Latar Belakang Local Institution: A Form of Socio-Ecological Adaptation in Landslide-Prone Areas (A Case of Landslide-Prone Community in Sukaraksa Village, Bogor Regency, West Java Province).
kerusakan lingkungan yang ditengarai sebagai akibat dari revolusi industri merupakan tahap dimana lingkungan tidak lagi mendominasi kehidupan
manusia. Sebaliknya, manusialah yang mendominasi bahkan mengendalikan lingkungan melalui penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi modernisasi
dan industrialisasi. Merujuk pada Beck 2000, perubahan iklim akibat perubahan perilaku
manusia yang bergeser dari pola- pola tradisional menuju perilaku ”moderen”
yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan industrialisasinya telah mengantarkan Indonesia berada pada risk society yakni kondisi masyarakat yang
kian dicengkram oleh individualistik dan kekuatan pasar yang disebabkan manufactured risk bencana akibat perbuatan dan keputusan politik yang tidak
tepat. Indonesiapun mendapat julukan baru sebagai negeri bencana alam. Dampak dari bencana alam bukan pada penurunan kualitas pada aspek
ekologi saja, namun aspek sosial-ekonomi, budaya bahkan politik juga ikut terganggu. Beragam persoalan berpotensi menimbulkan dan atau memperparah
persoalan kemiskinan, keamanan, ketersediaan pangan, kesehatan dan perencanaan tata kota yang telah hadir lebih dulu. Pada akhirnya persoalan
ekologi, sosial, ekonomi dan budaya menjadi satu matarantai yang saling terkait hubungan kausalitas dan membutuhkan penanganan yang bersifat terpadu dan
sustainable bukan temporer dan parsial. Kompleksnya
persoalan yang
ditimbulkan oleh
bencana alam
membutuhkan penanganan secara mikro lokal maupun makro nasional hingga global yang membutuhkan perhatian dan tanggungjawab besar serta sinergi dari
para pihak, khususnya pemerintah. Lebih jauh tentang bagaimana menangani daerah rawan bencana dituangkan ke dalam Undang-undang No.24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana yang kemudian diikuti dengan keluarnya beberapa turunan Undang-undang tersebut yakni Peraturan Presiden No.
082008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Peraturan Pemerintah No.212008 tentang Penyelenggaraan penanggulangan bencana,
Peraturan Pemerintah No.222008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana, Peraturan Pemerintah No.232008 tentang Peran serta lembaga
internasional dan lembaga asing non pemerintah dalam penanggulangan bencana. Lahirnya Undang-undang tersebut memperlihatkan keseriusan
pemerintah memberikan payung hukum bagi para pihak untuk menangani daerah rawan bencana secara lebih baik.
Terkait dengan keseriusan pemerintah dalam menanggulangi bencana, pihak Bappenas telah melakukan evaluasi penanggulangan bencana pada tahun
2009 ke beberapa daerah dan masih ditemukan berbagai persoalan yang menyebabkan lemahnya perhatian pemerintah dan pihak terkait lainnya ke
masyarakat yang tinggal di titik-titik rawan bencana. Tak jarang ditemui sejumlah aksi dan program yang mengatasnamakan solidaritas dan kepedulian namun
tidak saling terkordinir sehingga terkesan masing-masing beraksi lebih dikarenakan adanya kepentingan lain. Aksi saling tumpah tindih dan cenderung
tidak terkoordinasi bukannya meringankan penderitaan warga yang terdampak, justru menambah penderitaan mereka Schiller et.al. 2008
Pada akhirnya, penanggulangan bencana masih bersifat teknis, temporer dan parsial. Penanggulangan bencana masih sering didefinisikan sebagai
bantuan dan pertolongan, belum dianggap sebagai program penanggulangan yang menyeluruh, sehingga pelaksanaannya baru bersifat reaktif dan kurang
konsepsional Andjasmaja 1994. Belum
optimalnya pelaksanaan
peran dan
fungsi pemerintah
mengakibatkan kondisi masyarakat yang hidup pada daerah rawan bencana sulit memperoleh jaminan keamanan dan kenyamanan, meskipun kelembagaan
formal telah dibangun oleh pemerintah guna menanggulangi bencana alam seperti Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Bakornas PB
yang kemudian digantikan fungsinya oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD.
Upaya penanggulangan bencana memang tidak seharusnya dibebankan ke pundak pemerintah saja. Seluruh komponen masyarakat harus terlibat aktif
dalam upaya penanggulangan bencana. Sebagus apapun program pemerintah, tanpa dukungan dari berbagai pihak maka upaya penanggulangan tidak akan
berjalan optimal, demikian halnya sebaliknya. Kahn dan Barondess 2008 mengatakan bahwa kerangka konstitusional, hukum dan sosial suatu negara
merupakan penentu kunci terkait fungsinya dalam merespon bencana. Pemerintah selaku pihak yang memiliki power seyogyanya mampu
mengintegrasikan unsur-unsur masyarakat untuk bersama-sama menanggulangi bencana.
Terlepas dari kelemahan pemerintah dalam menanggulangi bencana alam, masyarakat yang tinggal dan bergantung hidup di daerah rawan bencana harus
tetap bertahan dan melanjutkan hidup mereka dengan kondisi yang sangat riskan. Keterbatasan pilihan untuk bertahan hidup pada kondisi yang rentan
terhadap bencana alam khususnya longsor membuat masyarakat setempat harus menjalaninya dengan cara-cara yang dianggap relevan.
Pola atau perilaku sehari-hari masyarakat pada daerah rawan longsor mencerminkan cara mereka beradaptasi terhadap tempat tinggal. Pada daerah
dengan peristiwa atau kondisi kerentanan yang sama, belum tentu melahirkan cara adaptasi yang sama, begitupun sebaliknya.
Cara-pola adaptasi sedikit banyak dipengaruhi oleh cara pandang masyarakat yang hidup di daerah rawan bencana. Masing-masing daerah
memiliki cara-bentuk adaptasi yang berbeda dan sebagian perbedaan tersebut dipengaruhi oleh interpretasi atau persepsi yang berbeda dalam memaknai
peristiwa longsor Donie 2006. Beberapa cara-pola adaptasi yang diterapkan oleh komunitas yang tinggal
di daerah rawan longsor menunjukkan bagaimana pandangan mereka terhadap bahaya longsor sehingga perlu melakukan berbagai kegiatan mitigasi.
Diantaranya membentuk kelembagaan organisasi lokal Kelompok Masyarakat Peduli Bencana KMPB yang berfungsi memantau gejala awal terjadinya longsor
serta evakuasi dini, membentuk sistem peringatan dini dengan pembagian peran antar warga untuk memantau gejala awal terjadinya longsor, bahkan
membangun kembali rumah dengan dengan beton bertulang, bagi yang kurang mampu mereka membangun rumah dengan bahan kayu agar terhindar dari
bahaya longsor Parlindungan dkk. 2008, Mukhlis dkk. 2008, Hariyanto dkk. 2009.
Manusia sebagai makhluk adaptif akan mengoptimalkan kekuatan-potensi yang dimiliki sembari belajar untuk hidup selaras dengan kondisi alam bahkan
bersahabat dengan bencana longsor. Bentuk adaptasi terhadap lingkungan di beberapa tempat telah berjalan lama bahkan telah mengakar dan menjadi
sebuah kelembagaan lokal yang sarat akan nilai-nilai luhur, misalnya akar falsafah Tri Hita Karana di Bali, Berguru pada Alam di Minangkabau dan
Hamemayu Hayuning Bawana serta tradisi seperti nyabuk gunung, bersih desa, serta larangan-larangan pamali di pedesaan Jawa dan lainnya.
Keberadaan dan atau kehadiran kelembagaan lokal baru pada komunitas rawan longsor dalam tingkatan norma cara, kebiasaan, tata kelakuan dan adat
istiadat merupakan wujud adaptasi sosio-ekologi yang yang perlu dikaji dan terus dikembangkan agar kapasitas masyarakat terus meningkat untuk
menghadapi perubahan lingkungan yang sewaktu-waktu dapat terjadi.