Sistem Nafkah sebagai Basis Penghidupan

Selain itu, pola fikir untuk mulai berinvestasi meskipun hanya untuk jangka waktu pendek juga mulai muncul. Sebagian warga mulai berfikir dan melakukan aktivitas ekonomi lainnya seperti menjadi tukang ojek dadakan, beternak kambing, dan ikut arisan kampung. Berbeda dengan warga yang memelihara kambing dan ikut arisan di kampung lain, mereka menganggap bahwa untuk situasi darurat, menjual kambing atau menggunakan dana arisan adalah cara yang cepat dan efektif untuk mendapatkan dana. Adapun kegiatan berinvestasi dengan cara menanam pohon tanaman keras tetap dilakukan meskipun kondisi lahan mereka sebagian telah rusak. Hal tersebut terlihat dari aktivitas para petani yang tetap melakukan pengayaan dan permudaan kebun-hutan dari bekas penebangan.

b. Pola Produksi-Distribusi

Mengacu pada perubahan teknologi yakni perubahan pada teknik dan pola tanam pada lahan garapan yang tadinya sebagai sawah tadah hujan monokultur lalu berubah menjadi ladang dan kebun campuran, maka terjadi penurunan hasil produksi bahkan berpotensi melenyapkan sawah karena kerusakan yang terjadi. Jarak waktu antara peristiwa longsor yang merusak lahan garapan para petani hingga terjadinya perubahan pola tanam memang belum lama. Para petani masih berharap dapat menikmati panen meskipun hasilnya sangat rendah, sehingga pergantian pola tanampun tidak serta merta dilakukan. Perubahan pola tanam dilakukan secara perlahan dan hingga kini alih fungsi lahan tersebut telah dilakukan namun belum sampai pada masa panen. Meski demikian para Petani telah mampu menggambarkan seperti apa mekanisme hasil produksi selanjutnya, seperti yang terlihat pada gambar 27. Gambar 27 Perubahan Pola Distribusi-Konsumsi Tanaman Pangan Produksi Jenis tanaman; padi palawija Produksi Jenis tanaman palawija Konsumsi semua untuk kebutuhan pangan harian Distribusi Dijual tanpa perantara Konsumsi sebagian u kebutuhan harian, sebagian dijual udikonversi ke beras PRA LONGSOR PASCA LONGSOR Menurunnya hasil produksi sawah menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan dengan tujuan lahan garapan para petani tetap produktif meski dengan hasil yang berbeda. Beralihnya pilihan petani menjadi kebun menyebabkan mereka harus menjual sebagian besar hasil panen untuk dikonversi menjadi beras. Ke depan, para petani tidak lagi dapat menyimpan hasil lahan garapan berupa padi. Hasi tanaman pengganti padi palawija sebagian harus melewati proses distribusi agar dapat dikonversi menjadi beras. Perubahan tersebut sangat terasa bagi para petani yang awalnya selalu menikmati langsung hasil garapan mereka berupa beras. Para petani telah menprediksikan bahwa secara kuantitas hasil penjualan tanaman palawija yang dikonversi ke beras tidak akan memadai kurang. Harga jual tanaman palawija, Singkong ataupun Pisang tidak sama lebih murah dibandingkan harga beli beras di pasar. Untuk menutupi kekurangan pangan rumahtangga para petani, maka mereka tidak menjual seluruh hasil garapan namun sebagian disimpan untuk dikonsumsi sehari-hari sebagai makanan pendamping. Para petani yang memang telah terbiasa dengan menyediakan Pisang- Singkong sebagai cemilan di rumah mengatakan bahwa bisa jadi mereka akan lebih banyak mengkonsumsi Pisang dan Singkong jika persediaan beras lebih sedikit. Saat inipun, meski para petani belum ada yang melakukan panen terhadap tanaman yang baru ditanam namun minimnya hasil panen sawah telah membuat mereka mulai mengkonsumsi Pisang dan Singkong lebih banyak dari biasanya. Tidak semua petani telah melakukan perubahan pola makan tersebut, namun beberapa petani memilih merubah pola makan sebagai salah satu strategi untuk tetap bertahan hidup. Meskipun perubahan pola makan tersebut belum teratur secara sistematis namun pengurangan dalam mengkonsumsi nasi sudah terlihat dalam kehidupan sehari-hari sebagian warga.

c. Pasar ‘Jalan’

Persoalan ekonomi lainnya terkait dengan pemenuhan kebutuhan adalah aksesibilitas warga terhadap pasar. Pasar disini merupakan sarana-tempat yang secara fisik menyediakan berbagai kebutuhan warga, khususnya kebutuhan sandang dan pangan. Untuk memenuhi kebutuhan harian warga maka diciptakan „pasar jalan’ yakni para pedagang penjual mendatangi pembeli dengan jenis jualan yang beragam. Jauhnya lokasi pemukiman Huntara menjadi peluang bagi beberapa pedagang kecil untuk menjajakan jualannya ke Kampung Sirnagalih. Para penghuni Huntara pun secara aktif menyetujui kehadiran para penjual dan „mempersilahkan’ agar para penjual mengunjungi mereka secara bergiliran. Jadwal jualan dibuat agar tidak terjadi konflik antara penjual. Warga menyetujui penjadwalan tersebut dengan melakukan pesanan barang sesuai dengan jadwal kunjungan. Misalnya, Bu Ros usia 38 Th saat itu membutuhkan barang dan memesannya kepada salah satu penjual yakni Mas Joko usia 42 Th. Jadwal Mas Joko berjualan setiap hari rabu, maka Bu Ros harus konsisten menunggu Mas Joko membawakan barangnya meskipun sebelum Mas Joko ada penjual lain yang datang membawa barang yang sama. Berdasarkan jenis barang yang dijual maka para pedagang dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok. Kelompok pertama adalah pedagang sayuran, ikan dan bumbu dapur terdiri atas 2 orang dengan jadwal berdagang setiap hari. Pedagang sayuran tersebut saling bergiliran mengunjungi kampung Sirnagalih. Kelompok kedua adalah pedagang yang menjual perabotan rumah-dapur, bahan makanan seperti minyak, terigu, gula, dan lain-lain. Kelompok ini juga ada 2 orang dan beroperasi secara bergantian pada hari Senin, Selasa dan Kamis. Khusus hari Kamis, salah satu pedagang juga membawa barang lain untuk dijual yakni pakaian. Kelompok ketiga adalah pedagang yang menjual obat-obatan dan vitamin. Pedagang yang terlibat hanya satu orang dan khusus datang setiap hari Jumat. Jenis kebutuhan lain yang tidak terpenuhi dari para pedagang tersebut, seperti beras harus diperoleh dengan membeli ke kios yang ada di pusat desa. Kebutuhan terhadap beras dipenuhi jika sumber pangan yang berasal dari sawah dan kebun Singkong dan Pisang sudah habis. Diantara penghuni Huntara sebenarnya ada yang membuka kios namun jenis yang dijual lebih banyak untuk dikonsumsi anak-anak seperti permen, es lilin, kerupuk, dan sebagainya. Barang rumahtangga yang dijual hanya berupa pasta gigi, sabun cuci dan sabun mandi. Kehadiran pasar „jalan’ tersebut tidak menguntungkan satu pihak saja para penjual namun juga warga yang menghuni Huntara mutualisme. Sifat mutualisme tersebut yang memperlihatkan bahwa terbangun relasi ekonomi yang bersifat sederhana. Penjual diuntungkan karena mendapat tempat dan pelanggan sedangkan pembeli warga Huntara diuntungkan karena tidak perlu turun gunung untuk memenuhi kebutuhan sehingga tenaga, biaya transportasi dan waktu menjadi lebih efisien. Selain itu, warga juga dapat mengambil barang terlebih dahulu jika tidak memiliki uang utang. Warga Huntara bisa saja memilih untuk turun gunung pada waktu-waktu tertentu secara periodik untuk membeli kebutuhan rumahtangga, namun mereka tidak melakukannya. Mereka lebih memilih untuk membangun dan menjaga ikatan sosial kepada para penjual di „pasar jalan’ karena lebih merasa nyaman dengan kemudahan-kemudahan yang diperoleh. Dari seluruh uraian tentang kelembagaan ekonomi yang terbangun pada komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih, mulai dari perubahan struktur nafkah, perubahan pola produksi-distribusi hingga kehadiran pasar „jalan’, menggambarkan bahwa pilihan-pilihan warga merupakan bentuk adaptasi terhadap upaya pemenuhan kebutuhan hidup pada kondisi yang sulit. Mengacu pada kelembagaan ekonomi Steward, maka dapat dikatakan bahwa hampir seluruh warga di Sirnagalih melakukan tindakan rasional dengan asumsi bahwa pilihan-pilihan atau perubahan-perubahan yang mereka lakukan adalah yang paling efisien dan memungkinkan untuk mereka lakukan agar tetap survive dalam kondisi yang rentan. Sistem ekonomi komunitas rawan longsor, kini tidak dapat lepas dari persoalan pemenuhan kebutuhan hidup yang masih bersifat subsisten, yakni pemenuhan kebutuhan hidup lebih kepada pemenuhan kebutuhan dasar harian bukan untuk keperluan komersil ataupun untuk kebutuhan jangka panjang. Ciri ini seperti pada masyarakat pra kapitalis umumnya yang jika melakukan pertukaran kegiatan ekonomi tidak ditujukan untuk pasar dan tidak untuk menghasilkan laba. Ciri tersebut menggambarkan kehidupan subsisten para keluarga di Kampung Sirnagalih adalah self-sufficient system yakni sistem dimana barang- barang diproduksi dan disimpan oleh anggota keluarga untuk digunakan sendiri. Andaipun sebagian produksi dijual bukan ditujukan sebagai tambahan modal