Persepsi terhadap Lingkungan Local Institution: A Form of Socio-Ecological Adaptation in Landslide-Prone Areas (A Case of Landslide-Prone Community in Sukaraksa Village, Bogor Regency, West Java Province).
Objek Fisik
Individu Persepsi
Dalam batas optimal
Di luar batas optimal Coping
Stress Berlanjut
Adaptasi Adjusment
Homeo statis Sukses
Gagal
tidak menentu sehingga berdampak pada menurunnya produktivitas lahan akan membentuk persepsi petani tersebut tentang dampak perubahan iklim.
Perihal tersebut secara tegas tersirat dalam konsep yang dikemukakan oleh Paul A.Bell, et al. 1978 tentang persepsi individu terhadap lingkungannya.
Jika persepsi berada dalam batas-batas optimal maka individu dikatakan dalam keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang. Sebaliknya, jika
objek dipersepsikan sebagai di luar batas-batas optimal maka individu akan mengalami stress dalam dirinya. Tekanan-tekanan energi dalam dirinya
meningkat sehingga orang itu harus melakukan coping untuk menyesuaikan dirinya atau lingkungan pada kondisi dirinya. Skema persepsi yang dikemukakan
oleh Paul A.Bell, et al. 1978 dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1 Skema Persepsi oleh Paul A.Bell, et al. 1978
Cara pandang manusia terhadap lingkungannya akan mempengaruhi bentuk adaptasi masyarakat tersebut. S
emakin mereka memaknai “negatif” kondisi lingkungan di sekitar mereka maka semakin besar pula upaya adaptasi
yang dilakukan untuk dapat bertahan hidup. Pada kondisi lingkungan yang sama bisa dijumpai bentuk-pola adaptasi
yang berbeda. Perbedaan adaptasi tersebut disebabkan oleh persepsi yang tidak sama terhadap suatu lingkungan. Persepsi yang berbeda-beda akan
menghasilkan pilihan-pilihan strategi adaptasi yang berbeda-beda pula meski pada akhirnya keberhasilan yang diperoleh dalam beradaptasi belum tentu
memiliki kualitas yang berbeda jauh. Seperti yang dikemukakan oleh Bell, et al. 1978 tentang pembentukan
adaptasi yang diawali dari persepsi terhadap lingkungan maka kajian longsor ini akan mengacu pada konsep tersebut. Namun demikian untuk melengkapi
konsep-teori yang telah dikemukakan oleh Bell, et al. maka unsur lain yang
memiliki keterkaitan langsung terhadap persepsi dan lahirnya adaptasi yakni persepsi diri terhadap kemampuan diri self efficacy. Kepercayaan akan
kemampuan diri disini berarti bahwa manusia atau suatu komunitas akan mampu melakukan perubahan-penyesuaian adaptasi jika mereka memandang
menpersepsikan bahwa keadaan dan lingkungan yang berbahaya dapat diatasi dan dipertahankan dengan memunculkan hal-hal yang baik serta meninggalkan
hal-hal yang dapat menambah kerusakan lingkungan. Adaptasi pada dasarnya merupakan suatu kerangka teoritis untuk
memahami mekanisme yang diciptakan manusia untuk menyesuaikan diri mengatasi atau menyesuaikan lingkungan dengan kehidupan dan keinginan-
keinginannya. Untuk itu, dapat dikatakan bahwa adaptasi merupakan suatu proses di mana organisme atau kelompok organisme, termasuk kelompok-
kelompok sosial seperti keluarga, kerabat, suku bangsa, negara atau pada pokoknya masyarakat dan ekosistemnya, mempertahankan keseimbangan
homeostasis untuk menghadapi lingkungannnya. Perbedaan sikap dan tindakan sebagai bentuk adaptasi manusia
dipengaruhi dari seberapa besar persepsi mampu melahirkan sikap dan keyakinan atau kepercayaan diri yang tinggi self efficacy. Peranan dan
pengaruh dari self efficacy menumbuhkan keyakinan untuk mampu mengatasi kecemasan dan depresi Cheung dan Sun 2000 dalam Baron dan Byrne 2003.
Self efficacy pada daerah rawan longsor dapat dilihat dari cara mereka menpersepsikan penyebab bencana. Sifat fatalistik cenderung pasrah sehingga
tidak melakukan tindakan yang lebih baik untuk melakukan upaya panggulangan merupakan indikasi rendahnya self efficacy yang dimiliki oleh suatu masyarakat.
Misalnya, pada Desa Purwoharjo yang disinyalir sebagai daerah rawan longsor memiliki pola adaptasi yang berbeda antar sesama warga yang tua dan
warga muda. Warga tua menganggap bahwa bencana longsor adalah hukuman akibat ulah warga yang menebang pohon sehingga cenderung pasrah menerima
“hukuman” dan tidak melakukan hal-hal yang lebih baik, berbeda dengan warga lain yang menyadari bahwa longsor sebagai akibat dari perbuatan warga yang
melakukan pengrusakan hutan sehingga mereka memperbaiki kesalahan dengan tidak melakukan penebangan dan memberikan sanksi berat kepada
yang melanggar. Adapun warga muda menganggap bahwa bencana longsor terjadi akibat kualitas lahan tempat mereka tinggal dan bercocoktanam sudah
tidak baik sehingga untuk dapat hidup aman mereka harus mencari lahan yang baru dan pindah Donie 2006.
Kajian lain yang serupa adalah di Gunung Kidul. Gunung Kidul merupakan daerah yang telah disinyalir oleh pemerintah sebagai daerah rawan longsor.
Berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut, mereka menganggap bahwa longsor adalah jatuh-amblasnya tanah secara besar,
sehingga longsor kecil dianggap sepele dan akibatnya pola bercocok tanam masyarakatpun tidak berubah Mardiatno, dkk 2001.
Persepsi manusia terhadap bencana memang tidak selalu berada dalam batas-batas kendali tingkah laku manusia, khususnya bencana alam seperti
longsor. Selain itu, sifat bencana adalah tidak terduga, kejadiannya tiba-tiba, dalam jumlah atau kekuatan yang besar sehingga menimbulkan kerugian yang
besar pula. Kerugian material maupun jiwa itu timbul karena manusia bersangkutan tidak siap untuk menghadapi bencana. Kesiapan untuk
menghadapi bencana itu bisa dilakukan karena sebagian bencana alam bisa diramalkan atau diperhitungkan datangnya melalui ilmu pengetahuan baik yang
bersifat tradisional yakni tanda-gejala alam maupun hasil deteksi teknologi canggih.
Persepsi tentang bencana alam yang merupakan bagian dari persepsi terhadap lingkungan mendapat perhatian khusus dalam psikologi lingkungan
Umar 2009. Melalui pendekatan psikologi lingkungan diharapkan akan muncul pembentukan sikap yang positif terhadap pelestarian lingkungan dan dalam
berbagai situasi dapat diupayakan timbulnya sikap yang lebih waspada dan berjaga-jaga terhadap kemungkinan datangnya bencana susulan. Misalnya,
menipisnya kawasan hutan yang disebabkan oleh lahan-lahan yang diokupasi penduduk dan dimanfaatkan untuk kawasan permukiman, pariwisata,
perindustrian, atau pertanian. Jelaslah bahwa penduduk yang memanfaatkan lahan-lahan bekas hutan itu tidak menyadari bencana yang bisa ditimbulkan
dengan perilaku mereka. Dengan kata lain, bencana itu tidak terekam dalam persepsi mereka, ataupun kalau terekam ada faktor-faktor tertentu yang
menyebabkan mereka kurang memberi perhatian pada masalah ini. Sejalan dengan hasil kajian Marfai dan Khasanah 2012, perbedaan cara
pandang akan melahirkan bentuk partisipasi yang tidak maksimal oleh kalangan masyarakat, dan hal tersebut berdampak pada terhambatnya penanganan
bencana. Sejauhmana masyarakat memandang persoalan bencana akan membawa dampak kepada perilaku manusia. Burton dan Kates dalam Sarwono
1992 menyebutkan bahwa suatu bencana akan melahirkan tiga efek terhadap manusia, yakni efek kritis, efek tanggul dan efek adaptasi.
a. Efek kritis crisis effect, terjadi pada awal bencana dan selama bencana itu berlangsung. Pada saat itu orang berusaha mengatasi bencana dan
menyelidiki penyebab bencana itu. Namun masalah yang ditimbulkan oleh bencana itu sendiri baru bisa diatasi setelah bencana itu berlalu. Efek kritis
melahirkan gagasan tentang bagaimana mengatasi bencana jika terjadi lagi pada masa yang akan datang.
b. Efek tanggul levee effect, tindakan yang diambil untuk mencegah bencana berikutnya. Manusia memang cenderung untuk mengatur lingkungan di
sekitar mereka dengan membuat berbagai macam mekanisme perlindungan, misalnya membuat tanggul untuk mencegah banjir. Efek tanggul ini adalah
tindak lanjut dari gagasan yang timbul sebagai akibat efek krisis. c. Efek adaptasi merupakan penyesuaian-perubahan yang dilakukan manusia
secara konsisten dan akhirnya menjadi permanen efek tanggul yang permanen. Misalnya, orang yang tinggal di daerah banjir membuat rumah-
rumah panggung sehingga air banjir tidak menjangkau ruangan dalam rumah. Mereka pun menyediakan perahu-perahu untuk sarana transportasi
selama musim banjir. Namun di lain sisi, adaptasi bisa berbahaya karena ada peningkatan ambang toleransi terhadap bahaya sehingga kepekaan
terhadap bencana berkurang. Akibatnya, jika bencana itu terjadi lagi, orang kembali tidak siap sehingga usaha dari efek tanggul tidak ada gunanya.
Contohnya adalah petani-petani di lereng-lereng bukit. Walaupun beberapa tahun sekali kampung dan sawah mereka rusak dan habis dilanda longsor,
tetapi setelah efek krisis berlalu beberapa waktu, mereka mulai lagi bertani dan membangun perkampungan di tempat lama, sampai tiba saatnya
mereka kembali dilanda bencana. Efek adaptasi yang meningkatkan ambang toleransi merupakan faktor yang
perlu diwaspadai sebab akan mengurangi kewaspadaan dan sikap siaga terhadap bencana selanjutnya. Berbeda dengan hasil kajian Siegel dkk. 2003
pada korban gempa California yang menyatakan bahwa luka psikis pasca
bencana akan membuat seseorang lebih siap dalam menghadapi bencana berikutnya