Kiri I slam H assan H anafi

B. Kiri I slam H assan H anafi

Kiri Islam Hassan Hanafi Merupakan Bentuk Kritik atas Problem Modernitas di Dunia Ketiga. Kazuo Shimogaki, pemerhati Timur Tengah asal Jepang, merasa terpesona pada pemikiran Hassan Hanafi dengan Kiri Islamnya. Kiri Islam berupaya menggali dan mewujudkan makna revolusioner dari agama, sebagai konsekuensi dari keberpihakannya kepada rakyat yang lemah dan tertindas (al-mustadl`afîn).

Sehingga ia mendapatkan tempatnya tersendiri dalam konstelasi “pemikiran- pemikiran alternatif”. “Kiri Islam bukanlah Islam yang berbaju Marxisme, karena itu menafikan makna revolusioner dari Islam sendiri. Ia juga tidak berarti bentuk eklektik antara Marxisme dengan Islam, karena hal demikian hanya menunjukkan bentuk pemikiran yang tercerabut dari akar, tanpa pertautan yang erat dengan realitas kaum muslimin. Namun jelas, Kiri Islam akan mengusik kemapanan: kemapanan politik dan agama.” Demikian tegas Kazuo Shimogaki dalam bukunya, yang diterjemahkan LKIS Yogyakarta: Kiri Islam Antara Modernisme dan Posmodernisme: Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi. Buku tersebut diterjemahkan dari judul aslinya: Between Modernity and Postmmodernity The Islamic Left and Dr Hassan Hanafi’s Though: A Critical Reading.

Radikalitas, progresivitas, kontekstual, dan resistensi yang menggelora terhadap arus hegemoni peradaban Barat, adalah nuansa-nuansa Kiri Islam yang segera menggeliatkan Shimogaki pada arus baru “dekonstruksi peradaban” yang dewasa ini sangat deras mengalir dan dikenal luas sebagai gelombang “posmodernisme”. Yaitu rangkaian tendensi teoritik dalam berbagai bidang, baik seni maupun pengetahuan, untuk membongkar “aporia” peradaban modern yang dibangun di atas landasan humanisme dan rasionalisme dalam pikiran manusia dan membunyikan bias kekerasan erosentrisme-imperialistik dalam wacana modernisme. Menurut Kazuo, Hassan Hanafi meskipun menolak dan mengkritik Barat, namun ia tak pelak lagi, terhadap ide-ide liberalisme Barat, demokrasi, rasionalisme, dan pencerahan yang telah mempengaruhi pemikirannya. Lanjut Shimogaki, Hassan Hanafi tergolong seorang modernis-liberal, seperti Luthfi al-Sayyid, Thâha Husain, dan al-Aqqâd. Salah satu keprihatinan utama Hassan Hanafi adalah bagaimana melanjutkan proyek yang didesain untuk membuat dunia Islam bergerak menuju pencerahan yang menyeluruh. Lanjut Shimogaki, kita dapat menengarai tiga wajah dalam rangka memantapkan posisi pemikirannya dalam dunia Islam, terutama dalam kaitannya dengan Kiri Islam.

Wajah pertama, peranannya sebagai seorang revolusioner. Wajah kedua, sebagai figur seorang reformis tradisi intelektual Islam klasik, seperti Muhammad Abduh. Wajah ketiga, sebagai penerus gerakan al-Afghani (1838-1896), yaitu dalam hal perjuangan melawan imperialisme kultural Barat dan penyatuan dunia Islam. Sebagai seorang reformis pemikiran Islam, Hanafi mengunggulkan satu bagian dari khazanah klasik yang berbasis pada rasionalisme, dan ia tidak kompatibel dengan posmodernisme. Ini menurut Kazuo menjadi problem serius dalam pemikiran Hanafi. Dalam hal kritik terhadap Barat, meskipun Hassan hanafi secara langsung dan bersemangat mengkritik Barat, namun menurut Kazuo, ia tidak pernah mendefinisikannya secara tuntas. Tapi itu, sangat dapat dimengerti, karena Barat bagi Hanafi adalah sebuah entitas negara-negara atau entitas politik yang terkait dengan imperialisme. Dengan demikian dalam pandangan Kiri Islam, Barat adalah sebuah agregat dari suatu kawasan, rakyat, peradaban, masyarakat, dan politik yang terkait dengan penjajahan. Ia menegaskan bahwa salah satu tugas Kiri Islam adalah mengembalikan Barat pada batas alamiahnya. Ini tidak berarti mengembalikan “Barat ” secara geografis, tetapi menghalau segala pengaruh kultural Barat yang merasuk ke dalam rusuk umat Islam dan bangsa-bangsa muslim.

Sekilas tentang M unculnya Kiri Islam Kemunculan Kiri Islam diawali dengan jurnal berkalanya Hassan hanafi, berjudul al-Yasâr al-Islâmî: Kitâbât fî al-Nahdlah al- Islâmiyyah (Kiri Islam: Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) pada tahun 1981. Di dalamnya didiskusikan beberapa isu penting berkaitan dengan Kebangkitan Islam. Dapat dikatakan, secara singkat Kiri Islam bertopang pada 3 (tiga) pilar untuk kebangkitan Islam: mewujudkan kebangkitan Islam, revolusi Islam (revolusi Tauhid), dan kesatuan umat. Pilar pertama, revitalitas khazanah Islam klasik. Hassan Hanafi menekankan perlunya rasionalisme untuk merevitalisasi khazanah Islam it u. Rasionalisme, menurutnya, merupakan keniscayaan untuk kemajuan dan kesejahteraan serta memecahkan situasi kekinian di dalam dunia Islam. Kedua, perlunya menantang peradaban Barat. Untuk ini, ia mengusulkan dan mengusung “Oksidentalisme” sebagai jawaban “Orientalisme” dalam rangka mengakhiri mitos peradaban Barat. Ketiga, analisis atas realitas dunia Islam. Untuk hal ini, ia mengkritik metode tradisional yang bertumpu pada teks (nashsh), dan mengusulkan suatu metode tertentu, agar realitas dunia Islam dapat berbicara bagi dirinya sendiri. Menurut Hassan Hanafi, dunia Islam kini sedang menghadapi 3 (tiga) ancaman: yait u (1) imperialisme, zionisme, dan kapitalisme dari luar; (2) kemiskinan; (3) ketertindasan dan keterbelakangan dari dalam. Kiri Islam berfokus pada problem-problem era ini. Dengan demikian, Kiri Islam relevan diterapkan. Menurut Hassan Hanafi, ada beberapa kecenderungan yang penting didiskusikan bagi masa depan dunia Arab- Islam. Pertama, adanya kecenderungan kooptasi agama oleh kekuasaan, dan praktik keagamaan diubah menjadi semata-mata ritus. Kedua, liberialisme, --di mana adalah subjek Hassan Hanafi. Ketiga, kecenderungan Marx yang bertujuan memapankan suatu partai yang berjuang melawan kolonialisme, telah menciptakan dampak-dampak tertentu, tapi belum cukup unt uk membuka kemungkinan berkembangnya khazanah intelektual muslim. Keempat, kecenderungan revolusioner terakhir telah membawa banyak perubahan fundamental dalam struktur sosial dan kebudayaan Arab-Islam, tapi perubahan ini tidak mempengaruhi kesadaran massa muslim.

Oleh kerena itu, tujuan Kiri Islam adalah mengatasi kecenderungan- kecenderungan itu dan merealisasikan tujuan-tujuannya, termasuk revolusi nasional yang berbasis pada prinsip revolusi sosial melalui khazanah intelektual umat. Menurut Shimogaki, dapat disimpulkan bahwa kemunculan sebuah jurnal baru, seperti Kiri Islam itu, tepat waktu untuk mempengaruhi dunia Arab Islam.

Di bab I buku ini, kazuo melihat kerangka metodologis Islam dan Posmodernisme. Kiri Islam berpandangan Tauhid, baik dalam hubungan vertikal, maupun horizontal. Dalam hubungan antara Tuhan dan dunia adalah hubungan antara Pencipta dan yang diciptakan, jadi hubungan sebab dan akibat penciptaaan, bukan seperti sinar terhadap lampu atau kesadaran manusia terhadap manusia. Dalam hal ini, keberadaan manusia menjadi sangat relatif di hadapan Tuhan, dan setiap manusia diciptakan langsung mempunyai hubungan dengan Tuhan. Mengenai yang kedua, pandangan dunia Tauhid, dalam kehidupan sosial muslim adalah bahwa seluruh aspek kehidupan sosial Islam harus diintegrasikan ke dalam “jaringan relasional Islam”. Jaringan ini diderivasikan dari pandangan dunia Tauhid, yang mencakup aspek-aspek keagamaan dan keduniawian, spiritual dan materiil, sosial dan individual. Jaringan relasional ini bisa diuji melalui ibadah (lima pilar kewajiban Islam) yang diatur oleh syari’at Islam, yakni: syahadat, shalat, shaum (puasa), zakat , dan haji.

Singkatnya, pandangan tauhid tidak memisahkan antara materi dan jiwa. Segala sesuatu dipersatukan dalam zat yang t ransendental Tuhan. Semuanya sama di hadapan-Nya. Menurut Kazuo, pandangan Tauhid juga sebuah pandangan relasional. Dengan pandangan relasional ini, ulama menjadi penjaga agar syariat selalu mengatur seluruh aspek kehidupan msulim yang berkenaan dengan lima pilar yang diatur syariat. Meskipun kelima hal itu merupakan kewajiban “keagamaan” namun tindakan kaum muslim tidak terbatas pada aspek kehidupan spiritual individu, tetapi mencakup aspek-aspek fisik, sosial, bahkan ekonomi dan politik setiap muslim.

Kekuasaan Barat telah merasuk kuat di dunia Islam. Dalam hal ini, menurut Kazuo Shimogaki, “Kiri Islam adalah salah satu bentuk perlawanan. Kita mest i membacanya dari sudut pandangan ini”. Tegasnya. Menurut Kazuo, karena adanya konfrontasi antara dunia Islam dan Barat, dan perlawanan yang dihasilkan, metode analisis Hassan Hanafi tidak lagi mempunyai pijakan relasional, meski ia menyerukan Revolusi Tauhid, yang secara teoritik justeru relasional. Menurutnya, “Jika Hassan Hanafi menerapkan suatu metode relasional, khususnya dalam membangun ilmu sosial baru dan mengkaji peradaban barat, niscaya sarjana Muslim lain akan dapat menemukan perspektif baru dalam kajian pandangan dunia Tauhid. Tidak hanya itu, ia akan memperoleh tanggapan positif dari kalangan posmodernis di Barat”.