Faktor-faktor Pendorong Lahirnya I lmu Kalam

F. Faktor-faktor Pendorong Lahirnya I lmu Kalam

Kita tidak akan memahami ilmu kalam secara ut uh, kalau tidak mempelajari faktor-faktor yang dapat mendorong kemunculannya. Sebab ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri, belum dikenal pada masa Nabi sendiri maupun pada masa sahabat.

Adapun faktor-faktor tersebut dapat dibagi menjadi dua, yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (extern).

a. Faktor I ntern

Ahmad Amin menerangkan bahwa faktor-faktor intern yang terpenting ada tiga hal. Pertama: 31

“Sesungguhnya Al-Qur’an it u sendiri di samping seruan dakwahnya kepada tauhid dqn mempercayai kenabian, dan hal-hal yang berhubungan dengannya, juga menyinggung golongan-golongan dan agama-agama pent ing yang t erbesar pada masa Nabi M uhammad SAW , lalu Al-Qur’an it u menolaknya dan membat alkan pendapat -pendapat nya. Diriwayat kan, suat u kaum yang mengingkari kepercayaan- kepercayaan agama, ket uhanan, kenabian, dan mereka it u berkat a: “Tidaklah ada yang membinasakan kami, melainkan masa”. Dan Al-Qur’an menolak dengan berbagai dalil dan menyinggung kemusyrikan yang bermacam-macam it u”.

Selanjutnya diterangkan pula bahwa:

1. Sebagian orang musyrik ada yang menuhankan bintang-bintang di langit sebagai sekutu Allah SWT, hal ini ditolak dengan ayat:

31 Amin, Dhuha, Juz. III., hlm. 1.

“Ket ika malam t elah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhanku” Tet api tat kala bint ang it u t enggelam dia berkat a; “Saya t idak suka kepada yang t enggelam”. Kemudian t at kala dia melihat bulan it u t erbit dia berkat a; “Inilah Tuhanku”. Tet api set elah bulan it u t erbenam dia berkat a; “Sesungguhnya jika Tuhanku t idak memberi pet unjuk kepadaku, past ilah aku t ermasuk orang-orang yang sesat .” Kemudian t atkala dia melihat mat ahari t erbit , dia berkat a; “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”, maka t atkala mat ahari it u t elah t erbenam, dia berkat a: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekut ukan.” (QS. Al-An’am [6]: 16-78).

2. Ada orang-orang yang menuhankan Nabi Isa as. Hal ini ditolak berdasarkan ayat:

“Dan (ingat lah) ket ika Allah berfirman: “Hai Isa put ra M aryam, adakah kamu mengat akan kepada manusia: “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang t uhan selain Allah? “ ‘Isa menjawab: “Maha Suci Engkau, tidaklah pat ut bagiku mengat akan apa yang bukan hakku (mengat akannya).” (QS Al-M aidah [5]: 116).

3. Orang-orang yang menyembah berhala. Hal ini ditolak dengan ayat:

“Dan (ingatlah) di waktu lbrahim berkata kepada bapaknya Azar: “ Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai t uhant uhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesat an yang nyata”. (QS. Al-An’am [6]: 74).

4. Golongan yang tidak percaya akan kerasulan Nabi, teristimewa Nabi Muhammad SAW , dan tidak percaya akan kehidupan kembali di akhirat. Hal ini ditolak dengan ayat:

“(Yait u) pada hari Kami gulung langit sebagai menggulung lembaran-lembaran kert as. Sebagaimana Kami t elah ment ulai pencipt aan pert ama begit ulah Kami akan mengulanginya. It ulah suat u janji yang past i Kami t epat i; sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya. “ (QS. Al-Anbiya’ [21]: 104).

5. Golongan orang-orang yang mengatakan semua yang terjadi di dunia adalah dari perbuatan Tuhan semuanya, dengan tidak ada campur tangan manusia. Mereka ini adalah orang-orang munafik. Difirmankan Allah SWT:

“Kemudian set elah kamu berduka-cit a, Allah SW T menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kant uk yang meliput i segolongan daripada kant u, sedang segolongan lagi t elah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang t idak benar t erhadap Allah SW T sepert i sangkaan jahiliah. M ereka berkat a: “Apakah ada bagi kit a barang sesuat u (hak campur t angan) dalant urusan ini? “ Kat akanlah: “Sesungguhnya urusan it u seluruhnya di t angan Allah SW T, M ereka menyembunyikan dalam hat i mereka apa yang t idak mereka t erangkan kepadamu; “Kemudian set elah kamu berduka-cit a, Allah SW T menurunkan kepada kamu keamanan (berupa) kant uk yang meliput i segolongan daripada kant u, sedang segolongan lagi t elah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang t idak benar t erhadap Allah SW T sepert i sangkaan jahiliah. M ereka berkat a: “Apakah ada bagi kit a barang sesuat u (hak campur t angan) dalant urusan ini? “ Kat akanlah: “Sesungguhnya urusan it u seluruhnya di t angan Allah SW T, M ereka menyembunyikan dalam hat i mereka apa yang t idak mereka t erangkan kepadamu;

Firman Allah SWT:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (QS. Al-Nahl [16]: 125).

Kedua 32 , Ahmad Amin menerangkan:

32 Ibid., hlm. 2.

“Sesungguhnya kaum muslimin set elah menaklukkan negeri -negeri baru, dan keadaan mulai st abil sert a melimpahruah rezekinya, di sinilah akal pikiran mereka mulai memfilsafat kan agama, dan bersungguh-sungguh dalam membahasnya dan mempert emukan nash-nash agama yang kelihat annya bert ent angan. Keadaan sepert i ini hampir merupakan gejala umum bagi t iap-tiap agama. Pada mulanya agama-agama it u hanyalah merupakan kepercayaan yang sederhana dan kuat, t idak perlu diperselisihkan dan t idak memerlukan penyelidikan. Pemeluk-pemeluknya melaksanakan (menerima) bulat -bulat apa yang diajarkan agama, kemudian dianut nya dan beriman dengan sepenuh hat i t anpa ada kecenderungan pembahasan dan pent filsafat an. Kemudian set elah it u dat ing fase pemfit safat an dan pemikiran dalam membicarakan soal-soal agama secara ilmiah dan filosofis. Kemudian t okoh- t okoh agama mulai memakai filsafat untuk memperkuat hujjah-hujjah dan penjelasan-penjelasannya. Inilah yang t elah t erjadi pada agama Yahudi dan ini pulalah yang t erjadi pada agama Nasrani.”

Selanjutnya Ahmad Amin menerangkan: 33

“Sesungguhnya orang-orang Islam pada periode pert ama, mereka beriman kepada t akdir baik dan buruk dan beriman bahwa sesungguhnya manusia it u diperint ahkan melaksanakan perint ah-perint ah Allah SW T. Iman mereka t erhadap hal-hal t ersebut adalah iman secara kuat dan but a, t anpa membahas secara mendalam dan t anpa memfilsafat kan pikirannya. Kemudian datang orang-orang yang mengumpulkan ayat -ayat sekit ar masalah t ersebut dan memfilsafat kannya.”

Di satu pihak ada ayat-ayat yang menunjukkan adanya paksaan (ijbar, predest inasi ) dalam pemberian tugas di luar kemampuan manusia. Difirmankan oleh Allah SWT:

“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan at au t idak kamu beri peringat an, mereka t idak akan beriman.(QS. Al-Baqarah [2]: 6)

33 Ibid., hlm. 3.

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa. Tidaklah berfaedah kepadanya hart a bendanya dan apa yang ia usahakan. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak. Dan (begit u pula) ist rinya, pembawa kayu bakar yang di lehernya ada t ari dari sabut .” (QS. Al-Lahab [111]: 1-5)

Di lain pihak banyak ayat-ayat yang menerangkan bahwa manusia bisa melakukan

terhadap perbuatannya (indeterministis). Difirmankan oleh Allah SWT:

ikhtiar dan

bertanggung

jawab

“Dan t idak ada sesuat u yang menghalangi manusia unt uk beriman t at kala dat ang pet unjuk kepadanya.” (QS. Al-Isra’ [17]: 94).

“(M ereka kami ut us) selaku Rasul-rasul pembawa berit a gembira dan pemberi peringat an agar t idak ada alasan bagi manusia membant ah Allah SW T sesudah diut usnya Rasul-rasul it u.” (QS. Al-Isra’ [17]: 94).

Ket iga 34 , Ahmad Amin menerangkan:

34 Ibid., hlm. 4.

“M asalah-masalah polit ik. M ungkin cont oh yang paling ielas dalam persoalan t ersebut adalah masalah khilafah. Rasulullah SAW t elah wafat , dan beliau t idak menunjuk seseorang penggant i dan t idak pula menent ukan prosedur yang bisa dipergunakan dalam pemilihan khalifah. Sebagai bukti golongan M uhajirin dan golongan Anshar berselisih pendapat , dengan alasan masing-masing. Golongan Anshar mengajukan usul: (Unt uk kami seorang khalifah dan juga unt uk kamu (M uhajirin) seorang khalifah. Orang-orang M uhajirin menolak usulan it u. Sahabat Umar lant as cepat -cepat membai’at Abu Bakar yang kemudian diikuti sahabat - sahabat lainnya, Abu Bakar kemudian mengambil cara lain, karena di a menyerahkan khilafah kepada Umar dan Umar pun mengambil cara yang ket iga (menyerahkan khilafah kepada panit ia dan dalam pemilihan jat uh kepada Ut sman).

Selanjutnya diterangkan oleh Ahmad Amin: 35

“Apabila kit a sekarang memperhat ikan masalah khilafah ini dengan pikiran, niscaya kit a berkat a bahwa masalah khilafah adalah soal polit ik belaka. Agama t idak mengharuskan kaum muslimin mengambil bent uk khilafah dengan cara t ert ent u. Tet api agama hanya memberikan ket ent uan supaya memperhatikan kepent ingan umum. Para t eknokrat membuat perat uran-perat uran yang menjamin sebaik- baiknya cara dan menghilangkan sebab-sebab pert engkaran (pert ikaian) dan mereka memilih orang yang dapat berusaha merealisasi kepent ingan umum dan memecat

35 Ibid.

mereka yang t idak dapat merealisasinya. Dan dalam set iap masa mereka memandang apa yang sesuai dengannya dan mereka t urut maju di dalam memahami hal t ersebut sesuai dengan kemajuan masyarakat di dalam memahami hak-hak dan kewajiban. Kalau t erjadi sesuat u perselisihan dalam soal it u mengenai hal-hal yang diikuti dan pilihannya, maka perselisihan t ersebut adalah semata-mata soal polit ik.”

Akan tetapi, tidak demikian hanya pada masa itu ditambah dengan peristiwa terbunuhnya Utsman ra., dalam keadaan gelap. Sejak itu kaum muslimin terpecah belah menjadi beberapa golongan, yang masing-masing merasa pihak yang benar dan hanya calon dari padanyalah yang berhak menduduki kursi khilafah.

Ahmad Amin menerangkan: 36

36 Ibid., hlm. 7.

“Oleh karena it u, perselisihan polit ik adalah fakt or yang besar dari sebab-sebab perselisihan soal-soal agama, kepercayaan, dan perpecahan. Apabila kit a memperhat ikan golongan Ali ra. sebagai golongan agama, yait u part ai Syi’ah, mereka berpendapat bahwa agama t elah menet apkan Ali dan ket urunannya sebagai khalifah. Kita perhat ikan golongan Umawiyin sebagai part ai agama, mereka berpendapat bahwa kekhalifahan M uawiyah dan anak-anaknya t elah disepakat i oleh ahlul halli wal ‘aqdi sebagai wakil rakyat . Kita perhat ikan golongan mereka yang t idak set uju t erhadap part ai-part ai t ersebut di atas sebagai part ai agama, dinamakan sebagai gorongan Khawarij. Baginya kepercayaan-kepercayaan dan dokt rin-dokt rin t ersendiri. Kit a perhat ikan part ai Muhayidin sebagai part ai agama juga, yang dinamakan golongan M urji’ah. Baginya mempunyai pendirian t ent ang khilafah dan ajaran-ajaran. Perselisihan politik yang t elah diwarnai agama ini, membawa mereka kepada perbedaan didalam memberikan definisi t ent ang iman, kufur, dosa-dosa besar dan dosa-dosa kecil, t ent ang hukum orang yang melakukan dosa besar dan sebagainya. Dan set elah it u mereka t erbawa kepada perselisihan dibidang furu’, sehingga t iap-t iap part ai menjadi golongan yang berselisih di bidang ushul dan furu’ sepanjang zaman.”

Peristiwa terbunuhnya Utsman menjadi titik tolak yang jelas dari permulaan berlarut-larutnya perserisihan bahkan peperangan di antara kaum muslimin sendiri. Sebab sejak saat itu timbullah orang yang menilai tentang peristiwa pembunuhan itu, di samping menilai amal perbuatan Utsman sendiri sewaktu hidupnya. Segolongan kecil mengatakan bahwa Utsman dianggapnya sarah kebijaksanaannya pada akhir masa jabatannya. pihak lain mengatakan bahwa pembunuhan terhadap Utsman itu adalah kejahatan besar dan pembunuhnya adalah kafir. Utsman adalah khalifah yang sah, seorang prajurit Islam yang sejati. Penilaian yang tidak sama ini, menjadi fitnah dalam peperangan yang terjadi pada masa khalifah Ali ra.

Dari sini timbul persoalan besar yang selama ini banyak memenuhi buku- buku ke-Islaman, yaitu melakukan kejahatan, besar yang asarnya dihubungkan dengan kejahatan khusus, yaitu pembunuhan terhadap Utsman, kemudian berangsur-angsur menjadi persoalan umum, lepas dari persoalan siapa orangnya, kemudian timbul soal-soal lainnya, sepert i masalah iman dan hakikatnya, bertambah dan berkurangnya iman dan lain-lainnya.

Persoalan dosa tersebut, dilanjutkan lagi yaitu mengenai sumber kejahatan dan perbuatan manusia. Karena adanya penentuan sumber ini, maka dengan mudah diberikan vonis kepada pelakunya itu sebagai orang yang salah. Kalau manusia itu sendiri sebagai sumber perbuatan, maka soalnya sudah jelas. Akan tetapi kalau sumber perbuatan itu Tuhan, manusia it u hanya sebagai pelaku semata-mata, maka keputusan manusia itu dosa atau kafir hal itu masih belum jelas. Inilah yang menyebabkan timbulnya golongan Jabariyah, Qadariyah, M u’t azilah , dan Asy’ariyah yang mermbicarakan masalah Af‘alul-’Ibad atau perbuatan hamba, apakah manusia it u mempunyai kebebasan dalam berbuat atau dalam keadaan terpaksa dalam perbuatannya atau bagaimana.

b. Faktor Ekstern

Adapun faktor-faktor dari luar (extern), Ahmad Amin menerangkan adanya tiga faktor penting, yaitu Pertama: 37

“Sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang memeluk Islam sesudah kemenangannya, semula mereka it u t elah memeluk berbagai agama, yait u agama- agama Yahudi, Krist en, M anu, Zoroast er, Brahmana, Sabiah, Atheisme dan lain- lain. M ereka dilahirkan dan disebarkan dalom ajaran-ajaran agama ini. Bahkan di ant ara mereka ada yang benar-benar memahami agama aslinya. Set elah pikiran mereka t enang dan t ent ram dirinya, dan sesudah memegang t eguh agamanya yqng baru, yait u agama Islam, murairah mereka memikirkan-ajaran-ajaran yang t erdahulu dan membangkit kan persoalan-persoalan dari persoalan agamanya sert a diberinya dengan corak baju ke-Islaman.”

Di dalam tarikh kita kenal, seperti Ahmad bin Haith dahulunya memeluk agama Hindu, mempersoalkan masal ah reinkarnasi (tanasukhu al-arwah) yaitu manusia mati, kemudian hidup lagi menjelma menjadi jenis makhluk yang lain. Abdullah bin Saba, dari Persia, yang dahulunya memeluk agama yahudi, menganggap bahwa Raja Persia it u mempunyai sifat -sifat ketuhanan. Kemudian timbul paham mentuhankan khalifah Ali ra. bahkan Abdullah bin Saba, sendiri mengatakan bahwa:

“Engkau (Ali) adalah Tuhan.”

Kedua 38 , Ahmad Amin menerangkan:

37

38 Ibid. Ibid., hlm. 8.

“Sesungguhnya golongan Islam yang dahulu, t erut ama golongan M u’t azilah memusat kan perhatiannya yang t erpent ing adalah unt uk dakwah Islam dan bant ahan alasan orang-orang yang memusuhi Islam. M ereka t idak akan bisa menolak lawan-lawannya kecuali sesudah mereka mempelajari pendapat - pendapat nya sert aalasan-alasannya. M aka akhirnya negeri Islam it u meniadi medan perdebat an bermacam macam pendapat dan agama. Tidak dapat diragukan lagi bahwa perdebat an bisa membawa (menyebabkan) berpikir dan membangkitkan persoalan yang bisa mengaiak memperhat ikan persoalan t ersebut . Dan masing- masing golongan t erbawa untuk mengambil pendapat yang dianggapnya benar dari pendapat orang yang berbeda dengannya. Sebagian agama, t erut ama agama-agama Yahudi dan Krist en t elah menggunakan seni atau filsafat Yunani. Philon (25 SM -50 M ) seorang Yahudi yang pert ama memfilsafat kan ajaran-ajaran Yahudi dan mempert emukannya dengan filasafat Yunani. Clemeus von Alexandrian (lahir kira- kira 150 M ) dan Origens (185-254) adalah di ant ara orang yang pert ama-t ama mempert emukan agant a Krist en dengan filsafat Neo Plat onisme. Hal ini sudah barang t ent u (mendorong) golongan M u’t azilah mempergunakan senjat a yang dipakai lawannya (yait u filsafat -pen) dengan masuknya filsafat Yunani ke dalam golongan M u’t azilah dan aliran-aliran golongan lainnya, semakin banyak perbedaan pendapat di kalangan umat Islam sebagaimana t elah kami cont ohkan sebelumnya. Hal it ulah yang merupakan salah satu fakt or pent ing t imbulnya ilmu kalam.

Ket iga 39 , Ahmad Amin menerangkan:

“Fakt or ket iga ini merupakan kelanjut an fakt or kedua. Yait u sesungguhnya kebut uhan para mut akallimin t erhadap ft safat it u adalah unt uk mengalahkan (mengimbangi-pen) musuh-musuhnya, mendebat mereka dengan mempergunakan alasan-alasan yang sama, maka mereka t erpaksa mempelajari fit safat Yunani dalam mengambil manfaat ilmu logika, t erut ama dari segi ket uhanannya. Kita menget ahui Nazham (t okoh M u’t azilah-pen) mempelajari fit safat Arist ot eles dan menolak beberapa pendapat nya. Demikian juga Abul Hudzail al-’Allaf.”

39 Ibid.

Demikian pembahasan kita terhadap faktor-faktor dari dalam maupun faktor-faktor dari luar yang menyebabkan timbulnya ilmu kalam. Barangsiapa yang mengatakan bahwa ilmu kalam itu ilmu ke-Islam-an yang murni, yang tidak terpengaruh oreh filsafat dan agama-agama yang lain, hal itu tidaklah benar. Tetapi orang-orang yang mengatakan bahwa ilmu kalam itu timbul dari filsafat Yunani semata mata itu juga tidak benar. Karena Islam menjadi dasarnya dan sumber-sumber pembahasannya. Nash-nash agama banyak dijadikan dalil, di samping filsafat Yunani, tetapi kepribadian Islam adalah menonjol. Ilmu kalam merupakan puncak dari filsafat Islam.