Perbedaan M etode I lmu Kalam dengan I lmu-ilmu ke-I slam-an Lainnya

G. Perbedaan M etode I lmu Kalam dengan I lmu-ilmu ke-I slam-an Lainnya

Yang akan dibicarakan di sini ialah perbedaan metode ilmu kalam dengan beberapa ilmu-ilmu ke-Islaman lainnya, yaitu:

a. Filsafat I slam

Filsafat Yunani telah menarik perhatian kaum muslimin, terutama sesudah ada terjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab sejak zaman Khalifah Al-Manshur (754-775 M) dan mencapai puncaknya pada masa Al- Makmun (813-833 M) dari khalifah Bani Abbasiyah. Ilmu Rethorika, ilmu tentang cara berdebat atau adabul bahtsi wal munadharah sebagai bagian dari filsafat Yunani mendapat perhatian tersendiri dari kaum muslimin, sebagai suat u yang membicarakan tentang tata cara berdebat.

Filsafat Yunani ternyata bukan hanya kalangan mutakallimin saja yang mengambil manfaat sebagai alat untuk memperkuat dalil-dalil kepercayaan Islam dalam menghadapi lawan-lawannya, tetapi juga dari kalangan ahli-ahli filsafat Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan lain-lainnya.

Mutakallim in mengambil filsafat Yunani dan mempertemukannya dengan ajaran-ajaran Islam yang lahirnya sepertinya bertentangan. Dibuangnya yang nyata-nyata bertentangan tidak bisa ditauqifkan dan diambilnya hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Mutakallimin sebenarnya lebih dahulu lahir daripada ahli-ahli filsafat Islam sebagaimana diterangkan Ahmad Amin sebagai berikut: 40

40 Ibid., hlm. 10.

“Sebenarnya para mutakallimin, yait u goIongan-golongan M u’t aziIah, M urji’ah, Syi’ah, Khawarij dan lain-lainnya, lebih dahulu lahir daripada fi losof-filosof Islam. Filosuf Islam pert ama yang dikenal it u ialah al-Kindi (wafat kira-kira 260 H). Berpuluh-puluh t ahun sebelum it u t erdapat mut akallimin sepert i washil bin At ho’, Amr bin ‘Ubaid, Abul Hudzail Al-’Allaf, An-Nazham. M ereka ini membahas persoalan-persoalan ilmu kalam dan t elah melet akkan dasar-dasarnya dan prinsip- prinsipnya. seberum it u t erdapat Hasan ar-Basri (642-728 M ) pada masa pemerint ahan Bani Umayah dan Ghilan ad-Damasyqi, Jaham bin Shafwan mengemukakan masalah-masalah ilmu kalam.”

Filsafat Yunani sampai di kalangan umat Islam melalui orang-orang Kristen Nestorius dan Kristen Yacobus sebelum Al-Kindi. Al-Kindi (w. 873 M) adalah orang yang berhak diberi gerar sebagai filosof Islam yang pertama, karena dialah yang pertama-tama mempelajari filsafat Islam secara menyeluruh. Masuknya firsafat Yunani kedalam Islam, terutama filsafat metafisika, telah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan bagi kaum muslimin pada waktu itu. Apalagi terdapat perbedaan metode berpikir antara golongan filsafat dengan golongan ilmu kalam

dalam masalah metafisika. Dalam hal ini Ahmad Amin menerangkan: 41

41 Ibid., hlm. 18.

“Sebenarnya mut akallimin it u lebih dahulu percaya pada pokok persoalan iman dan menet apkan kebenarannya dan memercayainya. Kemudian mereka mempergunakan dalil-dalil pikiran unt uk membuktikannya. M ereka membukt ikannya dengan akal pikiran, sebagaimana Al-Qur’an membukt ikannya dengan wujdan. Adapun ahli-ahli filsafat membahas persoalan-persoalan it u secara bebas dari pengaruh-pengaruh dan kepercayaan-kepercayaan. Kemudian mereka memulai penyelidikannya sambil menyusun dalil-dalil sampai kepada pembukt iannya, berjalan set apak demi set apak, sehingga sampai kepada kesimpulan sebagaimana adanya hasil ini mereka pegangi (mempercayainya). Inilah t ujuan filsafat dan landasannya. M emang lepas sama sekali dari kecenderungan, adat ist iadat , dan lingkungan hidup, adalah t idak mungkin berhasil secara sempurna. Hal ini t elah t erjadi di mana filosof-filosof Yunani t elah t erpengaruh oleh kepercayaan-kepercayaan t erhadap berhala-berhala, “Sebenarnya mut akallimin it u lebih dahulu percaya pada pokok persoalan iman dan menet apkan kebenarannya dan memercayainya. Kemudian mereka mempergunakan dalil-dalil pikiran unt uk membuktikannya. M ereka membukt ikannya dengan akal pikiran, sebagaimana Al-Qur’an membukt ikannya dengan wujdan. Adapun ahli-ahli filsafat membahas persoalan-persoalan it u secara bebas dari pengaruh-pengaruh dan kepercayaan-kepercayaan. Kemudian mereka memulai penyelidikannya sambil menyusun dalil-dalil sampai kepada pembukt iannya, berjalan set apak demi set apak, sehingga sampai kepada kesimpulan sebagaimana adanya hasil ini mereka pegangi (mempercayainya). Inilah t ujuan filsafat dan landasannya. M emang lepas sama sekali dari kecenderungan, adat ist iadat , dan lingkungan hidup, adalah t idak mungkin berhasil secara sempurna. Hal ini t elah t erjadi di mana filosof-filosof Yunani t elah t erpengaruh oleh kepercayaan-kepercayaan t erhadap berhala-berhala,

Ahmad Amin mengutip pendapat Ibnu Khaldun: 42

“Sesungguhnya pemikiran seorang filosof t ent ang ket uhanan adalah pemikiran t ent ang adanya wujud yang mut lak dan hal-hal yang bert alian dengan wujud it u sendiri. Dan pemikiran seorang ahli ilmu kalam t ent ang wujud dari segi “karena wujud ini bisa menunjukkan kepada Dzat yang mewujudkannya.” Kesimpulannya bahwa objek ilmu kalam bagi mut akallimin ialah kepercayaan-kepercayaan keimanan sesudah dianggapnya benar menurut syariat dan mungkin dibukt ikan dengan dalil-dalil pikiran.”

Namun demikian,banyak masalah-masalah metafisika yang tidak bisa diterangkan benar dan salahnya oleh pikiran manusia, karena masalahnya memang tidak terjangkau oleh panca indra manusia. Ahmad Amin mengutip

pendapat Ibnu Sina: 43

43 Ibid. Ibid.

“Tent ang kebangkit an jasmani di akhirat kelak dan hal-hal yang berhubungan dengan it u (sepert i nikmat kubur dan siksanya, pert anyaannya-pen), t idak mungkin dicapai dengan pembukt ian. Hal ini t elah dibent angkan oleh syariat Nabi M uhammad SAW yang benar. M aka perhatikanlah dan kembalikanlah kepadanya dalam hal-halyang berhubungan dengan itu.”

Karena adanya perbedaan system itulah maka tidak ayal lagi kalau sering terjadi perbedaan pendapat antara filosof dan mutakallimin, dalam persoalan-

persoalan yang sama. Selanjutnya Ahmad Amin menjelaskan: 44

“Sebenarnya mut akallimin mencurahkan perhat iannya unt uk mempert ahankan kepercayaan-kepercayaan agamanya dan memat ahkan alasan-alasan lawannya. Baik lawan it u dari kalangan kaum muslimin sendiri maupun non-M uslimin. M aka mereka banyak mengut ip pendapat -pendapat dan menolaknya. Ahli-ahli filsafat Islam, t erut ama pada fase-fase pert ama, kebanyakan mereka menerapkan hakikat nya sesuat u at au paling t idak apa yang mereka memercayainya sebagai kebenaran hakikat nya sesuat u dan membukt ikannya t anpa banyak mengut ip pendapat -pendapat yang berlainan sert a menolaknya. oleh karena inilah maka ahli - ahli filsafat it u menuduh mut akallimin nt erupakan golongan skept isme dan ahli jadal.”

44 Ibid., hlm. 19.

Ahmad Amin mengutip pendapat Abu Hayyan at-Tauhidy: 45

“Aku bert anya kepada Abu Sulaiman: Apakah perbedaan ant ara sist em mut akallimin dan ahli-ahli filsafat? Jawabnya: sebagaimana t elah jelas bagi set iap kepandaian membedakan ant ara yang benar dan salah, akal dan pengert ian. Sist em mut akallimin it u berdasarkan mengaitkan sat u kat a dengan kat a yang lain, membandingkan sesuat u dengan sesuat u yang lain sert a berpegangan kepada perdebat an. oleh karena it u, saling salah menyalahkan, t olak-menolak alasan masing-masing at au berakhir perselisihan t erhadap hal-hal yang disepakat i.”

Bila diperhatikan secara saksama, bagaimanapun pemikiran filsafat itu tidaklah murni, mesti terpengaruh oleh kepercayaan-kepercayaan agama. Seperti Heraclitos, filosof Yunani yang berpendapat bahwa segala sesuatu berasal dari api. Hal ini terpengaruh dari kepercayaan kepercayaan agama-agama Timur. Agama Mesir kuno mengajarkan bahwa sumber segala sesuatu yang ada itu adalah Dewa Rha atau Dewa Matahari. Orang-orang India lama mengatakan bahwa sumber

yang ada ini adalah Dewa Agni atau Dewa Api. 46 Antara ilmu kalam dan fllsafat Islam ada perbedaan cara pembinaannya.

Ilmu kalam timbul secara berangsur-angsur dan mula-mula hanya berupa hal yang terpisah. Tetapi filsafat ini seakan-akan serentak. Sebab bahan-bahannya diperoleh dari Yunani dan sebagaimana dalam keadaan sudah lengkap atau hampir lengkap. Mereka ahli-ahli filsafat itu tinggal mempertemukan dengan aiaran-aiaran agama. Filsafat Islam memasuki seluruh ilmu-ilmu ke-Islaman di mana ilmu kalam adalah merupakan puncak daripadanya.

b. Fiqih

Objek pembahasan ilmu kalam dengan fiqih memang berbeda. Kalau ilmu kalam itu membicarakan tentang akidah yang seharusnya dipeluk atau dipercayai oleh setiap Muslim, maka fiqih ini membahas tentang hal-hal yang bertautan dengan hukum-hukum perbuatan lahir, meliputi ibadah, mu’amalah, munakahat,

jinayat, waris, dan lain-lain. Diterangkan Abdul Hamid Halim bahwa: 47

46 Ibid. 47 Agni dalam bahasa Jawa menjadi geni artinya api. Abd. Hamid Hakim, As-Sullam, (Bukit Tinggi: Nusantara) hlm. 8.

“Fiqih adalah ilmu t ent ang hukum-hukum syariat yang sist emnya dengan ijt ihad. Sepert i menget ahui bahwa niat dalam wudhu it u wajib, dan lain sebagainya dari masalah-masalah ijt ihadiyah, karena sabda Nabi M uhammad SAW : Bahwa sesungguhnya amal it u harus dengan niat. Sedangkan wudhu it u t ermasuk daripada amal.”

Ilmu kalam membahas tentang prinsip-prinsip keyakinan Islam, sedangkan fiqih membahas tentang masalah furu’iyah yang bertalian dengan amal lahiriah. Membahas masalah keesaan Allah SWT adalah merupakan salah satu dasar kepercayaan agama. Sedangkan fiqih itu mengatur tentang praktis amaliah pengabdian seorang M uslim kepada Khaliknya.

c. Tasawuf

Ilmu kalam itu berlandaskan nash-nash agama, dipertemukan denqan dalil- dalil pikiran dalam membahas akidah dan ibadah merupakan amal badaniyah yang diupayakan dapat menetap ke dalam hati nurani, sehingga bisa membentuk jiwa beragama. Tasawuf lebih banyak menggunakan perasaan (dzauq) dan latihan

kejiwaan (riyadlah) dengan memperbanyak amal ibadah. Menurut Ibnu Khaldun: 48

‘‘Ilmu t asawuf ini t ermasuk ilmu-ilmu yang baru dalam Islam. Asal pokok ajarannya, bahwa cara prakt ik ubudiyah mereka sejak daripada masa orang-orang salaf dan sahabat -sahabat besar, kemudian para t abiin dan orang-orang sesudahnya, sebagai jalan yang benar dan hidayah.” (HR. Ibnu Khaldun)

48 Muqaddimah, hlm. 467

Selanjutnya diterangkan pula bahwa: 49

“Asal pokok dari ajaran t asawuf it u adalah t ekun beribadah, berhubungan langsung pada Allah SW T, menjauhkan diri dari kemewahan dan kemegahan dunia, t idak suka pada hart a dan kemegahan yang diburu oleh orang banyak, dan bersunyi-sunyi dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Hal ini dilaksanakan secara umum oleh sahabat -sahabat Nabi dan orang-orang salaf, t et api kemudian pada abad kedua Hijriyah, set elah orang rebut an mengejar hart a dunia dan orang sudah enak-enak bergelimang dengan hart a it u, maka orang-orang yang t et ap t ekun beribadah sepert i sediakala dinamakan dengan sebut an orang-orang sufi.”

Jadi unsur-unsur tasawuf ialah tekun beribadah, memutuskan bergantung hatinya selain kepada Allah SWT, menjauhkan diri dari pengaruh kemewahan hidup dan foya-foya, berkhalwat dalam melaksanakan ibadah. Kekuasaan Bani Abbasiyah yang telah mulai mantap pada abad kedua Hijriyah, dengan kekayaan negara yang berlimpah, menyebabkan sebagian khalifah dan keluarganya hidup berfoya-foya, banyak melanggar syara’ dan sebagainya. Keadaan inilah yang

mendorong pesatnya gerakan sufi. Imam Al-Ghazali (1059-1111 M) mengatakan: 50

50 Ibid. Hujjah al-Islam al-Ghazali, Al-Muqidz Min al-Dlalah, (Beirut: Maktabah al-Sya’biyah, t.t.) hlm.

“Kemudian sesudah aku (Al-Ghazali) menyelesaikan perajaran ilmu-ilmu ini, aku menghadapkan keinginanku menurut jalannya orang-orang t asawuf. Aku menget ahui bahwa jalan mereka itu bisa sempurna hanya dengan ilmu dan amal. Dan hasil amal it u memot ong segala gangguan at au penghalang nafsu -nafsu, membersihkan diri dari akhlak t ercela dan sifat -sifat yang kot or, sehingga berhasil mengosongkan hat i selain Allah dan menghiasinya dengan selalu menyebut asma (zikir) Allah.”

Kenyataan menunjukkan bahwa pada masa akhir hayat Al-Ghazali, dia menuruti perilaku para sufi, memperbanyak ibadah dan zikir kepada-Nya sebagai orang yang faqir.

Zikir menurut Abu Qasim al-Qusyairi: 51

“Zikir adalah unsur yang kuat (pent ing) di dalam menuju jalan Allah SW T, bahkan zikir adalah t iang pada jalan ini. Seseorang t idak akan sampai kepada Allah SW T melainkan dengan senant iasa berzikir. Zikir it u ada dua macam. Zikir dengan lisan dan zikir dengan hat i. Zikir lisan menyampaikan hamba kepada berkekalan zikir dengan hat i dan berpengaruh sepert i dzikirnya hat i. Apabila seorang hamba, it u berzikir dengan lisan dan hat i, maka dia menjadi orang yang kamil (sempurna) sifat dan keadaan tingkah lakunya.”

Selanjutnya diterangkan pula bahwa: 52

52 Qasim al-Qusyairi, Risalah al-Qusyairiyah, (Mesir: Musthofa at-Babi al-Halabi, t.t.) hlm. 110. Ibid. hlm. 111.

“Sebagian daripada kekhususan zikir sesungguhnya t idak dit ent ukan wakt unya. Bahkan tidak ada suat u wakt u dari wakt u-wakt u yang banyak, kecuali hamba itu diperint ahkan berzikir dalam wakt u it u, ada kalanya dengan perint ah yang wajib dan adakalanya dengan perint ah yang sunat . Shalat sekalipun merupakan ibadah yang paling mulia, kadang-kadang t idak diperkenankan pada sebagian wakt u-wakt u t ert ent u, sedangkan zikir dengan hati diharapkan kont inuit asnya pada segala keadaan.”

Selanjutnya tentang zikir diterangkan: 53

“Janganlah kamu meninggalkan zikir karena engkau belum selalu ingat kepada Allah SW T di wakt u berzikir sebab kelalaianmu t erhadap Allah SW T ket ika engkau t idak berzikir lebih berbahaya daripada kelalaianmu t erhadap Allah SW T ket ika engkau berzikir. Semoga Allah SW T menaikkan derajat mu dari zikir dengan kelalaian ke t ingkat zikir yang disert ai kesadaran (ingat ), ziki r yang disert ai dengan rasa hudhur dan dari zikir yang disert ai rasa hudhur kepada dzikir hingga lupa segala sesuat u selain Allah SW T. Dan yang demikian it u bagi Allah SW T t idaklah sulit .” []

53 Syaikh Ibnu Athoillah, Syarah Hikam, (Mesir: Musthofa al-Babi al-Halabi, t.t.) hlm.34.