Bencana Alam Longsor: Faktor Alam dan Perbuatan Manusia

Nugraha 2010 menjelaskan secara detail tentang salah satu penyebab longsor yakni kemiringan suatu lereng. Semakin curam sudut kemiringan lereng suatu kawasan, semakin besar peluang terjadinya longsor. Hal tersebut disebabkan oleh material bumi pada lereng memiliki sudut mengaso atau stabil. Bebatuan kering akan tetap ditempatnya hingga kemiringan 30 derajat, akan tetapi tanah yang basah akan mulai meluncur jika sudut lereng lebih dari 1 atau 2 derajat. Lebih jauh lagi dijelaskan tentang gejala umum terjadinya bencana longsor pergerakan-perpindahan massa tanah dalam jumlah yang lebih besar yakni : 1. Keretakan pada tanah, lantai, dan dinding bangunan. Bentuk-bentuk keretakan ada yang bersifat konsentris terpusat atau paralel dengaan lebar beberapa centimeter dan panjang retakan beberapa meter. 2. Nampak reruntuhan bagian-bagian tanah dengan jumlah besar 3. Muncul retakan-retakan di lereng yang sejajar dengan arah tebing. Biasanya retakan muncul setelah hujan deras 4. Muncul mata air baru pada lereng secara tiba-tiba dengaan keadaan air yang keruh 5. Tebing rapuh dan berkerikil, bebatuan mulai berjatuhan 6. Terjadi penggembungan pada tebing lereng atau dinding penguat lereng 7. Terjadi tanah amblas pada lereng 8. Pohon-pohon atau tiang-tiang yang terpancang pada lereng menjadi miring Gejala perubahan tersebut mengindikasikan dua hal yakni kerusakan lingkungan serta penurunan kualitas lahan, landskap dan ekosistemnya. Indonesia dengan karakteristik wilayah yang terdiri atas dataran tinggi dan rendah, curah hujan yang relatif tinggi, dan berada pada rangkaian ring of fire sangat rentan terhadap kejadian tanah longsor. Setidaknya terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia. Oleh karenanya, wilayah Indonesia memiliki tingkat resiko yang tinggi terhadap bencana tanah longsor. Setiap tahun kerugian yang ditanggung akibat bencana tanah longsor sekitar Rp 800 miliar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta Nugraha 2010. Wilayah rawah longsor yang ada di Indonesia tersebar merata di hampir seluruh Propinsi. Hasil survey Vulkanologi Indonesia Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral mengungkapkan data sebaran titik rawan longsor sebagai berikut; 1 Jawa Tengah 327 lokasi, 2 Jawa Barat 276 lokasi, 3 Sumatera Barat 100 lokasi, 4 Sumatera Utara 53 lokasi, 5 Yogyakarta 30 lokasi, 6 Kalimantan Barat 23 lokasi dan sisanya tersebar di NTT, Riau, Kalimantan Timur, Bali, dan Jawa Timur www.esdm.go.idbatubaradoc489-pengenalan-gerakan- tanah.html. Berdasarkan data Departemen ESDM tahun 2009, Provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang paling tinggi frekwensi bencana longsornya. Disusul Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat,Sumatera Utara, Sulawesi Selatan dan Papua. Peristiwa longsor yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia tersebut telah menimbulkan berbagai kerugian materiil, mulai dari korban jiwa, kerusakan rumah, lahan pertanian serta sarana infrastruktur berupa jalan. Jumlah kejadian berikut kerugian materil yang ditimbulkan oleh bencana longsor dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Daftar Kejadian dan Korban Bencana Tanah Longsor 2003-2005 di Indonesia No. Propinsi Jumlah Kejadian Korban Jiwa RH RR RT LPR Ha JL m MD LL 1. Jawa Barat 77 166 108 198 1.751 2.290 140 705 2. Jawa Tengah 15 17 9 31 22 200 1 75 3. Jawa Timur 1 3 - - 27 - 70 - 4. Sumatera Barat 5 63 25 16 14 - 540 60 5. Sumatera Utara 3 126 - 1 40 8 - 80 6. Sulawesi Selatan 1 33 2 10 - - - - 7. Papua 1 3 5 - - - - - Jumlah 103 411 149 256 1.854 2.498 751 920 Sumber : Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral 2009 Keterangan : MD = Meninggal Dunia, LL = Luka-luka, RH = Rumah Hancur, RR = Rumah Rusak, RT = Rumah Terancam, LPR = Lahan Pertanian Rusak, JL = Jalan Terputus. Peristiwa longsor sering dikaitkan sebagai bencana akibat perbuatan buruk manusia terhadap alam. Eksploitasi lahan secara berlebihan dengan mengabaikan kondisi ekologi merupakan perilaku manusia yang dianggap sebagai cerminan perilaku antroposentrisme. Keangkuhan paham Antroposentrisme yang mengagungkan ilmu pengetahuan dan teknologi perlahan luruh akibat kelemahannya yang mengabaikan persoalan lingkungan, menganggap manusia sebagai makhluk tertin ggi yang “bisa” mengeksploitasi alam demi pemenuhan kebutuhan Keraf dalam Susilo 2008. Lebih jauh Susilo 2008 dan Usman 1998 menjelaskan bahwa perilaku buruk manusia sebagai dampak dari paham Antroposentrisme telah melampaui batas ketika menganggap bahwa; 1 alam terbentang luas tidak akan habis digunakan oleh manusia karena alam memiliki kemampuan recovery, 2 teknologi bisa menyelesaikan segala persoalan manusia, terbukti dengan berbagai pencapaian ilmu pengetahuan moderen yang menghasilkan teknologi canggih di berbagai bidang; transportasi hingga kesehatan. Teknologi bahkan dianggap mampu menyelesaikan dampak-dampak negatif sebagai akibat pengrusakan lingkungan, terbukti dengan dihasilkannya mesin daur ulang sampah, alat pendeteksi pergerakan tanah, konstruksi bangunan tahan gempa, dan sebagainya, 3 etika untuk terus maju growth ethic dimana kemajuan manusia modern diukur melalui keberhasilan mengumpulkan kekayaan material akumulasi materiil. Semakin berhasil manusia melakukan eksploitasi sumber daya alam, semakin sukses manusia mengendalikan hidupnya dan semakin banyak material income yang diperoleh, 4 kemoderenan yang diukur dengan tindakan konsumtif, alam menjadi sarana pemuas nafsu dan gaya hidup manusia-manusia moderen, dan 5 individualisme dimana sikap mementingkan kepentingan dan kebutuhan pribadigolongan dengan mengabaikan keberadaan pihak lain yang akan terkena imbasnya. Pada akhirnya perubahan perilaku manusia yang mengeksploitasi alam, dengan dalih apapun telah menuai hasil yang merugikan ekosistem bahkan menelan korban jiwa. Bencana alam termasuk longsor telah menunjukkan kepada manusia bahwa kemampuan manusia yang mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi tidaklah menjawab persoalan bahkan membawa keburukan jika tidak dimanfaatkan secara bijaksana. Keprihatinan akibat bencana alam terus berkembang, di perkotaan maupun pedesaan. Perkotaan yang sarat dengan dukungan berbagai sarana-prasarana dan fasilitas teknis untuk menjalankan roda pembangunan ekonomi makro sangat bergantung oleh sustanabilitas pembangunan ekonomi mikro di pedesaan yang memiliki peran vital sebagai pendukung bagi keseimbangan alam, penyedia sumber pangan dan sumberdaya alam lainnya Sudibyakto, dkk. 2010. Bencana alam yang terjadi akan saling mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi bahkan budaya dua wilayah, desa dan kota. Baik perkotaan maupun pedesaan membutuhkan perhatian dan penguatan kapasitas untuk mengurangi kerentanan terhadap bahaya yang ditimbulkan oleh bencana alam. Penguatan kapasitas akan menjadikan masyarakat memiliki ketahanan sehingga masyarakatpun lebih tangguh menghadapi bencana. Twigg 2007 mendefinisikan ketahanan masyarakat dalam 3 kategori yakni 1 kapasitas untuk menyerap tekanan atau kekuatan-kekuatan yang menghancurkan melalui perlawanan atau adaptasi, 2 kapasitas untuk mengelola atau mempertahankan fungsi-fungsi dan struktur-truktur dasar tertentu selama kejadian-kejadian yang mendatangkan malapetaka, 3 kapasitas untuk memulihkan diri atau „melenting balik’ setelah terjadinya bencana. Fokus pada ketahanan berarti memberikan penekanan yang lebih besar pada apa yang dapat dilakukan oleh masyarakat bagi diri sendiri dan pada cara untuk memperkuat kapasitas. Dalam rangka peningkatan ketahanan masyarakat pada daerah rawan bencana maka keadaan sosial-budaya masyarakat harus dipahami dalam 6 tahap kejadian bencana Marsella et.al. 2008 mulai dari pra bencana sejarah kebencanaan, peringatan dan ancaman bencana pengetahuan mengenai sistem sosial masyarakat dalam menciptakan tanggap bencana, kejadian bencana dan dampaknya, tanggap darurat peran pengetahuan dan kearifan lokal, rekonstruksi serta tahap pembelajaran dan pencegahan peran aktif masyarakat untuk melakukan aktivitas mitigasi

2.2 Persepsi terhadap Lingkungan

Alam merupakan lingkungan tempat manusia hidup dan berkembang. Keberadaan alam di sekitar manusia akan mempengaruhi cara pandang dan pola interaksinya baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam itu sendiri. Jika manusia melihat alam sebagai suatu potensi yang dapat dinikmati namun juga dijaga kelestariannya maka manusia akan menciptakan interaksi yang harmonis. Namun jika manusia memandang alam sebagai alat-sarana pemenuh bahkan pemuas kebutuhan saja maka alam pun akan dieksploitasi. Cara pandang tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, internal dan eksternal. Faktor internal dan eksternal dapat dipahami dengan melihat bagaimana manusia membentuk persepsinya. Faktor internal individu misalnya; pengetahuan, wawasan, kepekaan didukung oleh faktor eksternal yakni objek yang menjadi fokus perhatian misalnya; lahan, lingkungan, cuaca akan saling mempengaruhi dan berhubungan dalam membentuk persepsi. Seorang petani dengan pengetahuan dan kepekaannya mengamati siklus musim yang semakin Objek Fisik Individu Persepsi Dalam batas optimal Di luar batas optimal Coping Stress Berlanjut Adaptasi Adjusment Homeo statis Sukses Gagal tidak menentu sehingga berdampak pada menurunnya produktivitas lahan akan membentuk persepsi petani tersebut tentang dampak perubahan iklim. Perihal tersebut secara tegas tersirat dalam konsep yang dikemukakan oleh Paul A.Bell, et al. 1978 tentang persepsi individu terhadap lingkungannya. Jika persepsi berada dalam batas-batas optimal maka individu dikatakan dalam keadaan homeostatis, yaitu keadaan yang serba seimbang. Sebaliknya, jika objek dipersepsikan sebagai di luar batas-batas optimal maka individu akan mengalami stress dalam dirinya. Tekanan-tekanan energi dalam dirinya meningkat sehingga orang itu harus melakukan coping untuk menyesuaikan dirinya atau lingkungan pada kondisi dirinya. Skema persepsi yang dikemukakan oleh Paul A.Bell, et al. 1978 dapat dilihat pada gambar 1. Gambar 1 Skema Persepsi oleh Paul A.Bell, et al. 1978 Cara pandang manusia terhadap lingkungannya akan mempengaruhi bentuk adaptasi masyarakat tersebut. S emakin mereka memaknai “negatif” kondisi lingkungan di sekitar mereka maka semakin besar pula upaya adaptasi yang dilakukan untuk dapat bertahan hidup. Pada kondisi lingkungan yang sama bisa dijumpai bentuk-pola adaptasi yang berbeda. Perbedaan adaptasi tersebut disebabkan oleh persepsi yang tidak sama terhadap suatu lingkungan. Persepsi yang berbeda-beda akan menghasilkan pilihan-pilihan strategi adaptasi yang berbeda-beda pula meski pada akhirnya keberhasilan yang diperoleh dalam beradaptasi belum tentu memiliki kualitas yang berbeda jauh. Seperti yang dikemukakan oleh Bell, et al. 1978 tentang pembentukan adaptasi yang diawali dari persepsi terhadap lingkungan maka kajian longsor ini akan mengacu pada konsep tersebut. Namun demikian untuk melengkapi konsep-teori yang telah dikemukakan oleh Bell, et al. maka unsur lain yang