Persepsi terhadap Kemampuan Diri

mendapat bantuan dari pihak lain serta tidak memiliki kerabat yang dapat menolong. Berbagai pertimbangan tersebut menjadi alasan warga mengapa masih bertahan. Namun jika ditanya lebih jauh tentang faktor yang paling sulit untuk mereka atasi adalah tidak adanya lahan lain untuk pindah. Beberapa responden yang kebetulan memiliki lahan lain juga merasa enggan pindah karena merasa bahwa di tempat baru nanti mereka belum tentu memiliki nasib yang lebih baik. Tabel 20 Penyebab Warga Bertahan Hidup di Daerah Rawan Longsor n=55 Dengan berbagai jawaban tersebut, secara riil warga memang tetap bertahan. Mereka menganggap bahwa saat ini mereka tidak memiliki pilihan hidup yang lebih baik untuk bisa keluar dari kampung. Sebelum pilihan hidup yang lebih baik ada maka pilihan untuk tetap bertahan dengan kondisi yang sulit menjadi konsekwensi warga untuk mampu bertahan. Dari seluruh responden, sebagian besar warga memilih menjawab bahwa mereka masih sanggup untuk bertahan menjalani aktivitas hidup sehari-hari di kampung. Sebagaimana terlihat pada gambar 18. Meskipun di sisi lain sebagian warga menjawab bahwa mereka sudah tidak mampu lagi untuk bertahan namun pada akhirnya tetap memaksakan diri untuk surive di kampung dengan kondisi yang sulit. Hal tersebut semakin memperkuat keadaan warga yang memang tidak memiliki alternatif penghidupan lain yang lebih baik. No. Faktor Penyebab Distribusi Responden Ya Tidak 1. Tidak memiliki lahan lain 96 4 2. Masih merasa nyaman 56 44 3. Masih merasa aman 56 44 4. Tidak memiliki keluarga di luar kampung-desa 53 47 5. Warisan leluhur 38 62 6. Kesuburan lahan 27 73 7. Sering mendapat bantuan dari pihak luar 13 87 8. Tanah mengandung batubara 5 95 Gambar 18 Persepsi Warga tentang Kemampuan Diri untuk Bertahan Hidup Pilihan untuk tetap bertahan dan kesanggupan diri untuk tidak meninggalkan kampung berdampak pada munculnya beberapa alternatif cara bertahan hidup. Secara praktis, warga memahami dasar bertahan hidup yang paling utama adalah pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari yakni pangan. Pada tabel 21, terlihat beberapa cara bertahan hidup yang dipilih oleh warga. Seluruh responden memilih jawaban tentang perlunya mencari tambahan pendapatan dari pekerjaan lain. Sebagian juga memilih untuk merubah cara bercocok tanam dari lahan basah menjadi lahan kering. Mayoritas warga di kedua kampung masih tergantung dengan keberadaan lahan. Jawaban lain yang dipilih adalah meminta bantuan. Peristiwa longsor yang membawa kerusakan ekologis mengancam sumber nafkah sehingga warga mulai berfikir untuk mengupayakan cara-cara sebagai bentuk survive. Pertama, mencari alternatif nafkah lainnya yang tidak berbasis lahan. Sebagian warga mulai beternak kambing meskipun masih dalam jumlah yang kecil. Sebagian lagi menganggap bahwa pekerjaan di sektor jasa seperti menjadi tukang ojek, berdagang hingga mencari pekerjaan ke kampung-desa tetangga merupakan alternatif mata pencaharian yang paling memungkinkan untuk dilakukan, mengingat minimnya lapangan kerja yang tersedia di dalam desa. Kedua, merubah pola bercocoktanam dengan menyesuaikan kondisi lahan saat ini. Hal tersebut dilakukan oleh warga khususnya mereka yang bekerja sebagai petani sekaligus sebagai pemilik lahan dimana lahan garapan telah mengalami kerusakan. Selain pola bercocoktanam, pemilihan jenis tanaman juga disesuaikan berdasarkan kebutuhan pangan dan kondisi tanah. Mereka yang menjadikan perubahan pola bercocoktanam sebagai strategi bertahan hidup adalah mereka yang bergantung hidup dari lahan bertani. Pada umumnya mereka adalah para petani yang berkuasa atas lahan garapan pemilik dan 96 4 Mampu Tidak Mampu penyewa. Meski demikian, tidak semua petani buruh tani merasa sanggup merubah pola bercocoktanam sebab mereka bukan sebagai pemilik lahan sehingga tidak mempunyai wewenang untuk melakukan perubahan. Ketiga, meminta bantuan dari pihak lain juga menjadi salah satu alternatif strategi bertahan, yakni kepada pemerintah dan keluarga. Banyak warga yang memilih cara ini karena mereka menyadari bahwa permasalahan yang mereka hadapi tidak dapat diselesaikan sendiri. Warga membedakan jenis bantuan yang diharapkan. Kepada pemerintah warga lebih berharap bantuan yang bersifat materiil dan non materiil yang sustainable. Materiil disini berupa bantuan untuk pembangunan tempat tinggal yang lebih layak di lahan yang aman, sedangkan non materiil berupa pengembangan kapasitas warga berupa transformasi pengetahuan melalui penyuluhan serta membuka lapangan kerja yang tidak berbasis lahan. Kepada kerabat keluarga, warga lebih memilih meminta bantuan yang bersifat temporer pada kondisi darurat, sedangkan kepada sesama tetangga warga lebih membangun kekuatan dan kerjasama toleransi dalam menghadapi perubahan lingkungan. Tabel 21 Persepsi Warga tentang Cara Bertahan Hidup di Daerah Rawan Longsor n=55 6.2.2 Kemampuan Mencegah Longsor Selain kemampuan diri untuk tetap bertahan, kemampuan lain yang tak kalah pentingnya adalah melihat kemampuan warga melakukan tindakan- tindakan untuk mencegah longsor. Pada penjelasan sebelumnya, secara eksplisit, mayoritas responden menyatakan ketidaksanggupan mereka untuk mencegah longsor susulan disebabkan oleh pemahaman warga yang menganggap bahwa penyebab longsor lebih kepada faktor non teknis yakni takdir Tuhan serta faktor teknis yakni kondisi tanah, iklim dan seterusnya. Ketidaksanggupan tersebut sebenarnya merupakan gambaran warga yang lebih menilai longsor sebagai peristiwa alam yang tidak dapat dihindarkan jika Tuhan telah berkehendak. Namun secara implisit, sikap dan perilaku warga serta No. Cara Bertahan Distribusi Responden Ya Tidak 1. Mencari pekerjaan tambahan 100 - 2. Merubah pola bercocoktanam 60 40 3. Meminta bantuan dari pihak lain Pemerintah, Keluarga dan sesama Tetangga 64 36 keinginan warga untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik sangat terlihat. Hal tersebut terlihat pada gambar 19. Gambar 19 Persepsi Warga tentang Kemampuan Diri untuk Mencegah Longsor Alasan sebagian kecil responden yang menyatakan ketidaksanggupannya lebih kepada rendahnya pendidikan serta kemampuan finansial. Warga menganggap ke-2 alasan tersebut merupakan kendala yang membuat warga merasa tidak mempunyai daya untuk mencegah longsor. namun demikian, kemampuan warga mencegah longsor tidak dapat dipahami secara eksplisit. Cara-tindakan dan keseharian warga dalam berinteraksi dengan lingkungan tanpa mereka sadari sebenarnya merupakan bentuk-upaya warga untuk mencegah terjadinya longsor atau minimal dapat meminimalisir tingkat kerugian yang ditimbulkan oleh bencana longsor. Pada tabel 22 terlihat bentuk-bentuk upaya warga untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat memperparah kondisi fisik lingkungan dan tetap mempertahankan pola perilaku yang dianggap masih relevan dengan kondisi lahan merupakan bentuk upaya pencegahan terjadinya lonsor. Sebagian perilaku merupakan bentuk tindakan adaptasi dan adjusment yang telah ada selama ini, seperti tetap melestarikan hutan Gunung Batu Kaca, mempertahankan tanaman bambu serta menanam kembali setelah melakukan penebangan. Adapun bentuk pencegahan lainnya seperti melaksanakan pola tanam kering, tidak mendirikan rumah di titik longsor, dan lain-lain adalah cara baru yang mucul dan diyakini oleh warga dapat mencegah atau setidaknya dapat meminimalisir frekwensi bahaya longsor. Beberapa adaptasi ekologi telah dilakukan oleh warga untuk mencegah terjadinya longsor besar dan berharap dapat memperpanjang usia kampung mereka. Beberapa tindakan yang telah dilakukan dan akan tetap dipertahankan adalah tidak melakukan penebangan pohon sebelum masa panen termasuk menjaga kampung mereka dari aktivitas illegal loging yang pernah terjadi, setiap 80 20 Mampu Tidak Mampu pohon yang tiba masa panen boleh ditebang dengan melakukan kembali penanaman ulang, tetap mempertahankan habitat bambu, mengganti pola tanam basah ke pola tanam kering agar tanah tidak jenuh, tidak lagi membangun rumah di titik longsor, selain untuk keamanan juga untuk menghindari terjadinya kelebihan beban terhadap tanah yang rawan, serta membuat aliran air di sekitar tempat tinggal untuk menjaga terjadinya genangan air yang dapat membuat tanah semakin jenuh. Tabel 22 Persepsi Warga tentang Cara Mekanisme Pencegahan Longsor n=55 Untuk mendukung perubahan yang dilakukan oleh warga, maka pada tabel 23 memperlihatkan beberapa faktor yang dianggap oleh warga sebagai pendukung keberhasilan perubahan tersebut. Warga setuju bahwa tindakan yang mereka lakukan hanya mampu berhasil jika upaya-upaya tersebut dipahami dan disadari bersama melalui partisipasi serta kerjasama warga. Perihal lainnya yang juga penting adalah dibuatnya aturan-aturan beserta sanksi yang menjadi kesepakatan bersama antar warga. Aturan tersebut dianggap penting agar dapat mengikat menjadi kontrol para warga dalam menjaga kelestarian kampung mereka. Upaya tersebut merupakan faktor internal yang menjadi dasar utama terbangunnya kelembagaan lokal untuk menanggulangi longsor. Tabel 23 memperlihatkan faktor pendukung yang secara internal harus dibangun antar warga. No. Cara Pencegahan Distribusi Responden Ya Tidak 1. Tidak menebang pohon sembarangan 95 5 2. Mempertahankan tanaman berakar kuat bambu 95 5 3. Melakukan penanaman ulang 67 33 4. Melaksanakan pola lahan kering 67 33 5. Tidak mendirikan rumah di titik longsor 98 2 6. Membuat drainase aliran air 93 7 Tabel 23 Persepsi Warga tentang Faktor Pendukung Keberhasilan Mencegah- Menanggulangi Longsor n=55 Mengacu pada tabel 23 terlihat bahwa pemberian sanksi kepada warga yang melanggar aturan lebih rendah dibandingkan ke-3 unsur pendukung lainnya. Hal tersebut disebabkan karena masih tingginya toleransi warga terhadap sesama dan lebih memilih untuk memperkuat ke-3 unsur lainnya yakni meningkatkan kesadaran dan partisipasi, membangun kerjasama serta membuat aturan penanggulangan longsor. Secara internal, warga Sirnagalih akhirnya memahami bahwa mereka mampu melakukan upaya pencegahan terhadap bencana longsor. Selanjutnya, pada tabel 24 warga juga setuju bahwa faktor eksternal sangat dibutuhkan. Sebagian warga setuju dan berharap adanya dukungan dari pemerintah sebagai pihak yang memiliki kekuasaan, keahlian dan kemampuan yang lebih baik. Selain pemerintah, keluarga-kerabat juga menjadi pilihan untuk meminta bantuan dalam keadaan terdesak. Satu faktor lain yang dipilih oleh seluruh responden sebagai satu kekuatan yang sangat besar adalah kehendak Tuhan untuk tidak memberikan bencana longsor di kampung mereka. Warga yakin bahwa sebesar apapun usaha yang mereka lakukan hanya dapat berhasil jika Tuhan berkehendak. Keyakinan tersebut merupakan satu bentuk pemahaman warga terhadap ajaran agama Islam yang dianut yakni manusia wajib mempercayai adanya takdir baik dan takdir buruk. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa warga benar-benar menyadari peristiwa longsor sebagai peristiwa yang juga disebabkan oleh kondisi alam dan mereka tidak memiliki alternatif penghidupan lainnya sehingga hanya bisa berserah diri dan mengharapkan pertolongan kepada Tuhan. No. Faktor Pendukung Keberhasilan Pencegahan- Penanggulangan Longsor Distribusi Responden Ya Tidak 1. Peningkatan kesadaran dan partisipasi warga 98 2 2. Kerjasama antar warga 98 2 3. Membuat aturan tentang upaya penanggulangan longsor 98 2 4. Memberikan sanksi bagi warga yang melanggar aturan tentang penanggulangan longsor 91 9 Tabel 24 Persepsi Warga tentang Pihak yang Dianggap Mampu Membantu Pencegahan-Penanggulangan Longsor n=55 Dari seluruh uraian di atas, terlihat bahwa sebagian besar responden setuju dalam memberikan pandangan yang sama terhadap lingkungan. Kesamaan tersebut merepresentasikan kondisi lingkungan mereka saat ini. Persepsi lingkungan yang dikemukakan oleh Bell, dkk sangat terlihat dari hasil pengukuran persepsi warga di Kampung Sirnagalih. Persepsi warga terhadap lingkungannya memperlihatkan bahwa kondisi daerah yang rawan longsor telah menyebabkan lingkungan sekitar mereka menjadi tidak seimbang homeo statis. Akibatnya, muncul tekanan yang menyebabkan perasaan tidak aman dan tidak nyaman. Dalam ketidaknyamanan tersebut, sebagai makhluk adaptif, warga melakukan berbagai upaya penyesuaian coping yang mengarah pada adaptasi dimana terjadi perubahan sikap dan perilaku. Persepsi warga terhadap kemampuan diri untuk bertahan dan mencegah longsor, akan menjadi representasi warga terhadap kapasitas mereka untuk melakukan tindakan- tindakan adaptif. Begitupun sebaliknya, tindakan adaptasi yang muncul dan perlahan membentuk suatu pola akan menggambarkan representasi sosial warga terhadap daya adaptasi dan kemampuan untuk membentuk suatu tatanan norma-nilai yang menjadi panduan baru dalam menghadapi perubahan lingkungan. Begitupun persepsi terhadap kemampuan diri untuk bertahan dan mencegah longsor, akan menjadi representasi warga terhadap kapasitas mereka untuk melakukan tindakan-tindakan adaptif.

6.3 Ikhtisar

Pemahaman warga tentang bahaya longsor, kualitas lingkungan, bentuk adaptasi yang dipahami sebagai cara bertahan hidup dan kemampuan diri untuk bertahan, merupakan konsep yang telah melahirkan pemahaman dan No. Pihak yang Dianggap Mampu Membantu Distribusi Responden Ya Tidak 1. Warga Kampung 87 13 2. Pihak lain Pemerintah Keluarga 67 33 3. Tuhan 100 - pemaknaan bersama. Hampir semua warga memberikan pandangan yang serupa dalam beberapa hal, sehingga tingkat homogenitas jawaban responden pada akhirnya memperlihatkan persepsi mereka secara nyata berdasarkan keeratan hubungan terhadap lingkungan sekitar. Persentase persepsi warga dalam memaknai bersama terhadap bahaya longsor sangat tinggi. Begitupun dengan persepsi warga tentang kondisi kampung mereka yang telah rusak. Pada gambar 20 memperlihatkan tingginya grafik kesamaan persepsi dalam memaknai bahaya longsor. Persepsi tersebut seiring dengan tingginya kesamaan warga mempersepsikan kemampuan mereka untuk bertahan dan melakukan tindakan adaptasi. Tingkat kesamaan warga dalam menpersepsikan lingkungan dan kemampuan diri, merepresentasikan kemampuan warga dalam mengenali perubahan lingkungan serta mengenali kapasitas mereka dalam menciptakan pola adaptasi atas perubahan lingkungan yang terjadi. Tingginya tingkat kesamaan cara pandang persepsi para warga menjadi modal dasar untuk menciptakan penanganan-penanggulangan bencana, baik oleh masyarakat itu sendiri maupun oleh pihak luar, seperti pemerintah dan pihak pemerhati bencana lainnya. Peran dan partisipasi aktif masyarakat untuk saling melindungi dan bersikap toleran lebih mudah dilakukan dibandingkan jika persepsi antar warga terhadap keadaan lingkungan saling berbeda. Gambar 20 Tingkat Keragaman Persepsi Masyarakat Sirnagalih Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012 Kesamaan cara pandang dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan perubahan secara bersama-sama. Tentunya perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang mengarah pada tindakan adaptasi yang mampu 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Bahaya Longsor Kerusakan Lingkungan Kemampuan Bertahan Mencegah Longsor Tinggi Sedang Rendah menyeimbangkan kehidupan-aktivitas warga terhadap perubahan lingkungan. Perubahan lingkungan yang mengalami penurunan kualitas seyogyanya mendapatkan perlakuan yang berbeda agar sustainabilitas kehidupan masyarakat di Kampung Sirnagalih bisa bertahan lebih lama tanpa menanggung resiko tinggi. Pada akhirnya, cara pandang persepsi yang sama juga akan memudahkan terbentuknya kesepakatan-kesepakatan konsensus yang diakui bersama. Kesepakatan atau konsensus secara tidak langsung akan merangsang munculnya kontrol sosial dalam masyarakat, baik norma yang telah terinternalisasi ataupun sekedar nilai-etika yang harus ditaati bersama, demi keberlangsungan hidup manusia dan lingkungannya.