Adaptasi Lingkungan: Dinamika Interaksi antara Manusia dan Alam
LINGKUNGAN-ALAM
Pembauran Difusi dari Masy.Lain
Pengaruh
Teknologi Pengelolaan SDA
Kelembagaan Ekonomi
Populasi Penduduk
Inti Core Budaya
Agama Bahasa
Kesehatan Ideologi
Non Inti budaya
Organisasi Sosial Politik
LINGKUNGAN SOSIAL
bahasa merupakan faktor yang juga memberikan kontribusi lahirnya tindakan adaptif. Lebih jauh Steward menekankan bahwa diantara keempat core budaya,
teknologilah yang memiliki hubungan timbal balik secara intens terhadap lingkungan. Adapun bagian-bagian kebudayaan yang berada di luar non inti
yakni agama, bahasa, nilai dan seni merupakan hasil difusi dari lingkungan sosial yang ikut mempengaruhi bentuk organisasi sosial yang ada pada suatu
komunitas. Steward menggambarkan model Cultural Ecology tersebut seperti yang terlihat pada gambar 2.
Gambar 2 The Model of Cultural Ecology By.Julian Steward Rambo 1983
Secara teknis, pandangan Steward yang membedakan budaya menjadi 2 bagian yakni core dan non core juga berguna dan efektif untuk melihat
sejauhmana lingkungan alam dan sosial mempengaruhi perubahan adaptasi suatu komunitas, termasuk komunitas yang hidup pada daerah rawan longsor.
Ilustrasi sederhana misalnya, 1 penggunaan teknologi dalam hal pengelolaan SDA seperti teknik konservasi tanah dengan membuat terasering sehingga
luncuran air tanah di lahan-lahan miring tidak deras dan dapat tertahan secara bertahap atau teknik menanam yang disesuaikan dengan kondisi tanah,
misalnya menanam jenis tanaman yang meiliki akar yang kuat sehingga mampu mengikat tanah dan menekan laju pergerakan tanah. 2 Unsur Populasi
merupakan faktor manusia yang secara langsung akan mempengaruhi lingkungan sekitar. Mulai dari jumlahnya, pola pemukiman, penyebaran dan
pengaruh-tekanan terhadap lahan dan SDA. Adapun 3 kelembagaan ekonomi dan 4 organisasi sosial dan politik merupakan faktor yang akan mempengaruhi
kebijakan, perubahan dan dinamika interaksi antara manusia dengan manusia serta manusia dan alam.
Permasalahan yang dihadapi oleh komunitas rawan longsor serupa dengan persoalan yang dihadapi oleh komunitas Indian Shosone yang hidup di habitat
semi-padang pasir gersang. Kedua komunitas memiliki kualitas ekologi yang sama-sama tidak memadai. Study Steward 1955 pada komunitas Indian
Shosone menggambarkan tentang populasi yang sedikit, band-band kecil dan tersebar, pola pemukiman yang fleksibel, dan kelangkaan teritori serta
kelangkaan pemimpin-pemimpin yang kuat merefleksikan ketidakmampuan teknologi Shosone dalam mengekstraksi suatu suplai pangan stabil pada suatu
sumberdaya yang tersedia di lingkungan yang gersang. Kesesuaian konsep dan kegunaan serta efektifitas pandangan Steward
tersebut menjadi alasan tersendiri untuk menggunakan konsep Cutural Ecology pada kajian ini. Selain itu, pertimbangan bahwa teori Steward sebagai ilmuwan
pertama yang mengkaji tentang pengaruh budaya yang mempengaruhi interaksi antara alam dan manusia merupakan konsep dasar pondasi yang masih
relevan bahkan terus berkembang dan menjadi inspirasi lahirnya teori-teori serupa oleh para ilmuwan.
Tokoh ekologi budaya lainnya, Alland 1975 yang didukung oleh Harris 1968 dan Moran 1982 bahwa adaptasi adalah suatu strategi penyesuaian diri
yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon terhadap perubahan- perubahan ingkungan dan sosial. Hingga saat ini, kajian serupa terus mengalami
perkembangan yang signifikan dengan masuknya berbagai bidang ilmu seperti; Antropologi, Ekonomi, Sosiologi, Geografi, Sejarah hingga Politik Adiwibowo
2010. Kasus Indian Shosone pada kajian Steward didukung oleh Cliford Geertz
1963 yang meyatakan bahwa hubungan timbal balik antara kebudayaan dan lingkungan sangatlah jelas. Mereka memandang bahwa dinamika organisasi
sosial budaya sebagai produk dari proses adaptasi manusia dengan lingkungannya. Pada kondisi lingkungan tertentu akan tumbuh beberapa pranata
atau institusi yang berpola tertentu.
Menurut pandangan mereka Steward dan Geertz, kebudayaan terbentuk dari pengaruh ekologi yang ada di lingkungan alam dan dari difusi sifat-sifat
bawaan yang ada pada lingkungan sosial. Kebudayaan dan lingkungan hidup memiliki peran besar yang saling mempengaruhi. Lingkungan hidup alam
memiliki pengaruh atas budaya dan perilaku manusia dan dalam waktu yang bersamaan, manusia juga mempengaruhi perubahan-perubahan lingkungan
hidupnya. Data ilmiah menunjukkan bahwa perilaku manusia sangat bervariasi antara kultur budaya yang satu dan yang lainnya Hall Barongan 2002.
Kajian Clifford Geertz 1983 tentang pola adaptasi masyarakat di Indonesia menjelaskan bahwa kondisi alam yang berbeda ekosistem akan
mempengaruhi pola kebudayaannya. Geertz membedakan antara ekosistem Indonesia Dalam Inner Indonesia seperti Jawa, Bali, dan Lombok, yang
menerapkan sistem sawah karena kondisi tanahnya yang lebih subur muda, kaya hara, sedangkan Indonesia Luar Outer Indonesia yakni pulau-pulau yang
ada di luar Pulau Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua mempraktekkan sistem ladang berpindah karena tanahnya yang kurang subur
tua, miskin hara dengan kepadatan penduduk yang masih rendah. Hal senada juga diungkapkan oleh Bennet 1976 yang mengemukakan
bahwa manusia akan selalu berupaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan alam sekitarnya, baik secara biologisgenetik maupun secara budaya.
Masyarakat dapat survive meski dalam kondisi rentan jika mampu beradaptasi dengan mengoptimalkan kekuatan yang tersedia. Lebih jauh Bennet menyatakan
bahwa unsur-unsur kebudayaan dan efeknya pada unsur-unsur lingkungan hidup merupakan hasil prilaku manusia yang dikendalikan oleh keputusan
dan pilihan tertentu. Keputusan dan pilihan itu merupakan ekspresi adaptasi terhadap lingkungan hidup dan proses-proses perubahannya. Sehingga dapat
dikatakan bahwa adaptasi sebagai suatu prilaku yang secara sadar dan aktif dapat memilih dan memutuskan apa yang ingin dilaksanakan sebagai usaha
penyesuaian. Proses adaptasi terkait dengan pengetahuan dan perilaku dimana manusia
fokus pada cara-cara aktif dari pertalian manusia dengan fenomena alam. Hal itu menunjuk pada mekanisme bagaimana manusia memperoleh keinginannya atau
menyesuaikan hidupnya kepada lingkungan pergaulannya atau sebaliknya menyesuaikan lingkungan kepada tujuan-tujuan hidupnya.
Haviland 1981 juga mengemukakan bahwa pada prinsipnya adaptasi merupakan proses penyesuaian diri manusia sebagai bagian dari sistem
sosial untuk merespon terhadap perubahan-perubahan di sekelilingnya, termasuk lingkungan fisik dan sosial budaya. Asumsi penjelasan di atas
berkembang karena adanya pemikiran bahwa manusia dan lingkungannya bukan merupakan suatu hal yang bersifat stagnan atau statis. Proses
adaptasi sangatlah dinamis karena lingkungan dan populasi manusia terus berubah.
Menurut Usman 1998, bentuk adaptasi terhadap lingkungan sebagian ditentukan oleh arah interaksi sosial. Karena itu, strategi-strategi yang dipilih
untuk melakukan adaptasi seringkali tidaklah murni datang darinya, tetapi juga merupakan hasil diskusi dengan orang lain, bahkan sebagian produk imitasi.
Masyarakat akan membangun apa yang lazim disebut idea wolds yaitu pola fikir yang dilembagakan dalam masyarakat, dijadikan reference bagi anggotanya
dalam bersikap dan bertindak terhadap lingkungan. Apabila masyarakat telah memiliki
dan mengetahui
konsep-konsep penanganan
lingkungannya, diasumsikan bahwa mereka juga akan memiliki tingkat cara sendiri dalam
menangani masalah lingkungan. Beberapa kajian yang menjelaskaan tentang bentuk adaptasi masyarakat
lokal terhadap lingkungannya di Indonesia telah banyak ditemukan. Diantaranya adalah strategi adaptasi masyarakat Kampung Naga, Jawa Barat yang membagi
kawasan ke dalam 3 bagian yakni 1 kawasan suci berupa kawasan hutan yang tidak boleh dikunjungi oleh sembarang orang yakni leuweung larangan yang
artinya hutan penuh pantangan, 2 kawasan bersih berupa pemukiman tempat untuk pemukiman, lumbung padi, masjid dan bale pertemuan, 3 kawasan kotor
berpa kawasan yang diperuntukkan bagi bangunan penunjang dalam bentuk sederhana seperti tempat mencuci, mandi, kandang ternak, kolam, dan
sebagainya. Pembagian kawasan merupakan bentuk teknologi sederhana masyarakat Kampung Naga yang didasarkan pada kearifan dan pengetahuan
lokal untuk menselaraskan hubugan antara alam dan manusia. Kawasan Suci berfungsi sebagai pengatur sistem hidrologi tata air, memelihara iklim mikro
serta menjaga habitat satwa liar. Dalam kehidupan sehari-hari, Masyarakat Kampung Naga masih menjaga tradisi dan nilai-nilai kearifan lokal yang
ditunjukkan dalam bentuk ritual-ritual serta ketaatan mematuhi dan tidak melanggar pantangan Iskandar 2009.
Bentuk teknologi lainnya yang mencerminkan cara-cara memperlakukan alam agar kehidupan selaras dapat terus bertahan ditemukan pada komunitas
Suku Kajang di Bulukumba-Sulawesi Selatan Sylviani 2005. Terdapat satu falsafah hidup yang mereka junjung tinggi yakni pandangan para leluhur mereka
bahwa pendidikan Pasang ri Kajang hampir sama dengan pendidikan formal di sekolah, sehingga sejak dini falsafah tersebut telah ditanamkan. Pasang ri
Kajang merupakan pemahaman tentang kesakralan hutan-alam yang tidak dapat diganggu. Kearifan ekologi untuk pelestarian lingkungan mereka lakukan
sepanjang masa hingga saat ini. Bentuk-bentuk adaptasi yang dilakukan oleh beberapa komunitas tersebut merupakan bentuk adaptasi kultural yakni
penyesuaian dengan norma dan pranata sosial, adat istiadat dan berbagai aktivitas manusia dari waktu ke waktu dan pada akhirnya menyatu dengan
manusianya.