Kebijakan Akomodasi I slam

F. Kebijakan Akomodasi I slam

Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya kebijakan akomodasi Islam ini. Menurut Karim, secara eksternal dapat ditemukan dua faktor yang mempengaruhinya setelah dipicu oleh sit uasi kehancuran blok sosialis/ komunis di Eropa Timur pada 1989, yaitu: pertama, menguatnya arus tuntutan demokratisasi dari kalangan umat Islam, sehingga tidak memungkinkan lagi melanggengkan politik “penindasan” terhadap kelompok mayoritas yang dilakukan oleh kelompok minoritas yang selama ini menguasai arena kekuasaan “Islam phobia”. Kedua, Negara-negara “donor” yang selama ini banvak membantu pembiayaan pembangunan di Indonesia mengalihkan kekayaan mereka kepada negara-negara Eropa Timur, yang baru saja merintis demokratisasi setelah kejatuhan rezim sosialis-komunis dinegaranya masing- Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya kebijakan akomodasi Islam ini. Menurut Karim, secara eksternal dapat ditemukan dua faktor yang mempengaruhinya setelah dipicu oleh sit uasi kehancuran blok sosialis/ komunis di Eropa Timur pada 1989, yaitu: pertama, menguatnya arus tuntutan demokratisasi dari kalangan umat Islam, sehingga tidak memungkinkan lagi melanggengkan politik “penindasan” terhadap kelompok mayoritas yang dilakukan oleh kelompok minoritas yang selama ini menguasai arena kekuasaan “Islam phobia”. Kedua, Negara-negara “donor” yang selama ini banvak membantu pembiayaan pembangunan di Indonesia mengalihkan kekayaan mereka kepada negara-negara Eropa Timur, yang baru saja merintis demokratisasi setelah kejatuhan rezim sosialis-komunis dinegaranya masing-

Secara internal, menurut Karim (1999: 232-3), terdapat faktor yang sangat mendnkung, yaitu: Pert ama , berakhirnva masa penentangan kelompok Islam terhadap Pancasila setelah umat Islam menerima Pancasila sejak tahun 1985. Kedua , keberadaan dua tokoh Islam yang sangat dekat dengan Soeharto, yakni: Habibie dan Munawir Syadzali. Keduanva berhasil meyakinkan Soeharto bahwa kelompok Islam sesungguhnya bukan merupakan ancaman terhadap Pancasila dan rezim.

Ket iga , meningkatnya kesadaran keagamaan di tengah umat Islam sekalipun ini mengalami ketertindasan dan justru mempersubur kehidupan keagamaan mereka di tengah kuatnya arus penindasan dari kelompok anti Islam selama ini.

Keempat , munculnya kebangkitan cendekiawan atau intelektual Muslim, yang salah satunva adalah terbentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan sejumlah nama terkemuka lainnya, seperti Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid), Cak Nur (Nurcholish Madjid), Cak Nun (Emha Ainun Najib), M. Amien Rais, dan lain-lain.

Kelima , pribadi Soeharto sendiri yang semakin tua dan ingin “mandito” dan mengakhiri masa jabatannya dengan sikap arif dan tidak menyakiti kelompok Islam. Bahkan pula tahun 1990 ia untuk pertama kalinya menunaikan ibadah haji; sebuah tindakan yang pada waktu itu bisa dianggap sebagai upaya membangun kredensialnya sebagai seorang Muslim dan menimbulkan kegembiraan di lingkungan masvarakat Islam (Rizal Sukma dan Clara Joewono, 2007 : 7).

Keenam , pertolongan dari Allah SWT atau yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai “Blessing in disguise”, sebab mengganti sebuah “grant strategy” bukanlah sesuatu yang mudah sehingga umat Islam meyakini bahwa berkat inayah (pertolongan)-Nyalah maka ketertindasan mereka akhirnya bisa diatasi.

G. I slam modernis dan I slam tradisionalis Terlepas dari proses ketegangan maupun rekonsiliasi selama kekuasaan rezim Soeharto, atau dalam ungkapan M. Rusli Karim di atas, “peminggiran” hingga “akomodasi” Islam, menurut Rizal Sukma dan Clara Joewono (2007: 8-9) ada hal yang patut menjadi catatan yakni kemampuan arus besar (mainstream) Islam Indonesia untuk tetap eksis tanpa harus terlalu t ergantung kepada Negara. Kendati pun mengalami diskriminasi oleh rezim, namun organisasi-organisasi Islam terus berkembang dan memainkan Peranan signifikan sebagai organisasi kemasyarakatan dengan dukungan dan memiliki akar yang kuat dalam masyarakat serta bekerja untuk kepentingan publik ketimbang kepentingan pemerintah.

Tetapi, Islam bukanlah kekuatan yang bersifat monolitik. Keragaman dan pluralitas dalam umat justru menjadi karakteristik utama dari Islam di Indonesia. Kendati ada keragaman, deskripsi umum terhadap Islam di Indonesia bisa disederhanakan kepada karakteristik adanya dua aliran besar (school of thought ), yakni Islam modernis, dengaan representasi utama pada Muhammadiyah (berdiri pada 1912) dan Islam tradisionalis, dengan representasi utama adalah NU, yang berdiri pada 1926.

Penggambaran Islam di Indonesia ke dalam kategori modernis dan t radisionalis ini telah menjadi kebiasaan baik di kalangan pengamat maupun umat Islam itu serrdiri. Namun, sejak berakhirnya era Orde Baru dengan memasuki er a Reformasi pada 1998 maka penggambaran ke dalam dua kategori semacam ini tidak lagi mencerminkan realitas sebenarnya yang semakin kompleks. Dicabutnya tekanan dan pembatasan politik oleh negara telah membuka ruang bagi proses manifestasi berbagai ragam gerakan dan pemikiran dalam komunitas Islam di Indonesia.

Pasca rezim Orba tumbang terjadi perkembangan dan perubahan secara dinamis dan ekspresif di tengah umat Islam, ditandai dengan beberapa hal, seperti: Pert ama , lahirnya sejumlah partai politik yang secara formal mengusung ideologi dan cita-cita Islam, yang sebelumnya dilarang secara tegas oleh rezim Orba. Fenomena ini mengindikasikan bangkitnya kernbali kekuat an-kekuatan Islam politik di Indonesia. Kedua , tampilnya berbagai gerakan-gerakan yang selama masa Orba kurang dikenal oleh masyarakat, dan, ketiga, kelahiran organisasi-organisasi Islam baru. Ciri dan lingkup kegiatan organisasi-organisasi Islam yang baru ini sangat beragam dan luas. Akibatnya, wajah Islam di Indonesia menjadi semakin beragam dan kompleks, sehingga penggambaran yang hanya menekankan pada eksistensi, aktivitas, dan pemikiran Islam mainstream, modernis dan tradisionalis, tidak lagi memberikan pemahaman yang menyeluruh dan utuh terhadap kehidupan Islam di Indonesia.[]