Upaya Penanggulangan Bencana Longsor pada Daerah Rawan Longsor

Tabel 12 Bentuk-bentuk Penanggulangan Bencana Longsor di Kampung Sirnagalih Skala Waktu Bentuk Penanggulangan Kategori Tindakan Menurut Bell,dkk. Jangka Pendek 1. Menutupmenambal retakan dengan tanah padat 2. Memperbaiki sistem pengaliranpembuangan air Adjustment Adjustment Jangka Menengah Panjang 1. Tidak melakukan alih fungsi lahan 2. Memanfaatkan lahan pertanian dengan pola lahan kering 3. Tidak mendirikan bangunan pada lereng bukit 4. Tidak menambah beban lahan 5. Tidak menebang pohon sembarangan, 6. Memelihara dan melakukan penanaman ulang dengan jenis kayu-kayuan serta pohon berdaya akar kuat untuk mengikat tanah 7. Membuat-membersihkan drainase aliran air 8. Tidak melakukan aktivitas yang mengganggu kestabilan lereng, seperti penambangan. Adjustment Adjusment Adaptasi Adaptasi Adaptasi Adjustment Adjustment Adaptasi Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer, Tahun 2012 Berdasarkan saran dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi PVMBG, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, ada beberapa upaya yang patut dilakukan oleh warga di Kampung Sirnagalih. Upaya tersebut merupakan langkah konkret dan bersifat teknis dengan tujuan mencegah terjadinya longsor yang lebih besar. Oleh Bell, dkk. sebagian upaya tersebut merupakan tindakan adjusment dimana warga melakukan perubahan pada lingkungannya untuk mencegah terjadinya longsor susulan. Beberapa upaya di atas telah dilakukan oleh warga Sirnagalih. Misalnya melakukan penambalan pada retakan-retakan yang terdapat di dinding dan lantai rumah. Upaya ini dilakukan pada saat peristiwa pergerakan tanah masih berskala kecil dan belum meruntuhkan rumah warga. Saat ini retakan-retakan tanah yang terjadi dan terus mengalami pelebaran retak, dibiarkan saja karena warga berasumsi bahwa retakan tersebut akan terus melebar dan membutuhkan tanah yang banyak untuk menutupnya. Warga khawatir pengambilan tanah untuk menutup retakan justru mengakibatkan persoalan baru pada tempat pengambilan tanah. Upaya lain yang juga telah dilakukan oleh warga adalah tidak melakukan penebangan pohon, juga tidak melakukan aktivitas penambangan meskipun di kampung mereka diklaim mengandung batu bara. Aktivitas penambangan batu bara yang pernah dilakukan pada tahun 1990 dan berulang pada tahun 2005 tidak lagi beroperasi dan benar-benar berhenti sejak terjadinya longsor. Warga juga mentaati batasan lahan yang boleh digarap dan tidak boleh digarap leuweung tutupan dan leuweung titipan. Pada leuweung titipan pun warga membuka lahan dengan tidak melewati batas kepemilikan. Di Kampung Sirnagalih lahan yang boleh mereka garap sebagai sawah, kebun dan ladang hanya berkisar 11 Ha tabel 13. Lahan itulah yang terus mereka garap dan mereka wariskan dari dulu hingga sekarang. Tabel 13 Distribusi Pemanfaatan Lahan Leuweung Titipan Kampung Sirnagalih No. Jenis Pemanfaatan Luas Ha 1. Sawah Tadah Hujan 3,50 2. Kebun Campuran 6,00 3. Ladang 1,50 4. Pemukiman 3,25 Total 14,25 Sumber: Hasil Pengolahan Data Primer dan Sekunder, Tahun 2012 Ketidakcukupan hasil produksi lahan sebagai penopang ekonomi keluarga akibat bertambahnya anak-cucu, mereka atasi dengan mencari pekerjaan lain yang tidak berbasis lahan seperti menjadi pedagang kecil di pasar Cigudeg dan Leuwliang,menjadi tukang ojek dan buruh tumbuk. Selama 5 tahun terakhir, beberapa suami malah merantau ke Jakarta meninggalkan istri dan anaknya untuk bekerja. Ada yang menjadi pedagang, ada juga yang menjadi buruh bangunan. Kendati demikian, dari berbagai bentuk-upaya penanggulangan longsor ada juga beberapa larangan yang terlanjur dilakukan oleh warga, seperti melakukan aktivitas pertanian dengan pola basah. Di Kampung Sirnagalih terdapat 3,5 Ha lahan yang dimanfaatkan sebagai persawahan dan sebagian besar dari sawah tersebut telah mengalami gejala longsor berupa retak tanah. Oleh pemilik sawah ke depan akan mengganti dengan tanaman pangan palawija lainnya yang diselingi dengan tanaman kayu-kayuan yang dianggap cocok dengan kondisi lahan seperti Jenjeng dan Puspa, Upaya lain yang dilakukan adalah mempertahankan sebagian tanaman bambu yang masih tersisa di kampung meskipun sebagian warga terlanjur mengganti dengan tanaman pangan seperti Singkong dan Pisang. Warga juga tidak lagi berminat untuk mendirikan bangunan rumah dengan konstruksi yang permanen. Sebagian warga lebih memilih membangun rumah dengan dinding bilik yang terbuat dari anyaman bambu dengan alasan lebih aman dan murah. Bahkan sebagian warga rela untuk direlokasi dan tidak lagi berminat untuk membangun-memperbaiki rumah dengan alasan keselamatan diri.

5.5 Ikhtisar

Konsep longsor secara harfiah adalah terjadinya gejala pergerakan tanah. Realitas lonsor yang terjadi selama kurun waktu 4 tahun 2009 sampai sekarang di Kampung Sirnagalih menunjukkan gejala pergerakan tanah longsor berupa tanah retak. Gejala tersebut berbeda dari peristiwa longsor yang umumnya terjadi yakni berupa tanah runtuh. Dari berbagai kajian pihak ESDM dan Kehutanan serta hasil pengamatan di lapangan, gejala pergerakan tanah yang terjadi disebabkan oleh 2 faktor yakni kondisi alam yang didukung oleh aktivitas manusia. Dari 2 faktor tersebut maka muncul beberapa tindakan yang mengarah untuk meminimalisir aktivitas manusia yang dianggap dapat memperparah kondisi ekologi Sirnagalih. Pemahaman terhadap faktor penyebab longsor sangat penting untuk diketahui, khususnya bagi mereka yang bersentuhan langsung dengan pengelolaan lahan Petani, agar upaya penanggulangan longsor dapat terwujud dalam tindakan atau aktivitas sehari-hari warga. Bukan hal yang mudah bagi warga untuk mengaplikasikan upaya penanggulangan longsor dalam aktivitas keseharian warga. Akan muncul berbagai kendala yang disebabkan oleh perubahan kualitas ekologi, khususnya lahan. Penurunan kualitas lahan telah berdampak pada perubahan-perubahan sosiologis, sebab lahan bagi warga setempat mempunyai makna yang besar yakni sebagai sumber penghidupan; sebagai sumber nafkah serta sebagai tempat untuk bermukim. Perubahan ekologis akibat kerusakan lahan berdampak pada kehilangan warga terhadap tempat tinggal, selain itu para petani terancam kehilangan sumber mata pencaharian. Perubahan tersebut dihadapi oleh warga dengan munculnya perubahan lain sebagai bentuk-upaya penanggulangan. Upaya penanggulangan yang dilakukan oleh warga berdampak pada upaya penanganan yang bersifat jangka pendek, menengah dan panjang. Upaya jangka pendek lebih kepada penanganan pada persoalan yang bersifat temporer sedangkan jangka menengah dan panjang lebih berdampak pada sustainabilitas kehidupan masyarakat Sirnagalih. Penanggulangan dilakukan dengan mengacu pada sumber penyebab longsor yang telah diindikasikan oleh beberapa pihak yang memiliki kompetensi di bidangnya seperti Dinas ESDM dan Kehutanan Kabupaten Bogor. Faktor permasalahan diindikasikan terjadi karena faktor alam dan manusia. Meskipun dugaan faktor alam lebih kuat namun penanganan yang mengarah pada perilaku manusia juga dilakukan. Pada akhirnya, penanganan yang bersifat komprehensif mutlak diperlukan dan dipertahankan sebab kondisi geologi Kampung Sirnagalih telah dinyatakan sebagai daerah rawan longsor. Longsor di Sirnagalih dapat dipahami secara komprehensif dengan menggali kondisi dan fenomena alam yang terjadi selama 4 tahun terakhir, mulai dari faktor penyebab, pengaruh dan dampak yang ditimbulkan, serta upaya penanggulangan yang telah dilakukan. Kondisi, penyebab, dampak dan upaya penanggulangan secara ringkas terangkum pada Tabel 14.