Faktor Penyebab Longsor Local Institution: A Form of Socio-Ecological Adaptation in Landslide-Prone Areas (A Case of Landslide-Prone Community in Sukaraksa Village, Bogor Regency, West Java Province).

andesit menyebabkan tanah menyerap air dengan cepat sehingga menyebabkan tanah juga menjadi lebih cepat jenuh Dinas ESDM Kab.Bogor. Gejala-gejala alam secara umum menampakkan bahwa kondisi alam Kampung Sirnagalih memang termasuk dalam kategori rawan longsor. Potensi longsor tersebut menjadi lebih berat ketika lahan telah beralih fungsi menjadi pemukiman, persawahan dan perkebunan. Jenis tanaman endemik asli seperti bambu mulai berganti dengan jenis tanaman lain seperti Singkong dan Pisang. Menurut para ahli Geologi dari Dinas ESDM Kab. Bogor serta pakar konservasi tanah dan air IPB, peristiwa longsor yang terjadi pada daerah rawan longsor di Desa Sukaraksa yakni Kampung Sirnagalih merupakan fenomena alam geologis dengan tipe translasi. Tipe translasi merupakan salah satu jenis longsor yang kerap terjadi di Indonesia Nugraha 2010. Longsoran translasi merupakan pergerakan tanah yang terjadi akibat pergerakan massa tanah dan batuan pada bidang gelincir yang berbentuk rata atau menggelombang landai. Gejala longsor yang ditunjukkan oleh Kampung Sirnagalih merupakan parameter umum akan terjadinya perpindahan tanah dalam jumlah besar dengan gejala terjadi keretakan tanah, lantai dan dinding bangunan. Bentuk-bentuk keretakan tanah bisa berupa bentuk konsentris terpusat seperti lingkaran atau paralel dengan lebar beberapa sentimeter dan panjang beberapa meter sehingga dapat dibedakan dengan gejala retakan biasa Nugraha 2010. Dari berbagai kajian dan analisa para ahli yang menerangkan tentang kondisi geomorfologi kampung, maka terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya gerakan tanah. Secara umum faktor-faktor tersebut dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni faktor alamiah dan faktor manusia Mukhlis T.,dkk 2008. Pertama, faktor alamiah yang menjadi faktor pemicu longsor adalah curah hujan yang tinggi yakni 3000 mm 3 tahun dengan intensitas yang semakin meningkat pada bulan-bulan tertentu yakni November, Desember, Januari, Pebruari, Maret. Faktor alamiah lainnya yang menjadi pemicu adalah faktor geomorfologi lainnya seperti kecuraman lereng, kondisi tanah dan bebatuan. Kedua, kondisi alamiah tersebut menjadi semakin kritis dengan perubahan- perubahan lingkungan yang disebabkan oleh manusia dalam hal ini adalah warga setempat. Warga setempat menyatakan bahwa perubahan fungsi lahan serta berkurangnya jenis tanaman tertentu yang menjadi tanaman endemik lokal Puspa, Lame dan Bambu dengan fungsi sebagai pengikat air tanah mulai terjadi sekitar awal Tahun 2000. Perubahan tersebut disinyalir sebagai salah satu indikasi terjadinya longsor, meskipun secara ekologis tutupan lahan berupa kebun campuran masih terlihat didominasi oleh tanaman tahunan lainnya yakni Sengon. Kampung Sirnagalih merupakan habitat tanaman bambu yang merupakan jenis tanaman dengan akar kuat dan baik untuk pengikat air tanah. Selain bambu, tanaman endemik lainnya seperti Puspa, Lame masih terlihat, meskipun kini tanaman Sengon lebih banyak ditemui. Hal tersebut nampak dari kondisi alam yang masih menyisakan tanaman bambu di beberapa kebun milik warga. Menurut pengakuan salah satu warga sepuh tua di Sirnagalih, tanaman bambu sejak awal telah banyak ditemui dan dikembangkan oleh warga sebagai tanaman pendukung untuk membuat rumah. Seiring perkembangan jumlah penduduk dan kebutuhan hidup, pengakuan warga Sirnagalih mengakui bahwa di beberapa tempat tanaman bambu telah digantikan dengan jenis tanaman lain yang lebih bernilai ekonomis seperti Singkong dan Pisang. Kedua jenis tanaman pengganti bukan merupakan tanaman kayu-kayuan serta tidak memiliki akar yang kuat yang dapat berfungsi sebagai pengikat air tanah. Namun Singkong dan Pisang dapat menjadi sumber pangan aternatif warga selain beras. Fakta di lapangan memperlihatkan bahwa keberadaan jenis tanaman tersebut Singkong dan Pisang sebenarnya tidaklah banyak namun oleh pihak Pemerintah dianggap sebagai pemicu terjadinya longsor. Selain sebagai habitat tanaman bambu, awalnya Kampung Sirnagalih merupakan bukit yang lebih banyak ditumbuhi rumput liar, semak belukar dan beberapa tanaman endemik seperti Puspa dan Lame. Kini Kampung Sirnagalih telah berubah dan didominasi oleh kebun campuran tanaman tahunan seperti sengon, sawah tadah hujan dan pemukiman. Bagaimanapun juga, akivitas tersebut disinyalir menyebabkan bertambahnya beban pada tanah yang strukturnya memang rapuh. Tanahpun menjadi semakin rapuh, retak, turun dan akhirnya menyebabkan tanah amblas seperti yang terjadi di areal pemukiman warga. Ketiga, aktivitas pertanian sawah di bagian atas yakni di Kampung Sirnagalih juga disinyalir sebagai faktor pemicu terjadinya longsor karena keberadaan air sawah yang terus menerus ada di permukaan dan meresap ke bawah permukaan. Pengairan pada sawah menjadikan intensitas air yang terus menerus sehingga terjadi perubahan karakteristik tanah dan menurunkan kuat geser tanah secara signifikan. Kondisi persawahan juga akan menambah beban lereng yang menyebabkan terjadiya longsoran. Faktor keempat adalah adanya indikasi pergerakan tanah yang disebabkan oleh aktivitas penambangan batu bara yang pernah dilakukan di jalur Selatan Kampung Sirnagalih sejauh 400 meter. Aktivitas penambangan batu bara secara tradisional pernah dilakukan berawal pada Tahun 2005 oleh 3 warga di Kampung Sirnagalih, dan sejak 2 tahun terakhir telah berhenti tidak beroperasi lagi. Desa Sukaraksa memang disinyalir merupakan daerah yang memiliki potensi hasil bumi batu bara dengan kadar 6,8 menghampiri kadar kualitas baik yakni 7. Secara keseluruhan, lokasi yang disinyalir memiliki kandungan batu bara di Desa Sukaraksa seluas 30 Ha termasuk yang terdapat di Kampung Sirnagalih dan beberapa kampung di sekitarnya Wawancara dengan Kades Sukaraksa. Penambangan batu bara pernah dilakukan di 3 titik pada tahun 1990 dan 2005. Penambangan yang dilakukan oleh perusahaan kecil tersebut tidak berlangsung lama dan hingga kini tidak ada lagi aktivitas penambangan batu bara karena tingginya biaya produksi serta persoalan kondisi lahan. Benturan antara kepentingan ekonomi beberapa warga serta kepentingan ekologis yang berdampak pada keselamatan seluruh warga merupakan realitas yang dilematis. Di sisi lain warga mengetahui potensi finansial yang dapat diperoleh dari pengelolaan batu bara namun di sisi lain warga juga tak mau kehilangan tempat tinggal akibat kerusakan lahan yang disebabkan olek eksploitasi batu bara. Dari berbagai uraian di atas, oleh pihak ESDM dan masyarakat, selain ke- empat faktor tersebut beberapa faktor lainnya yang diindikasikan sebagai penyebab longsor di Sirnagalih juga ditemukan, seperti yang terlihat pada tabel 10. Namun demikian faktor-faktor tersebut tetap memerlukan kajian yang lebih lanjut untuk mengetahui seberapa besar-kuat pengaruh dari masing-masing faktor. Tabel 10 Faktor-Indikasi Penyebab Longsor di Kampung Sirnagalih Indikasi Penyebab Uraian Bobot Faktor Alam : 1 Jenis tanah dan batuan Kurang padat; Tanah lempung, breksi, batu pasir, kuarsa dan andesit serta batu bara + 2 Kecuraman bukit Curam; 30 derajat + 3 Curah hujan Tinggi; 3000 mm 3 tahun + 4 Getaran Daerah rawan gempa - 5 Erosi Pengikisan tanah akibat penggundulan hutan - 6 Material timbunan Tempat pembuangan sampah +- 7 Bidang Diskontinuitas Pertemuan bidang yang tidak sinambung. +- Faktor Manusia : 1 Jenis tata lahan Pemukiman, Sawah, Kebun-Tegalan, Hutan + 2 Pemotongan- pengikisan tebing Beban tambahan Pembangunan rumah + 3 Penggantian jenis tanaman Jenis kayu-kayuan dan berakar kuat menjadi tanaman semusim dan tidak berakar kuat + 4 Penebangan liar Penebangan pohon tanpa melakukan penanaman ulang - 5 Penambangan Penggalian hasil bumi berupa batu bara +- 6 Sistem irigasi pertanian Tidak memperhatikan sistem aliran air. +- Sumber: Analisis Data Primer dan Sekunder, Tahun 2012 Keterangan : + = Indikasi Kuat, - = Indikasi Lemah, +- = Perlu kajian lebih detail Pada tabel 10 dijelaskan bahwa antara faktor alam dan faktor manusia, keduanya menunjukkan pengaruh dan peran yang kuat + sebagai penyebab longsor. Kuatnya indikasi tersebut didukung oleh hasil kajian dari beberapa pihak seperti Dinas ESDM dan ilmuwan dari perguruan tinggi IPB dan ITB. Selain yang berindikasi kuat, terdapat juga beberapa aspek yang dianggap memiliki kontribusi namun tidaklah berperan besar dalam menyebabkan longsor atau dianggap lemah -. Beberapa faktor lain yang diindikasikan sebagai penyebab namun belum dianalisis secara ilmiah, hanya sebagai dugaan semata juga dimasukkan dengan harapan tetap menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan faktor penyebab sekaligus untuk mencari bentuk penanggulangan. Mengacu dari faktor-faktor penyebab tejadinya longsor oleh Nugraha 2010 serta kondisi geomorfologi Kampung Sirnagalih maka beberapa indikasi yang menjadi penyebab longsor baik alam maupun manusia menjelaskan bahwa pertemuan kedua faktor yakni kondisi geomorfologi alam yang dipengaruhi oleh faktor pemicu yang disebabkan oleh manusia yakni alih fungsi dan tata guna lahan serta tingginya curah hujan akan mempercepat ketidakstabilan lereng sehingga menyebabkan Kampung Sirnagalih mengalami longsoran.

5.2. Realitas Longsor Tahun 2009 sampai Sekarang

Kampung Sirnagalih telah menunjukkan gejala-gejala longsor dalam kurun waktu 4 tahun terakhir. Gejala longsor di Kampung Sirnagalih telah ada sejak Tahun 2009 dengan gejala yang agak berbeda dari gejala longsor yang pada umumnya terjadi. Longsor yang terjadi berupa tanah retak bukan tanah yang jatuh. Peristiwa longsor berawal dari munculnya retakan tanah di dinding dan lantai rumah salah satu warga yakni Pak Adun. Skala retakan yang terjadi masih kecil 15 sampai 25 Cm dan baru pertama kali terjadi. Gejala serupa kembali muncul pada Tahun 2010 yang juga terjadi pada salah satu rumah warga lainnya yakni Pak Rahmat. Lantai dan dinding rumah juga mengalami retak-retak kecil sepanjang 15 sampai 35 Cm. Oleh pemilik rumah dilakukan penambalan menggunakan semen untuk merapatkan kembali lantai dan dinding yang retak. Kejadian tersebutpun oleh warga Kampung Sirnagalih belum dianggap sebagai gejala longsor karena hanya terjadi di salah satu rumah warga dan tidak menimbulkan bahaya. Dua kejadian tersebut oleh warga setempat belum dianggap sebagai gejala longsor karena masih berskala kecil dan belum membawa dampak yang membahayakan meskipun upaya sederhana dengan melakukan penambalan retakan tetap dilakukan. Warga memahami peristiwa longsor sebagai peristiwa bencana alam yang menimbulkan bahaya sehingga mendatangkan kerugian besar. Ketika longsor dianggap tidak berbahaya maka warga belum menganggap kejadian tersebut sebagai sebuah bencana. Berbeda dengan konsep longsor yang secara teknis diartikan oleh para ahli sebagai suatu fenomena alam yakni terjadinya pergerakan tanah meskipun belum menimbulkan bencana, namun pergerakan tanah selalu diprediksikan akan menimbulkan bahaya dan kerugian. Pada akhir tahun 2011, tepatnya tanggal 11 bulan november tahun 2011, pergerakan tanah berupa tanah retak seperti tahun-tahun sebelumnya kembali terjadi dan menimpa 3 rumah warga yakni Pak Salim, Pak Misnan dan Pak Jimro. Dinding rumah mengalami retak kecil. Retak di dinding sempat berhenti, hingga pada awal Desember 2011 gejala retak tanah dan dinding kembali terjadi dan tidak berhenti bahkan mulai menimpa beberapa rumah warga lainnya. Peristiwa tersebut terjadi seiring dengan hujan deras yang terus mengguyur Kampung Sirnagalih. Pada hari Selasa, tanggal 13 Desember 2011 frekwensi pergerakan tanah terjadi semakin cepat dan menimpa 33 rumah dengan gejala serupa yakni dinding dan lantai rumah retak bahkan mulai turun. Retakan yang awalnya hanya berkisar 5 Cm terus melebar hingga 30 Cm. Terdapat 12 rumah yang menunjukkan gejala serius dengan kerusakan yang cukup parah. Puncak longsor terjadi pada hari Kamis tanggal 15 Desember 2011. Ke-33 rumah akhirnya mengalami kerusakan berat sehingga tidak lagi aman dan layak untuk dihuni. Dinding rumah warga roboh, lantai rumah terbongkar bahkan amblas. Sebagian rumah warga lain yang mengalami kerusakan ringan sebanyak 9 unit. Seluruh rumah yang tidak dapat lagi dihuni mengakibatkan 42 keluarga 160 Jiwa harus mengungsi dan meninggalkan rumah mereka. Seluruh warga yang rumahnya rusak dipastikan tidak dapat kembali. Selain karena faktor keamanan dan kelayakan, kondisi geologi terus menunjukkan terjadinya pergerakan tanah hingga sekarang bulan Mei 2012. Panjang retakan telah mencapai 200 meter dengan lebar 300 meter. Kedalaman retakan sejauh 5 meter dan diperkirakan dapat mencapai 8 meter. Penurunan tanahpun telah mencapai 30 sampai 50 Cm. Selain pemukiman, retakan tanah juga menimpa areal persawahan. Ada 25 petani yang lahan garapannya rusak, khususnya lahan berupa sawah yang tidak dapat lagi ditanami padi. Luas areal persawahan yang rusak ditaksir masing- masing petani berkisar 0,25 sampai 0,5 Ha. Kondisi tanaman padi mulai kering karena air untuk mengairi sawah tidak dapat tergenang melainkan terus mengalir dan jatuh ke dalam retakan tanah.