Ikhtisar Local Institution: A Form of Socio-Ecological Adaptation in Landslide-Prone Areas (A Case of Landslide-Prone Community in Sukaraksa Village, Bogor Regency, West Java Province).

Bukan hal yang mudah bagi warga untuk mengaplikasikan upaya penanggulangan longsor dalam aktivitas keseharian warga. Akan muncul berbagai kendala yang disebabkan oleh perubahan kualitas ekologi, khususnya lahan. Penurunan kualitas lahan telah berdampak pada perubahan-perubahan sosiologis, sebab lahan bagi warga setempat mempunyai makna yang besar yakni sebagai sumber penghidupan; sebagai sumber nafkah serta sebagai tempat untuk bermukim. Perubahan ekologis akibat kerusakan lahan berdampak pada kehilangan warga terhadap tempat tinggal, selain itu para petani terancam kehilangan sumber mata pencaharian. Perubahan tersebut dihadapi oleh warga dengan munculnya perubahan lain sebagai bentuk-upaya penanggulangan. Upaya penanggulangan yang dilakukan oleh warga berdampak pada upaya penanganan yang bersifat jangka pendek, menengah dan panjang. Upaya jangka pendek lebih kepada penanganan pada persoalan yang bersifat temporer sedangkan jangka menengah dan panjang lebih berdampak pada sustainabilitas kehidupan masyarakat Sirnagalih. Penanggulangan dilakukan dengan mengacu pada sumber penyebab longsor yang telah diindikasikan oleh beberapa pihak yang memiliki kompetensi di bidangnya seperti Dinas ESDM dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Faktor permasalahan diindikasikan terjadi karena faktor alam dan manusia. Meskipun dugaan faktor alam lebih kuat namun penanganan yang mengarah pada perilaku manusia juga dilakukan. Pada akhirnya, penanganan yang bersifat komprehensif mutlak diperlukan dan dipertahankan sebab kondisi geologi Kampung Sirnagalih telah dinyatakan sebagai daerah rawan longsor. Longsor di Sirnagalih dapat dipahami secara komprehensif dengan menggali kondisi dan fenomena alam yang terjadi selama 4 tahun terakhir, mulai dari faktor penyebab, pengaruh dan dampak yang ditimbulkan, serta upaya penanggulangan yang telah dilakukan. Kondisi, penyebab, dampak dan upaya penanggulangan secara ringkas terangkum pada Tabel 14. Tabel 14 Realitas Longsor selama 4 Tahun Terakhir di Kampung Sirnagalih Realitas Longsor Periode 2009-2012 2009 2010 2011 2012 Objects Kondisi - Fenomena Retak tanah sepanjang 15-25 Cm yang menjalar ke beberapa bagian dinding dan lantai rumah warga Pak Adun Retak tanah sepanjang 15- 35 Cm yang menjalar ke beberapa bagian dinding dan lantai rumah warga Pak Rahmat Retak tanah dengan panjang dan lebar retakan + 300 M dan amblas sedalam 1 M di areal pemukiman warga Retak tanah sepanjang 200 M dan lebar retakan + 1 M di areal persawahan kebun milik warga hingga saat ini terus bergerak Reflective Pengaruh Dampak Hanya menimbulkan kerusakan ringan di salah satu rumah warga Pak Adun, sehingga tidak memberi pengaruh dan dampak yang berarti Hanya Menimbulkan kerusakan ringan di salah satu rumah warga Pak Rahmat di Kampung Sirnagalih, sehingga tidak memberi pengaruh dan dampak yang berarti - Sebanyak 42 RT 160 jiwa kehilangan tempat tinggal di Kampung Sirnagalih - Pemerintah Daerah dibantu BPBD Kab. Bogor merelokasi warga Kampung Sirnagalih ke tenda pengungsian dan kini warga telah menempati Huntara hunian sementara - Merusak lahan garapan dan para petani di Kampung Sirnagalih terancam kehilangan sumber nafkah utama - Perubahan komposisi bahan dasar pangan harian - Warga Kampung Sirnagalih mulai mencari alternatif nafkah yang tidak berbasis lahan - Pola pemukiman terkonsentrasi di satu titik - Perubahan prilaku gaya hidup Interpretative Penyebab Faktor alam : 1 Jenis tanah dan batuan kurang baik, 2 Curah hujan tinggi 3000 mm 3 tahun, 3 kecuraman daerah 30 derajat Faktor Manusia: 1 Perubahanalih fungsi lahan, 2 Pernah dilakukan penambangan batu bara, Pola bercocoktanam tidak sesuai pola tanam basah Decisional Upaya Penang- gulangan Jangka Pendek : 1 Menutupmenambal retakan dengan tanah padat, 2 memperbaiki sistem pengaliranpembuangan air Jangka Menengah Panjang : 1 Tidak melakukan alih fungsi lahan, 2 Memanfaatkan lahan pertanian dengan pola lahan kering, 3 Tidak mendirikan bangunan pada lereng bukit, 4 Tidak menambah beban lahan, 5 Tidak menebang pohon, memelihara dan melakukanpenanaman pohon kayu-kayuan serta pohon berakar kuat untuk mengikat tanah, 6 Tidak melakukan aktivitas yang mengganggu kestabilan lereng, seperti pengeboran, pengerukan dan penambangan. Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer dan Sekunder, Tahun 2012 Peristiwa longsor di Sirnagalih menunjukkan bahwa perubahan ekologis yang terjadi merupakan pertemuan antara faktor alam dan faktor manusia. Hasil kajian menunjukkan bahwa faktor alam lebih mendominasi mulai dari struktur tanah, kondisi geografis yang berbukit dengan kemiringan 30 derajat serta tingginya curah hujan. Kondisi tersebut menjadi lebih berat karena campur tangan manusia yang sedikit banyak ikut memberi dampak. Alih fungsi lahan menjadi pemukiman, melakukan pengelolaan lahan basah serta mulai berkurangnya kerapatan tanaman merupakan beberapa faktor yang disinyalir ikut memperburuk kondisi lingkungan. Perubahan ekologis yang terjadi di Sirnagalih membawa pengaruh dan dampak yang cukup memprihatinkan bagi kelangsungan hidup komunitas rawan longsor. Dampak yang ditimbulkan disebabkan oleh rusaknya tempat tinggal serta lahan garapan. Akibatnya, perubahan ekologis yang terjadi tidak lepas dari perubahan sosiologis yang menyertainya. Perubahan-perubahan tersebut merupakan indikasi awal munculnya berbagai penyesuaian adaptasi yang dilakukan sebagai strategi untuk bertahan hidup. Salah satunya melalui upaya-upaya penanggulangan longsor yang dilakukan baik dalam waktu jangka pendek yang bersifat temporer ataupun untuk jangka waktu panjang yang akan mendukung sustainability kehidupan komunitas rawan longsor di Sirnagalih. BAB VI PERSEPSI TERHADAP LINGKUNGAN DAN KEMAMPUAN DIRI Tingginya homogenitas warga dalam hal pendidikan, agama bahkan suku dan budaya tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap persepsi warga mengenai keadaan lingkungannya. Bahkan dalam beberapa hal, persepsi antar warga nampak sama. Perbedaan persepsi sedikit nampak mengenai perubahan pola pemanfaatan dan pengelolaan lahan yang didasarkan oleh mata pencaharian serta penguasaan lahan. Persepsi warga terhadap lingkungan disajikan dalam bentuk tabulasi angka dan persentase yang menunjukkan popularitas jawaban responden. Seberapa besar responden memberikan pandangan yang sama terhadap lingkungan akan merepresentasikan kondisi lingkungan mereka saat ini.

6.1 Persepsi terhadap Lingkungan

Pengukuran persepsi terhadap lingkungan dilakukan kepada warga Kampung Sirnagalih yang secara riil merupakan korban longsor yang telah mengalami kerugian secara materiil. Lebih dari 60 persen warga mengalami kerusakan tempat tinggal bahkan kehilangan rumah dan mereka yang bekerja sebagai petani terancam kehilangan mata pencaharian sebab lahan garapan juga mengalami kerusakan. Persepsi para warga terhadap lingkungan merupakan titik awal mengetahui sejauhmana mereka memahami kondisi lingkungan yang telah diklaim sebagai daerah rawan longsor. Indikator persepsi warga terhadap lingkungan terbagi dalam 3 kategori yakni penyebab longsor, kondisi lingkungan kualitas fisik kampung; iklim, tanah, sungai, hutan, serta dampak yang ditimbulkan oleh longsor.

6.1.1 Penyebab Longsor

Secara teknis dan keilmuan, penyebab longsor di kedua kampung telah banyak dianalisis oleh para pihak seperti Dinas ESDM, ahli kehutanan IPB dan pakar geologi ITB. Secara non teknis, berdasarkan pengalaman dan kedekatan terhadap lingkungan sekitar, faktor penyebab longsor juga dapat diketahui melalui persepsi warga. Hasil pengukuran persepsi lingkungan menunjukkan bahwa berbagai faktor utama yang diprediksi oleh berbagai ahlipakar geologi sebagai faktor penyebab terjadinya longsor di Kampung Sirnagalih, sebagian besar juga dipahami oleh warga. Dari berbagai pilihan yang disediakan pada kuesioner, mayoritas warga memilih bahwa kondisi tanah merupakan faktor utama terjadinya longsor di kampung mereka. Beberapa warga mengatakan bahwa “kampung mereka dulu aman-aman saja tapi sekarang tanahnya memang sudah tidak baik ”. Pengetahuan warga tentang kondisi tanah yang tidak baik diperoleh dari hasil pengamatan warga sehari-hari yang menyaksikan pergeseran tanah. Selain itu, hasil kajian dari pihak Dinas ESDM Kab. Bogor yang ditransformasikan ke warga semakin memperkuat pandangan warga terhadap kondisi lahan di kampung mereka. Pada tabel 15 terlihat bahwa, selain faktor tanah, warga setuju bahwa realitas longsor di Sirnagalih juga disebabkan oleh beberapa faktor penyebab lainnya. Hal tersebut terlihat dari variasi jawaban responden yang juga memilih faktor lain, sehingga dapat dikatakan bahwa longsor tidak disebabkan oleh faktor tunggal namun oleh banyak faktor. Tabel 16 Persepsi Warga tentang Faktor Penyebab Longsor n=55 Faktor lain yang dipilih oleh warga sebagai aktivitas yang ikut menjadi penyebab terjadinya longsor adalah bercocoktanam di lahan miring. Meski kondisi riil di Kampung Sirnagalih pemanfaatan lahan miring masih tergolong baik sebab jenis tanaman yang banyak ditanam adalah tanaman tahunan seperti Sengon dan Puspa. Pemanfaatan lahan miring lainnya adalah sebagai sawah tadah hujan dengan sistem terasering. Terasering merupakan salah satu cara pengelolaan lahan yang cocok untuk daerah miring. Pemahaman warga tentang pemanfaatan lahan miring sebagai lahan garapan cukup memadai. No. Faktor Penyebab Longsor Distribusi Responden Ya Tidak 1. Kondisi tanah yang tidak baik 98 2 2. Bercocoktanam di lahan miring 93 7 3. Hujan deras iklim 82 18 4. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai 80 20 5. Membangun rumah di perbukitan 80 20 6. Kerusakan Hutan 75 25 7. Takdir Tuhan 55 45 Faktor lainnya adalah pemanfaatan lahan yang tidak sesuai. Warga memilih jawaban bahwa pemanfaatan lahan tidak sesuai di kampung mereka sehingga menyebabkan longsor. Pemanfaatan lahan yang tidak sesuai tersebut adalah pemanfaatan lahan sebagai rumah-tempat tinggal. Hal ini sesuai dengan faktor penyebab longsor lainnya yakni dibangunnya rumah di areal perbukitan. Dari beberapa faktor teknis yang dianggap sebagai penyebab longsor, terdapat faktor non teknis yang juga dipilih oleh sebagian warga sebagai faktor mutlak penyebab terjadinya longsor, yakni tingginya curah hujan dan takdir Tuhan. Peristiwa longsor yang terjadi kerap diiringi oleh hujan deras. Kondisi tersebut dianggap warga sebagai faktor penyebab longsor yang sulit untuk dihindari, demikian halnya dengan Takdir Tuhan. Sebagai makhluk beragama, warga meyakini bahwa setiap peristiwa terjadi karena ijin Tuhan, meski di sisi lain sebagian besar responden juga setuju bahwa faktor teknis seperti kondisi tanah, kesalahan dalam pemanfaatan dan pengolahan lahan serta kerusakan hutan ikut menjadi faktor penyebab terjadinya longsor. Kerusakan hutan juga menjadi salah satu faktor yang dipilih warga sebagai penyebab terjadinya longsor. Hutan yang dimaksud di sini adalah hutan rakyat kebun campurantalun yang dikelola dan dimanfaatkan secara pribadi. Hutan rakyat di Kampung Sirnagalih ada 2 bentuk yakni hutan bersama yang dikeramatkan disebut Gunung Batu Kaca serta hutan rakyat berupa kebun talun. Kondisi kedua jenis hutan tersebut berbeda. Hutan Gunung Batu Kaca masih terjaga kelestariannya bahkan masih virgin. Berbeda dengan kondisi kebun talun, meski masih terlihat „hijau’ namun kerapatannya sudah renggang. Kerapatan antar pohon berkurang akibat penebangan yang dilakukan. Meskipun penebangan dilakukan masih berskala kecil karena masih mempertimbangkan usia pohon dan kebutuhan namun diameter pohon pengganti tidak lagi sebesar pohon-pohon sebelumnya. Pohon tua sudah tidak banyak dibandingkan pohon muda. Perubahan tersebut dianggap oleh warga bahwa kondisi hutan di kampung mereka sudah tidak sebaik dulu. Sebagian kecil masih terdapat responden yang memilih menjawab bahwa kerusakan hutan tidaklah menjadi penyebab longsor 25 persen dengan alasan bahwa mereka masih melihat kampung Sirnagalih masih „hijau’. Secara ekologis kondisi Sirnagalih sebenarnya masih dikelilingi oleh tanaman bambu dan