Apakah yang Dimaksud dengan Lingkaran H ermeneutik?

D. Apakah yang Dimaksud dengan Lingkaran H ermeneutik?

Hermeneutika adalah proses interpretasi untuk membuat pesan kitab suci relevan dengan zamannya, sedangkan lingkaran menunjukkan bahwa usaha interpretasi itu bertitik tolak pada realitas baru yang lalu menuntut kita menginterpretasikan ajaran kitab suci secara baru pula dalam rangka mengubah realitas sebagaimana dituntutkan, dan akhirnya kembali kepada usaha menginterpretasikan kembali firman Allah, dan seterusnya. Menurut Segundo, lingkaran hermeneutik bisa berlangsung dengan dua syarat: pertama, kesangsian- kesangsian atas situasi nyata sungguh-sungguh dalam memperkaya, dan kedua, interpretasi atas kitab suci juga bersifat sungguh-sungguh dalam dan memperkaya (Fr. Wahono Nitiprawiro, 2000: 36-37).

Dalam lingkaran hermeneutik ini sang penafsir dituntut untuk terus menerus melakukan kritik terhadap realitas yang ada sekaligus mengkritik pula pemahaman teologis terhadap realitas tersebut, dan lalu menafsirkannya kembali demi perubahan realitas tersebut. Dengan kata lain, di belakang kritik tersebut sesungguhnya kita selalu dituntut untuk selalu mencurigai suatu tafsir. Atau mencurigai status iman seseorang kepada siapa dia mengabdikan imannya. Pengandaiannya adalah bahwa iman itu sendiri bersifat ideologis karena ia lahir dari tanggapan yang menyejarah dan subjektif terhadap wahyu Allah. Oleh karena itu praksis iman seseorang harus senantiasa diberi kritik dengan selalu membenturkannya dengan realitas konkrit. Baru dengan begitu, makna keberimanan seseorang akan membawa transformasi bagi kehidupan ke arah yang lebih baik.

Dari model lingkaran hermeneutika tampak ada 4 langkah penafsiran yang diajukan Segundo (Fr. Wahono Nitiprawiro, 2000: 36-37; Alfred T. Hannelly, 1999: 28). Langkah itu bisa diuraikan sebagai berikut:

Langkah pertama: cara kita mengalami “realitas yang terumuskan mendorong kita pada posisi kecurigaan ideologis. Pada tahap ini, dalam pengamatan Segundo, Harvey Cox dalam bukunya The Secular City (1966) gagal memasuki kesangsian ideologis karena ia bersikap anti pragmatisme sosial. Cox terlalu sibuk pada langkah pertama yakni cara yang kaya dan mendalam mengalami realitas, dia hanya menyangsikan cara lama mengalami realitas yang bertumpu pada kaidah-kaidah nilai kemanusiaan tertinggi, dan mengajukan alternatif cara baru mengalami realitas yang menjunjung tinggi nilai-nilai efisiensi teknologis tanpa menelisik kepentingan ideologis di balik realitas itu.

Langkah kedua: menerapkan kecurigaan ideologispada seluruh superstruktur ideologis dan khususnya pada teologi. Dalam konteks ini, menurut Segundo, Marx sukses membongkar ideologi dalam masyarakat, tapi gagal membangun transformasi dalam agama, bahkan tidak menyentuh sedikitpun. Marx sukses pada langkah pertama mengalami realitas sejarah sebagai perjuangan kelas. Ia juga memiliki komitmen Langkah kedua: menerapkan kecurigaan ideologispada seluruh superstruktur ideologis dan khususnya pada teologi. Dalam konteks ini, menurut Segundo, Marx sukses membongkar ideologi dalam masyarakat, tapi gagal membangun transformasi dalam agama, bahkan tidak menyentuh sedikitpun. Marx sukses pada langkah pertama mengalami realitas sejarah sebagai perjuangan kelas. Ia juga memiliki komitmen

Langkah ketiga: Dari cara baru mengalami realitas teologis mendorong kita pada kecurigaan eksegesis. Kita mulai mengangsikan interpretasi Kitab Suci yang ada karena tidak mengikutsertakan data yang penting. Menurut Segundo, Max Weber dalam The Protestant Ethic and the spirit of Capitalism (1904-1905) sukses melihat peranan agama. Weber secara sosio-psiko-historis berhasil mencari peranan superstruktur (agama, etika protestan) terhadap hubungan sosial ekonomi (gairah usaha untuk memperoleh untung, kerja keras, berhemat, menabung dan menumpuk harta spirit kapitalisme). Tapi sebagai seorang Calvinis ia tidak memiliki komitmen terhadap transformasi masyarakat.

baru dengan menginterpretasikan Kitab Suci secara baru, lebih kaya dan mendalam. Dengan demikian kita juga mengalami realitas secara baru pula.

Menurut Segundo, James H. Cone adalah seorang teolog asal Arkansas, negara bagian Amerika Serikat yang dengan komitmennya terhadap transformasi pembebasan manusia berhasil melalui tahap-tahap penafsiran teologi pembebasan dalam praksis sosial melalui karyanya A Black Theology of Liberation (1970). Cone merumuskan teologi pembebasan kulit hitam dalam rangka memberikan acuan teologis dan praktis untuk pembebasan warga kulit hitam yang miskin, tertindas, dan terdiskriminasi. Ia bertolak dari praksis iman yang dialaminya yakni pembebasan kelas kulit hitam di Amerika Utara, yang ditindas oleh kelas kulit putih lengkap dengan ideologi dan teologi pembenaran status quo-nya yang menindas.

Cone mepresentasikan Black Theology-nya ke dalam 4 langkah. Langkah pert ama Cone mengalami realitas di Amerika Utara sebagai perjuangan pembebasan kelas kulit hitam dan makna ketuhanannya dihubungkan dengan solidaritas dengan mereka yang dibelenggu penindasan.

Langkah kedua setelah melakukan analisis sosial untuk membongkar sistem- sistem dominasi, seperti rasisme, seksisme, kolonialisme, kapitalisme dan militerisme, Cone sampai pada kecurigaan ideologis terhadap pendapat kelas kulit putih bahwa warna kulit jangan dijadikan titik perbedaan demi kesatuan dan universalitas manusia.

Langkah ketiga Cone mengalami kecurigaan eksegesis terhadap cara berteologi kelas kulit putih yang berpusat pada universalitas konteks, yang menutup kemungkinan mendekati Kristus yang terikat dengan kebudayaan tertentu. Dalam hal ini Cone berupaya menafsirkan kembali pesan-pesan Kitab Suci yang sudah didistorsi dan menjadikan Allah menjadi spirit pemberdayaan masyarakat agar lebih manusiawi. Terakhir Cone menekankan cara baru yang kaya dan mendalam mengalami Kitab Suci sebagai wahyu yang relevan bagi perjuangan kelas kulit hitam untuk pembebasan zaman kita sekarang. Termasuk juga disini kebutuhan terhadap bahasa teologi baru Langkah ketiga Cone mengalami kecurigaan eksegesis terhadap cara berteologi kelas kulit putih yang berpusat pada universalitas konteks, yang menutup kemungkinan mendekati Kristus yang terikat dengan kebudayaan tertentu. Dalam hal ini Cone berupaya menafsirkan kembali pesan-pesan Kitab Suci yang sudah didistorsi dan menjadikan Allah menjadi spirit pemberdayaan masyarakat agar lebih manusiawi. Terakhir Cone menekankan cara baru yang kaya dan mendalam mengalami Kitab Suci sebagai wahyu yang relevan bagi perjuangan kelas kulit hitam untuk pembebasan zaman kita sekarang. Termasuk juga disini kebutuhan terhadap bahasa teologi baru

Cara berteologi yang demikian itu menyadari betul bahwa iman sendiri sesungguhnya adalah refleksi individual atau penghayatan terhadap Firman Allah dalam situasi konkrit dan menyejarah. Dengan demikian, berteologi semacam ini sungguh-sungguh akan mendorong untuk lebih bersikap dewasa dan terbuka kepada realitas dan perkembangan pengetahuan yang bisa menjadi bahan untuk memperkaya keberagamaan kita, terutama dalam mengambil sikap terhadap realitas sejarah yang selalu bergerak dinamis.