeda; juga kesediaan untuk menerima pandangan yang sangat penting bahwa tidak ada jawaban yang paling benar terhadap suatu masalah. Sebab jika tidak demikian, Civil Society, civil society dan lingkungan sosial akan hanya terdiri dari fraksi-fraksi, klik-klik, dan serikat-serikat rahasia yang saling menyerang.

Mengenai bentuk peran negara, tercermin dalam perannya menjalankan tugas- tugas pemerintahan, dalam banyak sekali dimensi, diantaranya pada dimensi atau sektor yang menyangkut kekayaan umum (kekayaan negara), pengembangan solidaritas dan persaudaraan dalam diri masyarakat serta menegakkan keadilan. Pemerintah sebagai representasi dari negara harus rnampu mengemban tugas-tugas yang diarnanatkan kepadanya, utamanya tugas dalam distribusi ekonomi dan pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara yang diperuntukkan bagi kesejahteraan umum. Distribusi tersebut harus merata dan bersemangat keadilan, agar kekayaan dan sumber-sumber ekonomi negara tidak hanya berputar pada segolongan tertentu dalam masyarakat.

Salah satu upaya mengat ur distribusi ekonomi adalah melalui pemberdayaan pelaksanaan zakat dan shodaqah sebagai sumber-sumber ekonomi rakyat, terutarna bagi rnasyarakat lapisan bawah. Sebab, salah satu pandangan yang melatar belakangi mengapa agama memerintahkan menunaikan zakat dan shodaqah adalah agar harta kekayaan tidak dimonopoli oleh segolongan tertentu, maka harus didistribusikan. Tugas seperti ini harus dapat diemban oleh negara atau pemerintah, justru dalam rangka menjaga stabilitas masyarakat. Sebab tidak jarang instabilitas masyarakat disebabkan oleh faktor kesenjangan sosial yang bermula dari tidak adanya pemerataan dalam distribusi ekonorni. Maraknya tuntutan memisahkan diri dari Republik ini pun, jika ditelusuri akar-akamya, bukan saja karena faktor "provinsialisme", tetapi lebih disebabkan karena tidak adanya pemerataan dalam distribusi ekonomi yang dilakukan pemerintah pusat. Peran negara seperti ini sesungguhnya adalah dalam rangka menegakkan keadilan sosial dalam masyarakat itu sendiri.

Diktum peran politik negara yang paling jelas dalam masyarakat mad ani adalah maujudnya hubungan yang sejajar ant ara masyarakat dan negara. Hubungan sejajar ini menganjurkan terciptanya hubungan yang mutualistis, yaitu hubungan yang saling menguntungkan. Negara, rnisalnya, berperan dalam menegakkan pemerintahan yang adil melalui proyekproyek amal kebajikannya. Sementara masyarakat dapat mengambil peran dalam menumbuhkan etos amar ma’ruf yaitu menumbuhkan semangat kebaikan dan kemaslahatan bersama (public good). Atau singkatnya, peran negara adalah memberikan pelayanan, petunjuk dan bimbingan kepada publik disamping menegakkan hukum yang berkeadilan. Sedangkan sumber dan aset produksi bagi proyek-proyek sosial kemasyarakatan adalah masyarakat itu sendiri.