Pada akhir tahun 2011, tepatnya tanggal 11 bulan november tahun 2011, pergerakan tanah berupa tanah retak seperti tahun-tahun sebelumnya kembali
terjadi dan menimpa 3 rumah warga yakni Pak Salim, Pak Misnan dan Pak Jimro. Dinding rumah mengalami retak kecil. Retak di dinding sempat berhenti,
hingga pada awal Desember 2011 gejala retak tanah dan dinding kembali terjadi dan tidak berhenti bahkan mulai menimpa beberapa rumah warga lainnya.
Peristiwa tersebut terjadi seiring dengan hujan deras yang terus mengguyur Kampung Sirnagalih.
Pada hari Selasa, tanggal 13 Desember 2011 frekwensi pergerakan tanah terjadi semakin cepat dan menimpa 33 rumah dengan gejala serupa yakni
dinding dan lantai rumah retak bahkan mulai turun. Retakan yang awalnya hanya berkisar 5 Cm terus melebar hingga 30 Cm. Terdapat 12 rumah yang
menunjukkan gejala serius dengan kerusakan yang cukup parah. Puncak longsor terjadi pada hari Kamis tanggal 15 Desember 2011. Ke-33
rumah akhirnya mengalami kerusakan berat sehingga tidak lagi aman dan layak untuk dihuni. Dinding rumah warga roboh, lantai rumah terbongkar bahkan
amblas. Sebagian rumah warga lain yang mengalami kerusakan ringan sebanyak 9 unit. Seluruh rumah yang tidak dapat lagi dihuni mengakibatkan 42 keluarga
160 Jiwa harus mengungsi dan meninggalkan rumah mereka. Seluruh warga yang rumahnya rusak dipastikan tidak dapat kembali. Selain
karena faktor keamanan dan kelayakan, kondisi geologi terus menunjukkan terjadinya pergerakan tanah hingga sekarang bulan Mei 2012. Panjang retakan
telah mencapai 200 meter dengan lebar 300 meter. Kedalaman retakan sejauh 5 meter dan diperkirakan dapat mencapai 8 meter. Penurunan tanahpun telah
mencapai 30 sampai 50 Cm. Selain pemukiman, retakan tanah juga menimpa areal persawahan. Ada 25
petani yang lahan garapannya rusak, khususnya lahan berupa sawah yang tidak dapat lagi ditanami padi. Luas areal persawahan yang rusak ditaksir masing-
masing petani berkisar 0,25 sampai 0,5 Ha. Kondisi tanaman padi mulai kering karena air untuk mengairi sawah tidak dapat tergenang melainkan terus mengalir
dan jatuh ke dalam retakan tanah.
5.3. Pengaruh dan Dampak Bencana Alam Longsor
Mengacu pada realitas longsor yang terjadi sejak tahun 2009 hingga saat ini, terlihat bahwa dampak dan pengaruh yang ditimbulkan dalam rentang waktu
4 tahun tersebut berbeda. Longsor yang terjadi pada tahun 2009 dan 2010 hanya menimbulkan kerusakan kecil di 2 rumah yakni rumah Pak Adun dan Pak
Rahmat. Dari peristiwa tersebut, belum memperlihatkan dampak dan pengaruh yang nyata dalam aktivitas keseharian warga Sirnagalih. Warga belum
menganggap retak tanah yang menimpa 2 rumah tetangga mereka sebagai hal yang membahayakan sehingga perubahan cara pandang yang berdampak pada
perubahan perilaku belum nampak secara signifikan. Dampak dan pengaruh besar mulai terjadi ketika peristiwa longsor
pergerakan tanah terjadi pada Tahun 2011 hingga saat ini. Pergerakan tanah telah mengakibatkan kerugian materiil berupa kerusakan rumah dan lahan
garapan serta kerugian immateril lainnya berupa hak untuk hidup nyaman dan tenang. Kerugian berupa kerusakan yang menimpa pemukiman dan lahan
garapan warga menghasilkan beberapa perubahan secara sosio maupun ekologis, seperti yang terlihat pada gambar 13.
Gambar 13 Kerusakan Akibat Retak Tanah pada Sawah kiri dan Pemukiman rumah Warga di Kampung Sirnagalih kanan.
Pada gambar 13, terlihat kerusakan pada sawah mengakibatkan air yang menggenangi tanaman menjadi surut. Kerusakan tersebut menyulitkan warga
untuk menggarap sawahnya. Selain kerusakan pada sawah, pergerakan tanah juga mengakibatkan rumah-rumah warga menjadi hancur dan runtuh bahkan
amblas. Pergerakan tanah berupa tanah retak tersebut menyebabkan kerugian materiil seperti yang terurai pada tabel 11.
Tabel 11 Rekapitulasi Data Korban-Kerugian Longsor di Kampung Sirnagalih
No Uraian Korban-Kerugian
Jumlah
A. Tahun 2009
Bangunan Rumah Rusak Ringan 1 Unit
B. Tahun 2010
Bangunan Rumah Rusak Ringan 1 Unit
C. Tahun 2011
1. Jumlah KK
42 KK 2.
Jumlah Jiwa 160 Jiwa
3. Jumlah Bangunan Rumah
42 Unit
- Rusak Berat
33 Unit
- Rusak Ringan
9 Unit 4.
Sawah 15 Petak
Sumber : Hasil Pengolahan Data Primer Sekunder, Tahun2012
Mengacu pada konsep Cultural Ecology Steward, maka pemanfaatan teknologi menjadi awal perubahan pada 3 aspek inti lainnya yakni perubahan
pada aspek kependudukan populasi, aspek kelembagaan ekonomi dan aspek organisasi sosial-politik. Perubahan sosio-ekologi pada Kampung Sirnagalih
yang diawali dari pemanfaatan teknologi dibagi menjadi 2 hal yakni pertama, rusaknya lahan garapan petani yang berdampak pada perubahan teknik dan pola
tanam. Perubahan tersebut terjadi karena retak tanah di lahan garapan khususnya sawah menjadi rusak. Rusaknya sawah berakibat pada menurunnya
produktivitas lahan untuk menghasilkan beras, sementara beras masih menjadi makanan pokok warga setempat. Warga pun mulai mengalihfungsikan sawahnya
menjadi kebun campuran, dengan jenis tanaman pangan lainnya yang dianggap dapat mengenyangkan yakni Singkong dan Pisang. Ada juga yang mengisi
sebagian lahan mereka dengan tanaman tahunan seperti Sengon. Perubahan tersebut juga menyebabkan berubahnya pola produksi-distribusi pangan.
Kerusakan lahan selain merubah pola teknik dan pola tanam juga merubah pola fikir dan perilaku sebagian warga untuk mencari alternatif mata pencaharian
yang tidak berbasis lahan. Munculnya jenis pekerjaan baru di bidang jasa seperti menjadi tukang ojek dan buruh tumbuk emas di luar desa merubah struktur
nafkah mereka menjadi nafkah ganda. Dari curahan waktu, pekerjaan bertani tetap sebagai yang utama.