Aturan yang dimodifikasi Local Institution: A Form of Socio-Ecological Adaptation in Landslide-Prone Areas (A Case of Landslide-Prone Community in Sukaraksa Village, Bogor Regency, West Java Province).

langsung mengalir ke sawah namun terurai sepanjang saluran aliran. Selain itu warga juga menggunakan bahan pembersih dalam jumlah yang tidak berlebihan. Public property lainnya yang bersifat non materi adalah ketenangan, keamanan, kenyamanan dan keselamatan. Kepemilikan pubic property non materi tidaklah seperti private atau public property lainnya yang bersifat materi dimana hak akses dan pemanfaatannya lebih nyata dan jelas. Property ini merupakan hak semua warga namun hanya dapat dinikmati jika masing-masing warga mengetahui batas-batas pemanfaatan property lainnya dan menyadari bahwa ada hak orang lain atas hak yang dimiliki. Pada dasarnya, ketiga karakteristik kelembagaan tersebut telah ada dan dapat dikenali pada struktur kelembagaan lokal yang meskipun tidak formal, tetapi nilai dan aturan mainnya tersosialisasikan sehingga secara perlahan mulai melembaga. Proses melembaganya aturan-aturan tersebut dapat bertahan jika dirasakan bermanfaat oleh para warga. Besarnya manfaat dari keberadaan aturan-norma yang ada akan berpotensi menciptakan suatu sistem nilai berupa tata perilaku mores bahkan adat-istiadat custom selama terinternalisasikan secara terus-menerus. Saat ini, aturan-norma yang telah ada dan hidup dalam komunitas rawan longsor Sirnagalih menunjukkan kekuatan yang berbeda-beda. Dari rentang waktu dan sejarah, perilaku yang telah terinternalisasi dan tingkatannya telah sejajar dengan adat-istiadat custom adalah perilaku menjaga kelestarian Hutan Gunung Batu Kaca. Dari mitos yang hidup di masyarakat menggambarkan betapa tingginya keyakinan warga untuk tidak merusak dan terus menjaga kelestarian hutan keramat tersebut. Warga meyakini bahwa siapapun yang berani merusak maka hukuman akan langsung datang dari penunggu hutan seperti yang telah terjadi sebelumnya. Dari hasil identifikasi aturan-norma ditemukan masih ada yang merupakan sebuah cara usage, sebagian berupa kebiasaan folkways dan sebagian lagi telah menjadi tata kelakuan mores. Meskipun jangka waktu peristiwa longsor yang benar-benar merusak dan merubah kehidupan warga belum hampir 6 bulan, namun daya adaptasi warga terhadap lingkungan fisik dan sosial telah memperlihatkan berbagai perubahan yang menjadi acuan dalam berinteraksi. Pada tabel 27 dapat dilihat berbagai bentuk kelembagaan lokal berupa aturan beserta sanksi berdasarkan tingkatannya. Keberadaan aturan-aturan tersebut tidak baku dan formal sehingga sanksinya pun masih bersifat sanksi moral; teguran, gunjingan dan yang terberat dilaporkan ke aparat desa. Namun demikian tingkat pelaksanaan dari aturan-aturan tersebut berpotensi menguat terinternalisasi karena fungsinya sangat dirasakan oleh warga. Tabel 27 Penerapan Aturan-Kesepakatan dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Property Rights Property Rights Aturan-Kesepakatan Tidak Tertulis Sanksi atas Pelanggaran Tingkatan Norma Public Kepemilikan bersifat umum 1. Larangan merusak memanfaatkan Ht.Batu Kaca Dikutuk Adat 2. Kepemilikan Huntara-tenda bersifat temporer berdasarkan wewenang Pemerintah setempat Dilaporkan, dihukum Tata Perilaku 3. Pemanfaatan fasilitas umum air bersih, Huntara-tenda berdasarkan kebutuhan dasarmendesak Dicela Kebiasaan 4. Membangun sikap toleransi-kesadaran yang tinggi antar sesama warga  ex.tidak membangun rumah di titik longsor. Dicela Kebiasaan 5. Pelaksanaan peran dan fungsi sosial sesama korban longsor oleh anggota masyarakat Dicela Kebiasaan 6. Pelaksanaan tg.jwb organisasi kebencanaan BPBD, Aparat Desa-RT Dilaporkan ke aparat Tata Perilaku Private Kepemilikan bersifat Pribadi 1. Melakukan penebangan pohon berdasarkan kebutuhan usia pohon Dicela Kebiasaan 2. Pergeseran tata batas lahan kebun- sawah tidak merubah hak kepemilikan Dilaporkan, dihukum Tata Perilaku 3. kepemilikan tanaman dan rumah berdasarkan kepemilikan awal Dilaporkan, dihukum Tata Perilaku 4. Melakukan penanaman ulang Dicela Kebiasaan 5. Mempertahankan tanaman berakar kuat bambu tanaman kayu Dicela Kebiasaan 6. Larangan penambangan batubara Dilaporkan, dihukum Tata Perilaku 7. Pola tanam berdasarkan kondisi lahan Dicela Kebiasaan 8. Jenis tanaman berdasarkan kebutuhan pangan dan kesesuaian lahan Cara Dianggap Janggalaneh Sumber : Hasil Analisa Data Primer, Tahun 2012

8.2. Pengorganisasian Sosial Komunitas Rawan Longsor

Kehidupan komunitas rawan longsor di Sirnagalih tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya yang juga dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat setempat. Lemah dan kuatnya kapasitas masyarakat, salah satunya tercermin pada kemampuan masyarakat menciptakan keteraturan sosial untuk bersama-sama menghadapi dan menangani perubahan lingkungan. Kehadiran pranata sosial untuk mempertahankan-menciptakan keteraturan merupakan wujud keberadaan kelembagaan lokal yang tidak dapat dipisahkan dari kehadiran organisasi sosial. Organisasi sosial akan menjadi bingkai pelaksanaan pranata-aturannorma yang disepakati oleh masyarakat. Mengacu pada uraian sebelumnya, beberapa perubahan yang menjadi bentuk adaptasi khususnya pada 3 tiga aspek inti core menggambarkan keberadaan pengorganisasian sosial yang tidak formal namun menjadi wadah pelaksanaan kesepakatan antar warga. Pada aspek 1 populasi dimana pola penyebaran pemukiman yang kini terkonsentrasi pada satu titik yakni pada daerah aman tempat dibangunnya hunian sementara Huntara, yang kemudian menghadirkan berbagai fungsi dan peran-peran sosial antar sesama. Hal itu tergambar pada pembagian tugas serta terbangunnya kesadaran-toleransi terhadap keberadaan hak dan kewajiban antar sesama penghuni Huntara. Kehadiran pemimpin ketua RT sebagai orang yang disegani dan didengar menjadi faktor pendukung terlaksananya keteraturan di tempat tinggal, Huntara. Pada aspek kelembagaan ekonomi, pengorganisasian sosial yang tercipta adalah terjaganya hubungan kerja antar patron pemilik lahan garapan dengan client-nya buruh tani meskipun si client mulai membangun hubungan kerja terhadap patron lain bos tumbuk. Kerusakan yang ditimbulkan oleh gejala longsor di lahan garapan membuat para client harus mencari alternatif nafkah selain menjadi buruh tani. Keputusan para buruh tani juga menjadi jalan tengah bagi para pemilik lahan garapan mengingat produktivitas lahan garapan mereka telah menurun. Salah satu mekanisme yang diterapkan oleh para client yang berperan ganda sebagai buruh tani dan buruh tumbuk adalah alokasi waktu dalam bekerja. Meskipun aturan pembagian waktu tidaklah baku namun menjadi penting untuk tetap menjaga hubungan kerja terhadap 2 dua patron. Pada aspek organisasi sosial, fokus pengorganisasian lebih mengarah pada upaya penanganan bencana yakni penyaluran bantuan serta peringatan dini tanggap bencana. Pembagian peran antara aparat desa dengan ketua RT dan warganya merupakan bentuk organisasi yang meskipun sederhana namun efektif membantu masyarakat dalam menghadapi bencana. Mengacu pada teori Steward yang mengemukakan cultural ecology, maka bentuk-bentuk pengorganisasian sosial pada aspek inti core masyarakat di Sirnagalih merupakan bentuk kelembagaan lokal yang hadir untuk mendukung terciptanya keteraturan sosial dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya. Kelembagaan lokal berupa kehadiran tata-aturan yakni normapranata sosial serta bentuk-bentuk pengorganisasian sosial merupakan dua sisi yang akan saling melengkapi satu sama lainnya dan akan menjadi pondasi ketahanan masyarakat Sirnagalih dalam menghadapi ancaman longsor di masa mendatang. BAB IX PENUTUP

9.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian pada daerah rawan longsor yang terdapat di Desa Sukaraksa, tepatnya di Kampung Sirnagalih maka diketahui bahwa telah terjadi perubahan lingkungan secara drastis yang membawa dampak pada perubahan sosio-ekologi. Dalam perubahan-perubahan tersebut, kajian ini menemukan beberapa fakta sosial sebagai berikut : a. Dalam rentang waktu 4 tahun tahun 2009 sampai tahun 2012, gejala pergerakan tanah longsor telah terjadi. Pada akhir tahun 2011 peristiwa longsor membawa kerugian akibat kerusakan lingkungan, berupa tanah retak dan tanah amblas hingga merusak lahan garapan petani bahkan meruntuhkan pemukiman. Dampak dari kerusakan menyebabkan berbagai perubahan sosio-ekologis mulai dari perubahan pola dan gaya hidup, perubahan pola bercocok tanam, hingga perubahan pada strukutur nafkah. Perubahan-perubahan yang terjadi merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungan yang semakin hari terus mengalami penurunan kualitas. b. Peristiwa longsor yang menimbulkan kerugian telah merubah cara pandang warga terhadap lingkungan mereka. Persepsi warga terhadap lingkungan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya tentang pengetahuan warga dalam memaknai perubahan alam dan kedekatan terhadap sumberdaya alam. Persepsi atau cara pandang warga terhadap lingkungan merupakan titik awal lahirnya tindakan adaptasiadjusment. Selain itu, persepsi terhadap kepercayaan-kemampuan diri self efficacy untuk bertahan juga menjadi unsur penting yang mendorong warga untuk melakukan berbagai perubahan-penyesuaian adaptasi. c. Bentuk-bentuk adaptasi sosio-ekologi terlihat jelas dalam setiap perubahan pada empat unsur inti core kehidupan masyarakat Sirnagalih, yakni 1 teknologi mencakup teknik pemanfaatan dan pengelolaan lahan serta adopsi bantuan berupa tempat pengungsian hunian sementara, 2 perubahan populasi mencakup perubahan kependudukan mulai dari pola pemukiman, pola dan gaya hidup serta arus migrasi, 3 perubahan kelembagaan ekonomi terkait dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup harian, mencakup perubahan pola distribusi, pola makan, struktur nafkah dan relasi ekonomi, serta 4 organisasi sosial-politik berupa kelembagaan Tanggap Bencana Tagana serta penambahan peran dan fungsi sosial lainnya dalam hal mitigasi bencana. d. Bentuk-bentuk adaptasi masyarakat di Sirnagalih membutuhkan penataan kembali atas berbagai perubahan sosio-ekologi. Perubahan dalam empat unsur inti core kehidupan masyarakat Sirnagalih telah melahirkan dan mempertahankan beberapa tatanan pranata yang telah ada. Kelembagaan lokal berupa kebiasaaan folkways, tata-perilaku mores dan adat custom hadir dengan fungsinya untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan hak kepemilikan property public private masyarakat Sirnagalih.

9.2 Saran

a. Perlu kajian lanjutan yang menggali tentang potensi konflik akibat pergeseran tata batas lahan pada tanah warga yang mengalami keretakan tanah serta upaya untuk penanganan konflik agraria. b. Perlu kajian lanjutan untuk membuktikan eksistensi komunitas rawan longsor pada ruang waktu yang lebih lama sehingga terukur dengan jelas seberapa kuat bentuk adaptasi dapat terwujud sebagai pola adaptasi. c. Dalam rangka menjaga tingkat survival komunitas rawan longsor maka penting melakukan peningkatan kapasitas warga untuk membangun jaringan kerjasama dan informasi terhadap pihak luar khususnya lembaga, instansi yang bergerak di bidang terkait.