Pola Pemukiman Kampung Local Institution: A Form of Socio-Ecological Adaptation in Landslide-Prone Areas (A Case of Landslide-Prone Community in Sukaraksa Village, Bogor Regency, West Java Province).

sebagian warga memilih untuk tidak menggunakan TV meskpun alat penunjang seperti antena parabola telah mereka miliki. Sebagian lagi membatasi alat hiburannya dengan cukup mendengarkan musik dari pemutar CD. Hanya 2 warga yang menggunakan kulkas dengan alasan untuk menjual minuman dingin. Tidak sedikit warga yang pada akhirnya memilih tidak menggunakan peralatan listrik demi melakukan penghematan. Selain persoalan listrik, perubahan lainnya yang terjadi akibat perubahan fisik tempat tinggal Huntara yang berbahan baku dari kayu dan anyaman bambu, adalah perubahan cara memasak. Awalnya semua warga menggunakan tungku dan kayu bakar sebagai media untuk memasak. Kini sebagian warga mulai beralih menggunakan kompor gas dan rice cooker. Warga khawatir jika menggunakan kayu bakar akan membahayakan tempat tinggal mereka. Selain itu, asap pembakarannya pun cukup mengganggu. Meskipun sebagian warga masih ada yang tetap memasak menggunakan kayu bakar dengan dalih tidak pandai menggunakan kompor gas maupun rice cooker namun mereka menjadi lebih bersikap waspada dan berhati-hati. Warga tidak berani meninggalkan tungku jika sedang memasak dan memastikan bara api benar-benar padam ketika selesai memasak. 4 Akibat distribusi penduduk yang tidak menyebar terkonsentrasi pada satu tempat juga mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya air menjadi tidak seimbang. Banyaknya warga 160 jiwa yang hidup di Huntara menyebabkan kebutuhan terhadap air bersih meningkat. Fasilitas penyediaan air berupa air sumur yang dialirkan menggunakan mesin tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar warga Gambar 25, Kanan. Air bersih pun menjadi barang mahal. Kondisi tersebut menyebabkan warga harus mencari sumber air lainnya yang mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk minum, masak, mencuci dan mandi. Kebutuhan air untuk dikonsumsi langsung masih dipenuhi dari air bersih yang dialirkan ke Huntara, sedangkan untuk kebutuhan membersihkan seperti mandi dan mencuci terpaksa dipenuhi dengan cara memanfaatkan air dari persawahan. Jauhnya jarak antara Huntara dan sumber mata air lainnya yang masih bersih dan layak untuk dikonsumsi membuat warga lebih memilih untuk memanfaatkan air persawahan yang jaraknya lebih dekat. Sebagian warga malah memanfaatkan sebagai tempat untuk keperluan membuang „hajat’. Kondisi tersebut „memaksa’ warga menjalani gaya hidup yang tidak sehat. Pada awalnya warga merasa tidak nyaman dengan kondisi air persawahan Gambar 25, Kiri. Namun lama kelamaan mereka pun akhirnya terbiasa dan kini sudah menjadi hal yang biasa. Apa yang dikatakan Bell, dkk. bahwa salah satu efek dari adaptasi adalah menurunnya batas toleransi sehingga menjadi terbiasa terlihat benar. Gambar 25 Sumur dan kamar mandi di Huntara gambar kiri, Salah satu lokasi pancuran di areal persawahan gambar kanan. Selain pemukiman penduduk yang terkonsentrasi di Huntara, populasi ternak seperti ayam dan kambing juga ikut menyatu dengan Huntara warga. Pada awalnya hewan ternak ditempatkan di sekitar pekarangan rumah dengan posisi yang tidak tentu. Ada yang dibuatkan kandang, ada juga yang hanya ditambat di pohon. Warga yang memiliki pekarangan bebas menempatkan ternak mereka di bagian depan, samping, atau belakang rumah. Semenjak warga tinggal di Huntara, hewan ternak merekapun ikut pindah. Demi kenyamanan bersama, mereka yang memiliki ternak seperti kambing dan ayam harus membuat kandang dan menposisikan kandang-kandang tersebut di bagian belakang Huntara. Ternak mereka pun tidak lagi dikeluarkan dari kandang karena keterbatasan tempat dan dianggap dapat mengganggu kenyamanan para penghuni Huntara. Selain interaksi antara sesama penghuni Huntara, hubungan dengan warga lain yang tidak tinggal di Huntara juga tetap terjalin melalui aktivitas pengajian yang secara rutin diadakan. Tidak ada perubahan mendasar yang