Keadaan Kampung Sirnagalih Local Institution: A Form of Socio-Ecological Adaptation in Landslide-Prone Areas (A Case of Landslide-Prone Community in Sukaraksa Village, Bogor Regency, West Java Province).
lingkungannya terlihat dari bagaimana mereka berinteraksi dan mengelola SDA di sekitar. Bercocoktanam di ladang, sawah, dan kebun, merupakan aktivitas
sehari-hari. Keseharian warga kampung Sirnagalih sebagian besar memang dicurahkan untuk aktivitas bercocoktanam sebab mata pencaharian mereka
adalah bertani. Pada gambar 8 memperlihatkan persentase mata pencaharian utama masyarakat di Sirnagalih.
Gambar 8 Struktur Mata Pencaharian Utama Warga di Kampung Sirnagalih
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012
Keterbatasan lahan yang dijadikan sebagai lahan garapan membuat para petani di Sirnagalih tidak semuanya menjadi petani yang menggarap lahannya
sendiri. Mengacu pada property rights Schmid 1987, maka dapat dilihat pada gambar 9 persentase petani berdasarkan kepemilikan lahan.
Gambar 9 Distribusi Status Pemilikan dan Pemanfaatan Lahan Pertanian di Kampung Sirnagalih
Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012
Para petani yang memiliki lahan berarti memiliki hak penuh dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan garapan, begitupun dengan para petani
yang menggarap lahan dengan menyewa. Perbedaan kepemilikan hanya pada status kepemilikan lahan. Sebagian kecil menjadi petani tuna kisma yakni petani
yang tidak memiliki lahan melainkan bekerja dengan menggarap lahan milik orang lain. Jumlah petani tuna kisma di Sirnagalih sebanyak 12 orang 33
persen. Para petani yang tidak memiliki lahan tersebut hanya memiliki hak untuk
45 22
33
Petani Buruh Tani
Lain-lain
62 5
33
Pemilik lahan Penyewa Lahan
Penggarap
ikut menggarap dengan memperoleh upah bagi hasill pada saat panen. Para petani yang masih memiliki lahan tidak berarti memiliki penghidupan yang jauh
lebih baik dibandingkan mereka yang tidak memiliki lahan, sebab luas lahan yang dimiliki hanya sebesar 0,25 sampai sampai 0,5 Ha dan harus mereka garap
secara bersama-sama. Kampung Sirnagalih merupakan kampung yang dihuni oleh satu rumpun
keluarga yang terdiri dari 55 keluarga. Pembagian lahan secara umum terbagi atas dua yakni leuweung tutupan berupa hutan yang tidak boleh diganggu yakni
Gunung Batu Kaca dan leuweung titipan berupa lahan yang boleh dimanfaatkan sebagai lahan garapan kebun campuran, sawah, ladang-tegalan, pemukiman,
serta sarana umum mushalla. Batas pengelolaan antara leuweung tutupan dan leuweung titipan mengikuti kondisi geografis, yakni leuweung tutupan yang
dinamai Gunung Batu Kaca dengan luas sekitar 1 sampai 2 Ha berada pada bagian atas hulu Kampung Sirnagalih serta leuweung titipan berada dibawah
hutan Gunung Batu Kaca. Leuweung tutupan tersebut dijaga, dilindungi dan tidak boleh diubah
menjadi hutan produktif. Pantang melakukan penebangan atau sekedar memanfaatkan hasil hutan baik berupa kayu maupun non kayunya. Pohon
matipun pamali untuk diambil. Keyakinan tersebut mereka pegang hingga kini, terlebih setelah adanya kejadian kebakaran di salah satu kampung
7
yang juga terdapat di Desa Sukaraksa pada 15 tahun silam Tahun 1997. Sejak saat itu,
para warga semakin tidak berani untuk melanggar dan mengambil hasil hutan Gunung Batu Kaca meskipun untuk alasan pembangunan sarana umum. Warga
setempat menganggap Gunung Batu Kaca sebagai hutan keramat warisan nenek moyang mereka yang tidak boleh diganggu.
Hingga saat ini pantangan tersebut masih ditaati dan bukan hanya oleh warga Kampung Sirnagalih namun semua warga Desa Sukaraksa termasuk para
pendatang akan diberikan peringatan. Kepatuhan warga menjaga dan melestarikan leuweung tutupan merupakan fenomena menarik mengingat status
Gunung Batu Kaca sebagai hutan rakyat biasa, bukan hutan lindung, bukan pula
7
Kp. Juga Raya mengalami peristiwa kebakaran tak lama setelah beberapa warganya mengambil satu pohon Puspa yang tumbang akibat angin kencang dari hutan Gunung Batu Kaca. Warga
meyakini bahwa kebakaran tersebut merupakan hukuman bagi Kp. Juga Raya yang telah berani mengambil dan memanfaatkan kayu dari Gunung Batu Kaca. Konon setelah terjadinya peristiwa
kebakaran, para warga banyak yang menyaksikan kehadiran “Penunggu” Gunung Batu Kaca Macan. Peristiwa tersebut menyebabkan banyak warga di Kp. Juga Raya kehilangan tempat
tinggal.
hutan adat. Sebagian menganggap bahwa Gunung Batu Kaca merupakan hutan bersama yang diwakafkan-diwariskan dari leluhur mereka.
Hal menarik lainnya adalah minimnya keberadaan tokoh masyarakat yang dituakan sehingga menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda untuk tetap
melestarikan Gunung Batu Kaca. Hingga saat ini keyakinan para generasi muda berdasarkan cerita-mitos tentang Gunung Batu Kaca masih kuat. Mereka
percaya bahwa siapapun yang berani menebang atau mengambil pohon dari GunungBatu Kaca akan terkena bencana atau kutukan.
Selain keyakinan warga terhadap cerita-mitos tersebut, sebagian warga juga meyakini bahwa leuweung tutupan berfungsi untuk mempertahankan
sumber mata air. Masyarakat masih memegang teguh batas pengelolaan dan pemanfaatan lahan antara leuweung titipan dan leuweung tutupan, tak lain untuk
tetap mempertahankan ketersediaan air di daerah mereka. Warga Sirnagalih menyadari bahwa leuweung tutupan Batu Kaca menjadi
benteng terakhir yang dapat menjaga kelestarian ekosistem kampung dan desa. Berbeda dengan leuweung titipan yang pengelolaan dan pemanfaatannya
merupakan hak masing-masing warga. Keberadaan lahan di Sirnagalih yang terbagi ke dalam 2 batas pengelolaan yakni leuweung tutupan dan leuweung
titipan menjadi acuan yang hingga saat ini masih dipatuhi. Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang terus terjadi serta
peningkatan kebutuhan hidup, leuweung titipan milik warga mulai mengalami perubahan pengelolaan. Lahan yang tadinya berupa hutan mulai berubah
menjadi kebun campuran dengan jenis tanaman didominasi oleh bambu dan pohon kayu, ladang, sawah, pemukiman bahkan penambangan batubara.
Meskipun keberadaan tanaman asli masih banyak ditemui namun perubahan tersebut sedikit banyak telah mempengaruhi debit air tanah serta berpotensi
membuat struktur tanah menjadi labil karena berbagai aktivitas yang dilakukan oleh warga.
Perubahan dari hutan menjadi kebun campuran, sawah dan ladang tak lain karena tuntutan kebutuhan hidup. Perkembangan kebutuhan kemudian menuntut
warga di Kampung Sirnagalih untuk melakukan berbagai aktivitas ekonomi. Komposisi tanaman yang dipilih pun lebih ke arah jenis tanaman yang dianggap
bernilai ekonomis. Ekonomis yang dimaksud adalah secara finansial pengeluaran
dapat ditekan sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli makanan pokok beras.
Petani juga memilih tanaman semusim seperti Singkong, Pisang, Labu, Kacang-kacangan karena dianggap mampu menjadi makanan pendamping yang
dapat dikonsumsi sehari-hari. Selain tanaman yang berorientasi sebagai sumber pangan, petani juga tetap mempertahankan tanaman kayu atau tahunan untuk
tabungan sehingga pada masa-masa tertentu dapat dimanfaatkan. Biasanya mereka mengambil kayu menebang pohon jika ada keperluan mendesak
seperti nikahan dan membangun rumah. Pada intinya semua jenis tanaman dipilih oleh Petani atas dasar untuk memenuhi kebutuhan harian bukan untuk
mencari keuntungan subsisten. Rata-rata kepemilikan lahan di Kampung Sirnagalih berkisar 0,25 sampai
0,5 Ha. Minimnya luas kepemilikan tersebut menutut sebagian warga untuk mencari alternatif nafkah lainnya ke luar desa. Profesi yang paling banyak
dilakukan di luar desa adalah menjadi pedagang dan kuli bangunan. Kegiatan lainnya seperti beternak kambing juga merupakan mata pencaharian sebagian
warga setempat, meskipun tidak banyak namun dianggap mampu menjadi sumber penghasilan di waktu-waktu darurat.