Sebagian warga malah memanfaatkan sebagai tempat untuk keperluan membuang „hajat’. Kondisi tersebut „memaksa’ warga menjalani gaya hidup yang
tidak sehat. Pada awalnya warga merasa tidak nyaman dengan kondisi air
persawahan Gambar 25, Kiri. Namun lama kelamaan mereka pun akhirnya terbiasa dan kini sudah menjadi hal yang biasa. Apa yang dikatakan Bell, dkk.
bahwa salah satu efek dari adaptasi adalah menurunnya batas toleransi sehingga menjadi terbiasa terlihat benar.
Gambar 25 Sumur dan kamar mandi di Huntara gambar kiri, Salah satu lokasi pancuran di areal persawahan gambar kanan.
Selain pemukiman penduduk yang terkonsentrasi di Huntara, populasi ternak seperti ayam dan kambing juga ikut menyatu dengan Huntara warga.
Pada awalnya hewan ternak ditempatkan di sekitar pekarangan rumah dengan posisi yang tidak tentu. Ada yang dibuatkan kandang, ada juga yang hanya
ditambat di pohon. Warga yang memiliki pekarangan bebas menempatkan ternak mereka di bagian depan, samping, atau belakang rumah.
Semenjak warga tinggal di Huntara, hewan ternak merekapun ikut pindah. Demi kenyamanan bersama, mereka yang memiliki ternak seperti kambing dan
ayam harus membuat kandang dan menposisikan kandang-kandang tersebut di bagian belakang Huntara. Ternak mereka pun tidak lagi dikeluarkan dari
kandang karena keterbatasan tempat dan dianggap dapat mengganggu kenyamanan para penghuni Huntara.
Selain interaksi antara sesama penghuni Huntara, hubungan dengan warga lain yang tidak tinggal di Huntara juga tetap terjalin melalui aktivitas
pengajian yang secara rutin diadakan. Tidak ada perubahan mendasar yang
terjadi dari hubungan sosial yang telah terbina. Sikap empati dan simpatik justru diperlihatkan oleh warga di luar Huntara. Salah satunya adalah memindahkan
tempat pengajian ke mushalla Huntara dengan pertimbangan warga lebih banyak yang tinggal di Huntara. Sikap empati lainnya adalah ketika debit air di sumur
Huntara berkurang, maka warga di Huntara dipersilahkan untuk mengambil air bersih dari sumur warga lainnya.
Berbagai kondisi di atas memperlihatkan bahwa telah terjadi berbagai bentuk penyesuaian baik yang bersifat internal individu ataupun kolektif. Bentuk-
bentuk penyesuaian tersebut merupakan adaptasi yang dilakukan oleh para warga untuk mencapai „kenyamanan’ meskipun dalam kondisi yang sebenarnya
tidak layak. Dalam ketidaklayakan tersebut, mereka telah memilih cara-cara
bertahan hidup yang dianggap paling pantas dan paling memungkinkan untuk dijalankan agar keselarasan dalam berinteraksi terhadap sesama penghuni
Huntara dapat tercipta.
c. Arus Migrasi
Penurunan kualitas lingkungan akibat longsor menyebabkan salah satu potensi alam yakni sumberdaya lahan menjadi tidak produktif. Ketidakproduktifan
tersebut terjadi pada lahan yang tadinya berfungsi dengan baik sebagai lahan garapan serta pemukiman.
Akibatnya, beberapa kepala rumahtangga mulai mencoba untuk mencari pekerjaan di luar kampung seperti merantau ke tempat lain kota. Untuk saat ini,
kota yang banyak menjadi sasaran warga adalah Bogor dan Jakarta. Mereka yang merantau adalah para buruh tani yang tidak memiliki lahan namun
merasakan dampak dari kerusakan lahan garapan. Penurunan produktivitas membuat para pemilik lahan yang mempekerjakan buruh tani merasa kesulitan
untuk memberi upah. Hasil yang diperoleh tidak lagi maksimal sehingga nasib para buruh tani pun menjadi terkatung-katung.
Dalam 3 bulan terakhir setelah terjadi longsor beberapa buruh tani 7 orang dari 18 orang mulai mengadu nasib dengan bekerja di sektor jasa. Ada 4 orang
bekerja sebagai buruh tumbuk di Kecamatan Nanggung dan 3 orang ke Jakarta menjadi kuli bangunan.
Jumlah buruh tani yang melakukan migrasi memang hanya 39 persen namun realita tersebut menggambarkan bahwa mencari kerja dengan keluar dari
kampung merupakan salah satu alternatif warga untuk bertahan hidup. Menurunnya daya dukung daerah asal menjadi faktor utama yang mendorong
terjadinya migrasi meski saat ini masih bersifat non permanen sirkuler
9
. Mereka merantau bukan dalam waktu yang lama. Bagi yang merantau ke Bogor, mereka
meninggalkan rumah hanya dalam hitungan hari. Dalam seminggu mereka pasti menyempatkan diri untuk balik, sedangkan yang di Jakarta lebih lama. Mereka
balik sebulan sekali. Mereka kembali ke kampung biasanya karena pekerjaan di luar sedang
tidak ada atau memang telah selesai, sebab pekerjaan yang mereka lakukan sebagai buruh hanya bersifat temporer. Jika kembali ke kampung, mereka
menggarap lahan lagi jika ada yang membutuhkan. Jika tidak dibutuhkan mereka lebih memilih untuk mencari kayu bakar di pinggir hutan Batu Kaca.
Faktor lain yang membuat mereka melakukan migrasi sementara non permanen adalah masih kuatnya ikatan batin dengan istri-anak serta kampung
halaman yang ditinggalkan. Mereka semua menyatakan bahwa merantau hanyalah untuk mencari penghasilan tambahan agar dapat bertahan hidup bukan
untuk mengejar kekayaan. Penghasilan yang mereka peroleh dari hasil merantau benar-benar digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari saja.
Jika melihat kondisi lingkungan serta kepadatan penduduk baik secara geografis maupun agraris di Kampung Sirnagalih, pilihan sebagian warga untuk
melakukan migrasi pada prinsipnya adalah tepat. Jumlah penduduk Kampung Sirnagalih sebanyak 226 Jiwa dengan jumlah rumahtangga sebanyak 55 KK.
Dari hasil pengolahan data primer, gambar 28 menyajikan data geografis kepadatan penduduk di Kampung Sirnagalih sebanyak 15 jiwaha, dan data
agraris kepadatan penduduk sebanyak 3 sampai 4 petaniha. Kepadatan tersebut termasuk tinggi dengan kondisi lingkungan yang mengalami penurunan
kualitas. Gambar 26 Kepadatan Penduduk Berdasarkan Satuan Geografis dan Agraris
Kampung Sirnagalih
Kepadatan Penduduk KP Geografis = 15, 07 JiwaHa
Kepadatan Penduduk KP Agraris =
3, 54 PetaniHa Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer dan Sekunder, 2012
9
Gerak penduduk dari satu wilayah menuju ke wilayah lain tanpa ada niatan menetap di daerah tujuan Mantra 2009
Menjadi persoalan bagi daerah tujuan seperti Jakarta dan Bogor jika pilihan warga untuk bermigrasi secara permanen dalam hal ini urbanisasi dimana
tingkat kepadatan penduduk di kota-kota besar sudah tinggi sedangkan para urban tidak memiliki skill dan keahlian yang memadai. Solusi untuk keluar dari
persoalan bencana pun terkesan hanya berpindah tempat meskipun dengan jenis persoalan yang berbeda.
7.2.3 Kelembagaan Ekonomi
Konsep Steward yang mengatakan bahwa salah satu unsur inti core lainnya akan mengalami perubahan sebagai dampak pemanfaatan teknologi
yakni perubahan pada beberapa aspek kelembagaan ekonomi. Perubahan teknik pemanfaatan lahan telah menyebabkan terjadinya a perubahan sistem nafkah
dan berpotensi merubah b pola produksi-distribusi para petani di Sirnagalih. Selain itu, adopsi bantuan berupa Huntara juga telah menyebabkan munculnya
c pasar „jalan’ yang berfungsi sebagai wadah untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
a. Sistem Nafkah sebagai Basis Penghidupan
Sistem ekonomi komunitas rawan longsor di Kampung Sirnagalih tidak lepas dari persoalan pemenuhan kebutuhan hidup warga yang kini menjadi
subsisten. Mayoritas mata pencaharian warga adalah bertani. Bertani disini diartikan sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan menggarap lahan baik itu
lahan basah sawah maupun lahan kering kebun-ladang, dengan status sebagai petani. Potensi lahan lebih dimanfaatkan untuk menanam jenis tanaman
yang dapat dijadikan sebagai sumber-bahan pangan serta tanaman tahunan untuk memenuhi kebutuhan rumahtangga lainnya.
Pergeseran aktivitas ekonomi warga mulai berubah setelah terjadi perubahan lingkungan yang mengakibatkan sumber-sumber perekonomian
warga menyusut. Petani yang masih memiliki lahan dan exis bertahan hidup sebagai petani sawah mulai bergeser menjadi petani ladang. Tanaman palawija
seperti Singkong, Pisang dan Sayuran serta tanaman tahunan seperti Sengon merupakan jenis tanaman yang dipersiapkan untuk menggantikan tanaman padi.
Pergeseran tersebut disebabkan oleh rusaknya sawah sehingga tidak lagi produktif menghasilkan padi. Pola hidup berladang sangat berbeda dengan
bertani sawah. Petani menjadi aktif menanami ladang mereka dengan jenis
tanaman pangan lainnya sebagai pengganti beras. Di sisi lain petani juga jadi memiliki waktu yang lebih luang karena perlakuan untuk pemeliharaan tanaman
palawija dan tahunan tidak seintensif tanaman padi. Kekosongan waktu tersebut dimanfaatkan oleh beberapa petani khususnya para buruh tani untuk mencari
pekerjaan sampingan. Mereka tidak lagi menjadikan lahan garapan sebagai satu-satunya sumber
perekonomian dan penghidupan. Mereka mencari pekerjaan lain tidak berbasis lahan untuk menghasilkan uang agar tetap dapat memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari, khususnya kebutuhan pangan. Berangkat dari kebutuhan yang mendasar dengan kondisi lingkungan yang tidak lagi memadai, dorongan dalam
diri masyarakat mulai terlihat dengan membuka diri dan mau mencoba pekerjaan baru yang dianggap menghasilkan.
Pergeseran struktur nafkah menyebabkan pola hubungan patron-client juga berubah. Warga yang awalnya bekerja sebagai petani buruh dan hanya
bergantung pada kemurahan hati pemilik lahan, kini mulai mencari dan membangun jaringan informasi tentang sumber-sumber mata pencaharian
lainnya. Si patron pun tidak keberatan sebab di satu sisi beban patron pun berkurang.
Hubungan patron-client tidaklah seperti yang digambarkan oleh Scott dimana seluruh keperluan hidup client dapat dipenuhi oleh patron. Buruh sawah
hanya mendapatkan hak atas pekerjaannya berupa pembagian hasil panen sebesar 40 persen, sedangkan buruh kebun mendapatkan hak berupa upah
sebesar Rp.20.000hari. Nasib status ekonomi antara patron dan client di Kampung Sirnagalih tidak berbeda jauh, meskipun si patron sebagai pemilik
lahan. Minimnya lahan garapan yang harus dikerjakan oleh beberapa petani lebih didasarkan atas rasa empati dan solidaritas antar warga yang notabene
masih terikat hubungan kerabat. Kondisi petani Sirnagalih menggambarkan konsep Geertz tentang shared of poverty.
Para petani khususnya mereka para buruh tani kini mulai mencari kesempatan kerja yang tidak berbasis lahan meski harus keluar dari desa.
Jaringan informasi yang dibangun warga hanya mengandalkan informasi dari mulut ke mulut yang datang dari para warga yang telah bekerja. Warga lebih
mudah percaya dan tergiur jika mendengar dan menyaksikan langsung hasil yang diperoleh dari temannya yang telah mengalami. Warga lain yang ingin