b. Perubahan Cara Pemanfaatan Lahan
Selain merusak lahan garapan, longsor juga mengkibatkan terjadinya tanah amblas yang meruntuhkan rumah warga di Kampung Sirnagalih. Jumlah rumah
yang hancur sebanyak 33 dengan kondisi rusak berat sehingga tidak lagi layak untuk dihuni.
Runtuhnya rumah-rumah warga memunculkan lahan kosong. Pada gambar 23 terlihat beberapa warga yang berinsiatif memanfaatkan lahan bekas rumah
sebagai kebun dan ladang. Tanaman yang banyak ditanam adalah Pisang, Singkong dan sayuran seperti labu, tomat, cabe.
Gambar 23 Ilustrasi Perubahan Pemanfaatan Lahan Sebelum Tipe A dan Sesudah Longsor Tipe B
Tipe A Tipe B
Bekas Pemukiman Kebun campuran
Pemanfaatan areal bekas pemukiman dengan menanam tanaman palawija lagi-lagi memperlihatkan pilihan warga yang berorientasi pada pemenuhan
kebutuhan harian. Setiap peluang yang ada senantiasa dimanfaatkan untuk melakukan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan pangan harian.
c. Adopsi Bantuan
Di sisi lain, warga yang kehilangan tempat tinggal diungsikan ke daerah yang lebih aman. Untuk membangun tempat hunian baru dibutuhkan lahan yang
cukup untuk menampung semua korban. Para korban longsor yang kehilangan tempat tinggal diungsikan ke hunian sementara Huntara yang dibangun di atas
lahan seluas 2.300 meter persegi. Pada awalnya lahan merupakan kebun campuran milik seorang warga yang kemudian disewa oleh pemerintah dan
kemudian difungsikan sebagai bangunan Huntara. Saat ini warga masih berada di Huntara. Pada gambar 26 terlihat
bangunan Huntara yang didesain non permanen dengan ukuran 7 x 5 m. Huntara tersebut telah 2 bulan dihuni oleh warga. Dinding terbuat dari anyaman
bambu, jendela dari bahan triplek, lantai disemen seadanya dan atap terbuat dari genteng.
Kondisi bangunan Huntara yang serba terbatas kini telah mengalami beberapa masalah khususnya bagian atap yang banyak bocor. Dari pengakuan
warga, beberapa bahan bangunan tidak sesuai dengan gambar. Dinding yang seharusnya dari papan hanya terbuat dari triplek dan anyaman bambu. Jendela
yang seharusnya dari kaca berubah menjadi triplek. Kondisi tersebut membuat warga yang telah mengalami tekanan secara
psikis juga harus mengalami tekanan fisik. Cuaca yang dingin serta binatang malam seperti nyamuk serangga, membuat warga harus mengeluarkan dana
ekstra agar terhindar dari tekanan fisik tersebut. Warga membeli terpal untuk melapisi dan menutupi dinding Huntara yang terbuat dari anyaman bambu.
Warga berharap 4 bulan ke depan mereka sudah dipindahkan ke tempat yang lebih layak, namun perkembangan saat ini belum menunjukkan tanda-tanda
adanya proses pembangunan seperti pembebasan lahan untuk lokasi pembangunan.
Gambar 24 Bangunan Huntara Nampak Bagian Depan kiri dan Bagian Belakang kanan.
Dari teknik pemanfaatan dan pengelolaan SDA berdasarkan pengetahuan lokal serta bantuan yang diadopsi, menggambarkan bahwa teknologi yang
digunakan oleh komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih masih bersifat sederhana, tradisional serta belum terorganisir secara profesional. Sifat teknologi
tersebut akan mempengaruhi 3 unsur inti core lainnya yakni populasi, kelembagaan ekonomi serta organisasi sosial dan politik.
7.2.2 Populasi
Mengacu pada konsep Steward, salah satu unsur inti core yang mengalami perubahan sebagai dampak pemanfaatan teknologi pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya adalah populasi. Teknologi yang menyebabkan perubahan pada aspek populasi-kependudukan di Sirnagalih adalah adopsi
bantuan Huntara yang menyebabkan terjadinya perubahan pada a pola pemukiman dan b pola interaksi-gaya hidup serta perubahan pola tanam yang
menyebabkan terjadinya c arus migrasi sirkuler.
a. Pola Pemukiman Kampung
Jumlah penduduk di Kampung Sirnagalih sebanyak 238 jiwa dengan jumlah keluarga sebanyak 55 KK. Dari 55 keluarga terdapat 42 KK 160 jiwa
yang kehilangan tempat tinggal dan akhirnya mengungsi ke hunian sementara Huntara. Adapun sisanya sebanyak 13 KK masih menempati rumah masing-
masing karena luput dari bencana longsor. Antara penduduk yang kehilangan tempat tinggal dengan yang tidak
kehilangan tempat tinggal masih berada dalam kampung yang sama. Hanya saja dengan dibangunnya Huntara maka pola pemukiman Kampung Sirnagalih
menjadi berubah. Awalnya, pola pemukiman yang ada di Sirnagalih memiliki bentuk persebaran tempat tinggal yang didasarkan oleh kondisi topografi alam
dan aktivitas penduduknya sebagai petani. Kondisi topografi yang berbukit serta pekerjaan sebagai petani membentuk pola pemukiman menyebar mengikuti arah
lahan garapan dengan mendirikan tempat tinggal pada lahan yang landai. Mereka yang awalnya bermukim berdasarkan pada kedekatan atau
keberadaan lahan garapan, seperti kebun, ladang dan sawah kini harus bergeser dan bermukim pada lahan yang dianggap aman dan layak
8
. Secara psikis, pola fikir warga kini sangat dipengaruhi oleh faktor keamanan dan kelayakan lahan
untuk membangun kembali tempat tinggal. Banyak warga yang enggan untuk membangun kembali rumah mereka di tempat yang sama. Selain karena faktor
ekonomi juga karena kekhawatiran terhadap keselamatan jiwa. Beberapa warga yakni 3 keluarga yang kondisi rumahnya hanya rusak
ringan dan masih layak ditempati juga enggan untuk kembali ke rumah mereka.
8
Secara geologi lahan dinilai aman-layak oleh Dinas ESDM Kab. Bogor sehingga direkomendasikan untuk dijadikan pemukiman
Meninggalkan rumah untuk memilih hidup di Huntara memerlukan pengorbanan yang cukup besar. Kehidupan yang serba terbatas di Huntara, mulai dari
minimnya air bersih, listrik, jarak yang jauh, bangunan yang kurang layak membuat mereka harus menjalani pilihan tersebut dengan pertimbangan masih
lebih aman dibandingkan harus kembali ke rumah. Penyebaran penduduk meskipun saat ini masih bersifat temporer dimana
warga kampung 68 persen 160 jiwa berada di Huntara, namun dapat dipastikan bahwa faktor kedekatan dengan lahan garapan tidak lagi menjadi faktor utama.
Warga lebih memilih faktor keamanan demi keselamatan jiwa sebagai alasan utama untuk memilih tempat tinggal baru meskipun di sisi lain beberapa warga
yang bekerja sebagai petani masih berharap agar keberadaan lahan garapan tetap mudah dijangkau.
Harapan warga berjalan seiring dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yakni merelokasi korban longsor ke tempat yang lebih aman dan
layak untuk dijadikan tempat tinggal sementara. Pemerintah membangun hunian sementara di atas lahan yang telah direkomendasikan oleh Dinas ESDM Kab.
Bogor sebagai lahan yang aman dan layak berdasarkan kondisi geologi.
b. Pola Interaksi dan Gaya Hidup
Pola pemukiman yang kini lebih mengutamakan faktor keamanan dan kelayakan lahan, sehingga terkonsentrasi pada satu titik berdampak pada
perubahan pola hidup yakni; 1 aksesibilitas terhadap beberapa sektor publik seperti sekolah, pasar, kantor desa, posyandu-balai kesehatan dan tempat-
tempat umum lainnya. Jarak antara pemukiman warga yang baru Huntara dengan sarana publik tersebut menjadi lebih jauh dengan medan yang lebih
berat. Warga yang terbiasa berjalan kaki untuk mencapai jalan utama desa mengeluhkan jarak dengan kondisi jalan yang cukup terjal. Anak-anak yang
masih sekolah pun mengeluh dan sering memilih jalan alternatif dengan melewati kebun milik warga meskipun kondisi jalan cukup membahayakan terlebih ketika
jalan menjadi licin karena hujan. 2 Selain persoalan aksesibilitas yang semakin jauh, dampak lain dari
terkonsentrasinya warga di Huntara adalah perubahan pola interaksi antar sesama tetangga yang kini senasib dan harus tinggal bersama. Pola interaksi
tersebut berdampak pada perubahan sikap dan perilaku. Misalnya, perubahan