Keadaan Potensi Sumberdaya Alam Kampung Sirnagalih

Tabel 9 Karakteristik Potensi Sumberdaya Alam di Kampung Sirnagalih Jenis SDA Peruntukan- Pemanfaatan Kondisi Kampung Sirnagalih Sebelum Longsor Tahun 2009 Sesudah Longsor Tahun 2009 1. Lahan-Tanah Pemukiman, kebun- HR, ladang, sawah Bagus Rusak 2. Sumberdaya Air Kebutuhan dasar Rumahtangga Bersih dan mencukupi Air tanah mulai berkurang air sungai tersedimentasi 3. Hutan: Milik Bersama GunungBatu Kaca dan milik pribadi Pengatur siklus hidrologi, kebutuhan RT primer dan sekunder GunungBatu Kaca bagus Kebun talun mulai berkurang kerapatannya GunungBatu Kaca tetap bagus Kebun talun tetap berkurang kerapatannya tidak menurun- tidakmeningkat 4. Batubara Dijual-ditambang sebagian kecil Bagus dimanfaatkan Bagus tidak dimanfaatkan Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012

4.4.1 Lahan-Tanah

Kebutuhan warga terkait dengan keberadaan tanah-lahan tidak lepas dari kebutuhan untuk; 1 memenuhi kebutuhan pangan, 2 memperoleh pendapatan guna menunjang kelangsungan hidup, 3 mendirikan rumah sebagai tempat tinggal, serta 4 mendirikan sarana sosial seperti masjidmushalla untuk kebutuhan spiritual. Kebutuhan tersebut dipenuhi dengan memanfaatkan dan mengelola leuweung titipan. Pemahaman warga tentang penggunaan sumberdaya lahan di leuweung titipan dibedakan atas lahan basah-sawah dan lahan kering. Tata guna lahan basah diperuntukkan sebagai sawah tadah hujan yang digunakan untuk menanam padi. Pada waktu-waktu tertentu ketika curah hujan minim maka para petani mengganti tanaman padi mereka dengan jenis tanaman palawija. Tata guna lahan kering mencakup pemanfaatan lahan untuk pekarangan, ladang dan kebun campuran. Secara umum lahan kering juga dipahami oleh warga sebagai hutan kampung hutan rakyat yang telah dibagi berdasarkan kepemilikannya. Kedua jenis lahan basah dan kering tersebut pada mulanya berawal dari kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan harian dengan cara membuka hutan menjadi ladang, sawah, kebun campuran, serta kebutuhan untuk tempat tinggal. Ladang dan kebun di Sirnagalih dibedakan atas dasar jenis dan susunan tanaman yang ditanam. Ladang didominasi oleh jenis tanaman semusim dan memerlukan curahan waktu dan tenaga untuk merawatnya, misalnya ditanami Singkong dan Pisang. Singkong dan Pisang ditanam oleh warga karena dianggap dapat menjadi sumber pangan kedua setelah beras. Selain Singkong dan Pisang, tanaman sayuran seperti Labu, Kacang-kacangan juga ditemui. Tanaman tersebut lebih banyak dikonsumsi sendiri daripada dijual. Berbeda dengan ladang, kebun campuran talun adalah sebidang tanah yang ditanami berbagai jenis tanaman semusim dan tahunan yang keragamannya relatif tinggi agroforestry. Tanaman tahunan atau jenis tanaman keras diperuntukkan sebagai bahan kayu bakar, bahan bangunan serta dijual, seperti Sengon Jenjeng, Puspa, Afrika dan Bambu. Pengelompokan lahan kering dan basah ditemukan meski dengan luas kepemilikan lahan yang minim rata-rata petani memiliki lahan sekitar 0,25 sampai 0,5 Ha. Pengelolaan lahan benar-benar dimanfaatkan secara optimal karena sawah, kebun, ladang dan pekarangan masih sepenuhnya menjadi milik warga Kampung Sirnagalih. Kondisi kedua jenis lahan saat ini sangat memprihatinkan. Akibat peristiwa longsor yang terjadi, lahan garapan para petani mengalami kerusakan. Lahan garapan menjadi retak bahkan ada yang terbelah dengan kondisi yang cukup membahayakan Gambar 10 Gambar 10 Kondisi Lahan Sawah dan Kebun yang Rusak Akibat Gejala Longsor; Tanah Retak. Retak tanah tersebut hingga saat ini Mei 2012 terus terjadi dengan pola memanjang sehingga hampir semua lahan mengalami kerusakan. Kerusakan lahan khususnya sawah, berdampak pada menurunnya produktivitas lahan. Warga terancam tidak memiliki lagi lahan yang layak untuk dijadikan sebagai tempat bercocoktanam maupun sebagai tempat tinggal.

4.4.2 Sumberdaya Air

Potensi sumberdaya alam lainnya yang sangat penting bagi kehidupan warga setempat adalah air bersih. Ketersediaan air masih baik dan masih dapat memenuhi kebutuhan warga meskipun pada musim kemarau, debit air agak berkurang. Air diperoleh dari berbagai sumber yakni mata air, sumur, sungai dan air hujan yang ditadah di sawah. Air untuk memenuhi kehidupan sehari-hari rumahtangga diperoleh dari sumur air tanah. Untuk kebutuhan sawah diperoleh dari hujan dan sungai. Pada kondisi tertentu ketika air berkurang maka warga memanfaatkan sungai sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Secara fisik, warga menganggap bahwa kualitas air tanah masih baik, bersih, jernih dan tidak berbau. Berbeda dengan air sungai yang di saat musim hujan banyak mengandung lumpur akibat sedimentasi yang terjadi di hulu. Sungai yang melintas di Kampung Sirnagalih merupakan anak-anak sungai yang berasal dari Sungai Cisadane dan Sungai Cidurian. Kondisi anak sungai tersebut menunjukkan kualitas air yang sudah menurun, warna keruh dan pada musim kemarau mengalami kekeringan. Letak sungai di Kampung Sirnagalih berada di bagian bawah, dan jauh dari pemukiman sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Airnya tidak dapat dialirkan ke tempat dimana sawah para petani berada di bagian atas. Kebutuhan pengairan untuk sawah terpenuhi dari menadah air hujan sehingga sawah-sawah yang ada di Kampung Sirnagalih disebut sebagai sawah tadah hujan.

4.4.3 Hutan

Keberadaan hutan rakyat yang terdapat di Kampung Sirnagalih terdiri atas 2 bentuk yakni kebun campuran talun dan hutan keramat Gunung Batu Kaca. Dikategorikan sebagai hutan sebab habitat awal ke dua kampung merupakan ekosistem hutan yang perlahan bergeser dan berubah fungsi. Hanya lahan berupa hutan Gunung Batu Kaca yang tetap dijaga sebagai hutan keramat, sedangkan lahan lainnya telah beralih fungsi. Sebagian menjadi kebun dan tegalan, sebagian lagi menjadi pemukiman. Kondisi kedua hutan tersebut berbeda. Hutan yang dinamakan Gunung Batu Kaca, kondisi tutupan lahannya masih rapat dengan jenis pohon dan satwa liar yang ada didalamnya. Hingga saat ini, hutan yang dikeramatkan tersebut masih bagus dan berfungsi sebagai penyangga ekosistem Kampung Sirnagalih. Adapun kondisi hutan rakyat dengan bentuk kebun campuran talun masih terlihat bagus dengan kondisi lahan yang masih tertutup baik. Perubahan terlihat pada umur tanaman yang tinggi dan diameternya tidak lagi sebesar tanaman yang ada di hutan Gunung Batu Kaca. Hal tersebut disebabkan karena peruntukan hutan rakyat sebagai hutan produktif yang dapat dimanfaatkan hasilnya oleh warga.

4.4.4 Batubara

Potensi lain yang dimiliki Sirnagalih adalah hasil tambang batu bara gambar 11. Keberadaan batubara diyakini oleh seluruh warga, meskipun belum semua lahan warga teruji mengandung batubara. Batubara yang ditemukan dinilai memiliki kadar yang menghampiri sempurna nilai 7. Gambar 11 Salah Satu Bekas Lokasi Penambangan Batu Bara di Kampung Sirnagalih Aktivitas penambangan batu bara di Kampung Sirnagalih pernah dilakukan oleh 3 warga Tahun 2005 namun saat ini aktivitas tersebut telah dihentikan. Aktivitas penambangan tidak dilanjutkan karena banyaknya desakan dari warga lain yang prihatin terhadap kondisi kampung mereka terlebih setelah peristiwa longsor terjadi. Aktivitas penambangan tidaklah luas, masih berkisar pada 100 meter persegi. Namun demikian, aktivitas tersebut telah merusak ekosistem sekitar akibat pembukaan-pembersihan lahan yang dilakukan dengan menebang pohon. BAB V REALITAS BENCANA ALAM LONGSOR Secara faktual, Kampung Sirnagalih telah mengalami kejadian longsor pergerakan tanah sejak Tahun 2009. Desa Sukaraksa sebagai daerah rawan longsor juga telah ditetapkan oleh Pemerintah BNPB sebagai salah satu kebijakan untuk memberikan penanganan kepada Desa Sukaraksa. Kajian tentang realitas longsor selama 4 tahun terakhir penting untuk dipahami sebagai pengetahuan awal kondisi ekologis Sirnagalih. Dengan mengangkat fenomena longsor mulai dari realitas, pengaruh dan dampak, penyebab serta upaya penanggulangan maka realitas longsor Sirnagalih dapat dipahami secara komprehensif. Pada gambar 12 nampak bahwa daerah yang menjadi titik-titik longsor adalah daerah pemukiman dan areal persawahan. Ke-2 titik tersebut merupakan daerah yang dianggap labil karena selain memiliki struktur tanah yang rapuh juga menjadi pusat aktivitas warga sirnagalih dalam sehari-hari. Gambar 12 Sketsa Lokasi Rawan Longsor di Desa Sukaraksa

5.1. Faktor Penyebab Longsor

Kondisi geologi Kampung Sirnagalih hampir sama yakni memiliki struktur dan kontur tanah yang mudah bergeser. Kandungan tanah berupa batuan campuran dengan beragam jenis yakni breksi, batu pasir, lempung, kuarsa dan andesit menyebabkan tanah menyerap air dengan cepat sehingga menyebabkan tanah juga menjadi lebih cepat jenuh Dinas ESDM Kab.Bogor. Gejala-gejala alam secara umum menampakkan bahwa kondisi alam Kampung Sirnagalih memang termasuk dalam kategori rawan longsor. Potensi longsor tersebut menjadi lebih berat ketika lahan telah beralih fungsi menjadi pemukiman, persawahan dan perkebunan. Jenis tanaman endemik asli seperti bambu mulai berganti dengan jenis tanaman lain seperti Singkong dan Pisang. Menurut para ahli Geologi dari Dinas ESDM Kab. Bogor serta pakar konservasi tanah dan air IPB, peristiwa longsor yang terjadi pada daerah rawan longsor di Desa Sukaraksa yakni Kampung Sirnagalih merupakan fenomena alam geologis dengan tipe translasi. Tipe translasi merupakan salah satu jenis longsor yang kerap terjadi di Indonesia Nugraha 2010. Longsoran translasi merupakan pergerakan tanah yang terjadi akibat pergerakan massa tanah dan batuan pada bidang gelincir yang berbentuk rata atau menggelombang landai. Gejala longsor yang ditunjukkan oleh Kampung Sirnagalih merupakan parameter umum akan terjadinya perpindahan tanah dalam jumlah besar dengan gejala terjadi keretakan tanah, lantai dan dinding bangunan. Bentuk-bentuk keretakan tanah bisa berupa bentuk konsentris terpusat seperti lingkaran atau paralel dengan lebar beberapa sentimeter dan panjang beberapa meter sehingga dapat dibedakan dengan gejala retakan biasa Nugraha 2010. Dari berbagai kajian dan analisa para ahli yang menerangkan tentang kondisi geomorfologi kampung, maka terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya gerakan tanah. Secara umum faktor-faktor tersebut dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni faktor alamiah dan faktor manusia Mukhlis T.,dkk 2008. Pertama, faktor alamiah yang menjadi faktor pemicu longsor adalah curah hujan yang tinggi yakni 3000 mm 3 tahun dengan intensitas yang semakin meningkat pada bulan-bulan tertentu yakni November, Desember, Januari, Pebruari, Maret. Faktor alamiah lainnya yang menjadi pemicu adalah faktor geomorfologi lainnya seperti kecuraman lereng, kondisi tanah dan bebatuan. Kedua, kondisi alamiah tersebut menjadi semakin kritis dengan perubahan- perubahan lingkungan yang disebabkan oleh manusia dalam hal ini adalah