Pengaruh dan Dampak Bencana Alam Longsor

amblas. Pergerakan tanah berupa tanah retak tersebut menyebabkan kerugian materiil seperti yang terurai pada tabel 11. Tabel 11 Rekapitulasi Data Korban-Kerugian Longsor di Kampung Sirnagalih No Uraian Korban-Kerugian Jumlah A. Tahun 2009 Bangunan Rumah Rusak Ringan 1 Unit B. Tahun 2010 Bangunan Rumah Rusak Ringan 1 Unit C. Tahun 2011 1. Jumlah KK 42 KK 2. Jumlah Jiwa 160 Jiwa 3. Jumlah Bangunan Rumah 42 Unit - Rusak Berat 33 Unit - Rusak Ringan 9 Unit 4. Sawah 15 Petak Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer Sekunder, Tahun2012 Mengacu pada konsep Cultural Ecology Steward, maka pemanfaatan teknologi menjadi awal perubahan pada 3 aspek inti lainnya yakni perubahan pada aspek kependudukan populasi, aspek kelembagaan ekonomi dan aspek organisasi sosial-politik. Perubahan sosio-ekologi pada Kampung Sirnagalih yang diawali dari pemanfaatan teknologi dibagi menjadi 2 hal yakni pertama, rusaknya lahan garapan petani yang berdampak pada perubahan teknik dan pola tanam. Perubahan tersebut terjadi karena retak tanah di lahan garapan khususnya sawah menjadi rusak. Rusaknya sawah berakibat pada menurunnya produktivitas lahan untuk menghasilkan beras, sementara beras masih menjadi makanan pokok warga setempat. Warga pun mulai mengalihfungsikan sawahnya menjadi kebun campuran, dengan jenis tanaman pangan lainnya yang dianggap dapat mengenyangkan yakni Singkong dan Pisang. Ada juga yang mengisi sebagian lahan mereka dengan tanaman tahunan seperti Sengon. Perubahan tersebut juga menyebabkan berubahnya pola produksi-distribusi pangan. Kerusakan lahan selain merubah pola teknik dan pola tanam juga merubah pola fikir dan perilaku sebagian warga untuk mencari alternatif mata pencaharian yang tidak berbasis lahan. Munculnya jenis pekerjaan baru di bidang jasa seperti menjadi tukang ojek dan buruh tumbuk emas di luar desa merubah struktur nafkah mereka menjadi nafkah ganda. Dari curahan waktu, pekerjaan bertani tetap sebagai yang utama. Kedua, dipindahkannya warga ke tempat hunian sementara Huntara. Sejak kejadian longsor besar hingga saat ini warga telah 2 kali dievakuasi yakni ke tenda pengungsian dan ke hunian sementara Huntara. Bantuan awal yang diterima warga adalah 43 tenda pengungsian sebagai tempat tinggal yang bersifat darurat. Selama lebih kurang 3 bulan warga hidup di tenda, hingga akhirnya dievakuasi ke hunian sementara Huntara. Bangunan Huntara didesain non permanen, lebih menyerupai barak dengan ukuran petak 7x5 m, terbuat dari triplek, dan berada dalam satu area seluas 2.300 meter persegi. Lokasi Huntara berjarak 500 meter dari pusat terjadinya longsor. Tidak dapat dipastikan akan berapa lama warga akan tinggal di Huntara tersebut dan di mana mereka akan diberikan tempat tinggal, sebab masih menunggu pencairan dana pemerintah serta hasil kajian geologi dan geografi untuk memastikan tempat yang aman dan layak untuk mereka hidup. Satu- satunya harapan warga dan pemerintah terkait dengan pemindahan mereka kelak ke tempat tinggal yang tetap adalah warga dipindahkan tidak jauh dari kampung mereka agar tetap mudah mengakses lahan garapan mereka. Direlokasinya para korban ke Huntara menimbulkan banyak perubahan yang berujung pada perilaku adaptasi meski sekilas terlihat tidak terjadi perubahan drastis. Namun secara psikologis dan sosiologis, banyak hal yang mempengaruhi pola interaksi para warga khususnya sesama korban longsor. Hidup di tenda ataupun di Huntara yang tidak memiliki sekatbatas pemisah antara kamar orangtua maupun anak telah menghambat kebutuhan biologis orangtua, andaipun dipaksakan maka akan berpengaruh buruk bagi anggota keluarga lainnya. Perubahan prilaku dan gaya hidup sesama warga Huntara pun ikut berubah. Diantaranya, penggunaan fasilitas umum seperti kamar manditoilet MCK yang harus dimanfaatkan secara bersama. Para pengungsi mulai belajar cara berbagi. Para anak sekolah harus mengantri mandi di jam pagi. Sebagian anak bahkan orangtua lebih memilih ke pancuran sawah. Pentingnya keberadaan air bersih sebagai kebutuhan utama membuat warga dan pihak lain TNI membantu membangun 3 unit sumur di sekitar lokasi pengungsian. Persoalan lain yang harus dihadapi oleh para pengungsi adalah kesehatan. Beberapa pengungsi mengalami diare, demam dan alergi. Minimnya air bersih yang „memaksa’ warga untuk memanfaatkan air sawah sebagai alat untuk membersihkan badan, pakaian, bahkan untuk membuang hajat, semakin menambah peluang terjangkitnya penyakit diare dan alergi. Hidup di Huntara yang jauh dari kehangatan dan kenyaman membuat daya tahan tubuh beberapa pengungsi menjadi rentan terhadap penyakit. Keterbatasan-keterbatasan tersebut menuntut warga untuk melakukan penyesuaian adaptasi agar tetap dapat menikmati hidup mereka ke depan sampai waktu yang belum pasti. Dalam keterbatasan itu mereka juga dituntut untuk saling berbagi. Di satu sisi para korban longsor tidak dapat kembali ke rumah mereka, namun di sisi lain mereka juga akan tetap bertahan karena tidak memiliki lahan lain yang dapat dijadikan seagai sumber penghidupan selain yang ada di kampung mereka.

5.4 Upaya Penanggulangan Bencana Longsor pada Daerah Rawan Longsor

Fenomena longsor merupakan fenomena alam yang sedikit banyak mendapatkan intervensi dari manusia. Intervensi tersebut berupa pemanfaatan lahan dengan cara mengubah kondisi lahan dari habitat aslinya menjadi areal yang lebih berfungsi sebagai lahan penopang kebutuhan hidup. Untuk melakukan upaya penanggulangan maka perlu beberapa perlakuan manusia sebagai pihak yang juga berperan dalam menyebabkan longsor. Bentuk-bentuk penanggulangan bencana longsor yang telah dilakukan oleh warga Sirnagalih dapat dibedakan menurut skala waktu yakni jangka pendek, menengah dan jangka panjang, seperti yang terlihat pada tabel 12. Pada umumnya bentuk penanggulangan yang dilakukan untuk jangka pendek lebih bersifat temporer dan insidentil sedangkan yang jangka menengah dan panjang akan lebih memperhitungkan sustainabilitas kehidupan warga setempat. Keamanan dan keselamatan jiwa serta kestabilan ekosistem adalah tujuan dilakukannya upaya penanggulangan longsor yang bersifat jangka panjang. Tabel 12 Bentuk-bentuk Penanggulangan Bencana Longsor di Kampung Sirnagalih Skala Waktu Bentuk Penanggulangan Kategori Tindakan Menurut Bell,dkk. Jangka Pendek 1. Menutupmenambal retakan dengan tanah padat 2. Memperbaiki sistem pengaliranpembuangan air Adjustment Adjustment Jangka Menengah Panjang 1. Tidak melakukan alih fungsi lahan 2. Memanfaatkan lahan pertanian dengan pola lahan kering 3. Tidak mendirikan bangunan pada lereng bukit 4. Tidak menambah beban lahan 5. Tidak menebang pohon sembarangan, 6. Memelihara dan melakukan penanaman ulang dengan jenis kayu-kayuan serta pohon berdaya akar kuat untuk mengikat tanah 7. Membuat-membersihkan drainase aliran air 8. Tidak melakukan aktivitas yang mengganggu kestabilan lereng, seperti penambangan. Adjustment Adjusment Adaptasi Adaptasi Adaptasi Adjustment Adjustment Adaptasi Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012 Berdasarkan saran dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi PVMBG, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ada beberapa upaya yang patut dilakukan oleh warga di Kampung Sirnagalih. Upaya tersebut merupakan langkah konkret dan bersifat teknis dengan tujuan mencegah terjadinya longsor yang lebih besar. Oleh Bell, dkk. sebagian upaya tersebut merupakan tindakan adjusment dimana warga melakukan perubahan pada lingkungannya untuk mencegah terjadinya longsor susulan. Beberapa upaya di atas telah dilakukan oleh warga Sirnagalih. Misalnya melakukan penambalan pada retakan-retakan yang terdapat di dinding dan lantai rumah. Upaya ini dilakukan pada saat peristiwa pergerakan tanah masih berskala kecil dan belum meruntuhkan rumah warga. Saat ini retakan-retakan tanah yang