Pembahasan I lmu Kalam M enurut M utakallimin

D. Pembahasan I lmu Kalam M enurut M utakallimin

Para mutakallimin mempunyai ciri khusus dalam membahas Ilmu Kalam, yang berbeda dengan ulama-ulamayang lain. Ahmad Amin menerangkan

demikian: 21

“Bahwa sesungguhnya mut akallimin mempunyai sist em t ersendiri di dalam membahas, menet apkan dan berdalil, berbeda dengan sist em Al-Qr’an dan Al-Hadis sert a fat wa-fat wa sahabat . Dari segi Iain, berbeda dengan sist em filsafat dalam membahas, menet apkan dan berdalil. Sist em mereka berbeda dengan sist em orang- orang sebelumnya dan sesudahnya. unt uk it u akan kami jelaskan secara ringkas. Adapun perbedaan mereka dengan sist em Al-Qur’an ialah karena Al-Qur’an it u mendasarkan seruannya, berpegang pada fit rah manusia. Hampir set iap manusia,

21 Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Juz III., (Kairo: Maktabah Nahdlah al-Misriyah, t.t.) hlm. 11.

dengan fit rahnya mengakui adanya Tuhan, Tuhan yang mencipt akan dan mengat ur alam. Hampir set iap manusia dengan fit rahnya sepakat t erhadap hal t ersebut , sekalipun berbeda menamakan Tuhan it u dan menyebut kan sifat -sifat-Nya. Yang demikian it u baik bagi bangsa yang masih bersahaja (primit if sampai kepada yang t elah maju kebudayaannya.”

FirmanAllah SWT:

“M aka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. Tet aplah at as fit rah Allah yang t elah mencipt akan manusia menurut fit rah it u. Tidak ada perubahan t erhadap cipt aan Allah. It ulah agama yang lurus, t et api kebanyakan manusia t idak menget ahui.” (QS. Ar-Rum [30]: 30).

Dalam menunjukkan dalil, Al-Qur’an selalu menggugah fitrah manusia atau seluruhnya memperhatikan struktur alam dengan segala keindahannya, di mana alam ini merupakan dalil tentang wujud Allah SWT

Firman Allah Swt.:

“Hai manusia, t elah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan it u. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali t idak dapat mencipt akan seekor lalat pun, walaupun mereka ber sat u untuk mencipt akannya. Dan jika lalat it u merampas sesuat u dari mereka, t iadalah mereka dapat merebut nya kembali dari lalat it u. Amat lemahlah yang menyembah dan juga yang disembah (berhala-berhala-pen) it u. “ (QS.Al-Hajj [22]: 73).

Meskipun mutakallimin menggunakan akal untuk mencari Tuhan tetapi mereka tidak puas, karena ada hal-hal yang di luar jangkauan kekuasaan akal manusia, yaitu masalah dogma-dogma itu tidak dihukumi oleh akal. Kalau dogma itu sudah dihukumi oleh akal, maka rahasia dogma itu menjadi tidak rahasia lagi. Dogma akan menjadi lumpuh, karena bertentangan dengan akal, sebab dengan akal, manusia akan mencari Tuhan, dengan jalan memperhatikan alam semesta.

Firman Allah SWT:

“M aha berkat Dzat yang menjadikan gugusan-gugusan bintang-bintang di langit , menjadikan juga padanya mat ahari yang bersinar dan bulan yang bercahoya.” (QS. Al-Furqan [25]: 61).

“(Orang-orang yang berpikir) yait u orang-orang yang mengingat sambil berdiri, duduk dan berbaring dan mereka memikirkan tent ang p encipt aan langit dan bumi, seraya mereka berkat a: ya Tuhan kami! Tiada engkau mencipt an ini dengan sia-sia. M aha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksaan api neraka.” (QS. AIi Imran [3]: 191).

Al-Qur’an adalah kitab suci yang ditujukan kepada setiap orang, baik orang awam maupun orang cendekiawan. Orang awam disuruh melihat dan memperhatikan alam untuk menilai kebesaran Allah SWT Para cendekiawan menyelidiki, menilai dengan saksama, akhirnya mereka beriman kepada Allah SWT. Al-Qur’an memang bukan kitab filsafat, sebab ia tidak hanya diperuntukkan kepada ahli-ahli filsafat dan ahli mantiq saja. Karena kalau demikian, maka Al- Qur’an itu tidak akan dipahami oleh orang awam. Di dalam Al-Qur’an ada ayat- ayat mutasyabihat, yaitu ayat-ayat yang arti lahirnya Tuhan itu seperti makhluk- Nya (Subhanahu wa Ta’ala). Seperti ayat-ayat yang menerangkan tentang determinisme (ijbary) dan indeterminisme (ikhtiyar), tentang wajah Allah SWT, cahaya-Nya, tangan-Nya dan Dia berada di langit dan sebagainya. Di antara ayat- ayat mutasyabihat ialah:

“Katakanlah, sekali-kali tidak akan menimpa kanti, melainkan apa yang telah dilet apkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami dan hanya kepada Allah orang- orang yang beriman harus bert awakal.” (QS. At-Taubah [9]: 51).

“Bagi manusia ada Malaikat telah mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya at as perintah Allah. Sesungguhnya Allah t idak mengubah keadaan suatu masyarakat , sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan bila Allah menghendaki keburukan t erhadap suat u masyarakat, mereka tidak ada yang dapat menolalcnya: Dan sekali -kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia,” (QS. Ar-Ra’du [13]: 11).

“Dan akan tetap kekal wajah (Dzat) Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman [55]:27).

“Tangan (kekuasaan) Allah it u di at as t angan mereka”. (QS. Al-Fat hu [48]: 10).

“Allah (pemberi) cahaya kepada langit dan bumi” (QS. An-Nur [24]: 35).

“Apakah kamu merasa aman t erhadap Dzat yang berkuasa di t angit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi it u bergoncang.” (QS. Al-M ulk [67]: 16).

Akal manusia menetapkan bahwa Allah SWT itu suci dari jisim. Sebab Allah SWT bersifat “tidak ada sesuatu yang semisal dengan-Nya”. Terhadap nash-nash mutasyabihat , kaum muslimin pada masa-masa pertama percaya sepenuhnya terhadap nash-nash tersebut, tanpa membahas sedikit pun ataupun melakukan ta’wil dan menyerahkan segala maksudnya kepada Allah SWT. Imam Malik ra. (W . 179 H) pernah ditanya tentang ayat:

“Allah bersinggasana di atas arasy”. (QS. Thaha [20]: 5).

Maka beliau menjawab bahwa kata, “istiwa” itu tidak asing menurut bahasa, tetapi caranya tidak dapat diterima oleh akal. Beriman kepada-Nya adalah wajib, mempersoalkannya adalah bid’ah.

Terhadap nash-nash mutasyabihat ini, ada beberapa pendapat:

1. Golongan Salaf; mempercayai sepenuhnya kepada nash-nash mutasyabihat . Tetapi mereka menyerahkan maksud yang sebenarnya kepada Allah SWT, mereka tidak mengadakan ta’wil mengenai ayat:

“Tangan Allah it u di atas t angan-tangan mereka” (QS. Al-Fat hu [48]: 10).

Mereka percaya pada (tangan Allah SWT), tetapi keadaan-Nya berbeda dengan tangan manusia. Maksud yang sebenarnya mereka serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT.

2. M u’at t hilah ; berpendapat bahwa kalimat -kalimat yang mengandung sifat-sifat Allah SWT yang tampaknya serupa dengan sifat-sifat makhluk-Nya yang terdapat pada nash-nash mutasyabihat , harus dinafikan (ditiadakan) dari Allah SWT bersifat semacam itu. Agar dengan demikian orang dapat dengan sungguh-sungguh mentaqdiskan akal menyucikan Allah SWT dari serupa dengan makhluk-Nya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (1263-1328) menerangkan: 22

“M ereka (golongan M u’at t hilah) menafikan sfat -sifat Allah SW T M ereka beranggapan bahwa Allah t idak mendengar, t idak berfirman, dan t idak melihat . Karena yang demikian itu t idak bisa t erjadi, melainkan dengan anggot a badan. At as anggapan ini mereka menafikan madlulnya nash-nash mut asyabihat dan menghapuskan makna-makna dari segala seginya” .

Golongan Mu’atthilah timbul pada akhir pemerintahan Bani Umayah, dipimpin oleh Jaham bin Sofwan At-Turmudzi. Dia mati dibunuh pada 128 H. Paham- pahamnya bercampur dengan paham-pahamnya Ja’ad bin Dirham yang juga mati terbunuh pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik.

22 Syaikh al-Islam lbnu Taimiyah, Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, (Beirut: al-’Arabiyah, t.t.) hlm. 18.

3. Golongan M ujassimah atau M usyabbihah. Golongan ini dipimpin oleh Dawud al-Jawariby dan Hisyam bin Hakam Ar-Rafidli. Mereka berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis Nabi mengenai nash-nash mutasyabihat harus diartikan menurut lahirnya (letterlijk) saja. Jadi Allah SWT itu benar-benar mempunyai sifat-sifat seperti sifat-sifat makhluk-Nya. Selanjutnya Ibnu

Taimiyah menerangkan: 23

“Golongan M ujassimah adalah golongan yang menent ang golongan M u’at t hilah. M ereka menet apkan adanya sifat -sifat Allah. Hanya saja mereka menjadikan (menganggap) bahwa sifat -sifat Allah it u sepert i sifat -sifat makhluk-Nya. Maka mereka berkat a: Allah it u mempunyai t angan sepert i t anganku ini dan pendengaran sepert i pendengaranku. M aha suci Allah SW T, M aha Tinggi Allah SW T dan M aha Besar dari hal-hal yang mereka kat akan.”

4. Golongan Khalaf ; mempercayai bahwa nash-nash mutasyabihat itu menerangkan tentang sifat -sifat Allah SWT yang tampaknya menyerupai dengan makhluk-Nya, adalah kalimat- kalimat majaz. Oleh karena itu, harus ditakwilkan sesuai dengan sifat keagungan dan kesernpurnaan-Nya. Seperti:

diartikan kekuasaan Allah SWT.

diartikan Dzat Allah SWT.

diartikan Dzat yang menguasai langit.

Adapun sebab-sebab golongan salaf tidak mengadakan takwil itu ialah:

a. Pembahasan nash-nash mutasyabihat itu tidak memberi manfaat bagi orang awam.

b. Segala yang berhubungan dengan Dzat dan sifatAllah SWT, adalah di luar akal yang tidak mungkin manusia dapat mencapai-Nya, kecuali dengan cara mengiyaskan Allah SWT pada sesuatu. Ini adalah kesalahan yang sangat besar.

Adapun sistem mutakallimin ialah beriman kepada Allah SWT dan segala apa yang dibawa oleh Rasul-Nya. Akan tetapi, mereka perkuat dengan dalil-dalil akal yang disusun secara ilmu mantik. Mereka beralih dari segi fitrah menuju ke arah lingkungan akal pikiran.

23 Ibid.

Firman Allah SWT:

“Berkat a Rasul-rasul mereka: “Apakah ada keragu-raguan t erhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? “ (QS. Ibrahim [14]: 10)

Dari ayat tersebut mutakallimin berpindah dalil dengan barunya alam untuk menetapkan wujudnya Allah SWT. Mengenai nash-nash mutasyabihat, para mutakallimin tidak merasa puas dengan beriman secara ijmal saja, tanpa mengadakan ta’wil. Maka mereka mengumpulkan nash-nash yang pada lahirnya bertentangan, seperti nash-nash yang deterministis, indeterministis, dan ant ropomorfist is .

Mereka menakwilkan nash-nash tersebut dan takwilan itu adalah ciri khusus dari mutakallimin. Menakwilkan nash-nash itu memberikan kebebasan pada akal untuk membahas dan memikirkannya. Dengan sendirinya menimbulkan perbedaan takwilan yang tidak dikenal semasa hidup Rasulullah. Dapat disimpulkan bahwa perpindahan dari periode salaf ke periode khalaf ini disebabkan:

1. Adanya agama-agama yang sudah memfilsafatkan ajaran-ajarannya. Mereka tidak puas dengan hanya disebutkan nash-nash agama saja. Hal ini memaksa mutakallimin menyelidiki cara-cara itu. Maka tersusunlah dalil-dalil akal tentang Allah SWT dan kebenaran Nabi Muhammad SAW.

2. Bahwa pemeluk-pemeluk agama itu dibagi menjadi dua golongan: a) Golongan yang berpegang teguh pada nash-nash kitab suci, tanpa mengadakan penafsiran; b) Golongan yang bebas mempergunakan akal pikiran untuk menafsirkan nash-nash kitab sucinya.

Di dalam agama Buddha dikenal adanya dua golongan, yaitu:

1. Golongan Hinayana, artinya kendaraan kecil. Golongan ini lebih mendekati ajaran Buddha yang awal, pada kitab suci Tripittaka. Dalam Hinayana orang memikirkan keselamatan dirinya sendiri. Pengikut -pengikut golongan ini terdapat di Ceylon, Birma, dan Tailand.

2. Golongan M ahayana, artinya kendaraan besar, terdapat di Tibet, Tiongkok, dan Jepang. Golongan ini berbeda pendapat dengan golongan Hinayana. Mereka berpendapat bahwa segala yang ada ini bersumber pada Buddhi. Mahayana ingin memakai kendaraan besar berdasarkan pada rasa kasih terhadap kemanusiaan yang sedang menderita, juga dapat dipakai untuk membawa orang lain ke arah pelepasan. Sebagai ganti cita-cita menjadi suci, yang dapat dicapai dengan bertapa sekarang tampil ke muka apa yang disebut Bodhisatva, artinya membawa wujud dari Bhodhi, pengetahuan yang akan menjadi Bhodhi. Jadi yang utama sekali ialah motif belas kasihan yang merupakan unsur paling mulia dan sifat yang paling khas dari Buddhisme.

Di dalam agama Yahudi ada tiga golongan yang berbeda cara memahami kitab suci, yaitu: 24

1. Golongan Sadusi atau ash-Shaduqiyah; golongan ini sangat keras berpegang teguh terhadap ayat-ayat kitab Taurat secara letterlijk. Mereka tidak mau menerima tafsiran atau simbol agama yang tidak terdapat dalam kitab Taurat. Sebab hal itu tidak terjamin kebenaran dan keorisinilannya. Demikian juga mereka menolak pendapat-pendapat baru yang berasal dari luar, sebab apabila dicampuri atau terpengaruh ajaran yang bukan-bukan, akhirnya akan mengalami kekaburan dalam ajaran-ajarannya. Mereka menolak segala pengaruh keagamaan yang berasal dari Yunani maupun Mesir kuno. Mereka memegang teguh agama Yahudi seperti keadaannya pada masa Nabi Musa, as.

2. Golongan Parisi atau Al-Farusyim. Golongan ini berbeda dengan golongan pertama. Mereka ini menerima berbagai kepercayaan, ajaran-ajaran dari luar yang masuk ke dalam lapangan agama atau yang berhubungan dengan agama sampai demikian lama menjadi tanda bahwa kepercayaan itu dianggap benar.

3. Golongan Asini atau Essene. Paham keagamaan golongan ini amat sempit sekali, karena banyak sekali rahasia-rahasia keagamaan. Mereka berpegang pada apa yang lebih penting dan dianggap lebih selamat dan mementingkan ritus.

Demikian sekedar gambaran perkembangan umat berbagai pemeluk agama, karena setelah mereka ditinggalkan oleh pendiri atau pembawa agama tersebut, timbullah perbedaan penafsiran terhadap kitab sucinya.

Mengenai golongan Salaf dan Khalaf, maka dapat disimpulkan segi-segi persamaannya, yaitu keduanya sama-sama:

1. Bertujuan mentakdiskan (mensucikan) Allah SWT dari sifat-sifat serupa dengan makhluk-Nya.

2. Berpendapat bahwa nash-nash mutasyabihat itu menerangkan sifat-sifat Allah SWT yang tampaknya mirip dengan sifat -sifat makhluk-Nya itu tidak mempunyai arti yang biasa menurut wadla’nya.

3. Mengakui bahwa nash-nash mutasyabihat itu dipakai sekadar untuk memudahkan pemahaman atau pengertian manusia tentang hal-hal yang berhubungan dengan ilmu kalam.