atau pengembangan perekonomian keluarga melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya yang tidak dapat diproduksi sendiri.
7.2.4 Organisasi Sosial-Politik
Selain populasi dan aspek-aspek kelembagaan ekonomi, konsep Steward juga mengatakan bahwa unsur inti core lainnya yang akan mengalami
perubahan adalah kehadiran organisasi sosial-politik. Organisasi sosial-politik disini merupakan suatu bentuk adaptasi terhadap perubahan sosial-politik yang
menghadirkan fungsi dan peran baru, baik secara formal maupun informal dalam rangka penanganan dan penanggulangan bencana longsor.
Secara non formal, komunitas di Kampung Sirnagalih telah menciptakan satu mekanisme peringatan dini yang dilakukan secara sederhana.
Kelembagaan Tagana Tanggap Bencana yang dibangun memang bersifat sederhana. Kelembagaan tersebut merupakan bentuk organisasi sosial yang
ditujukan untuk mengantisipasi jatuhnya korban longsor. Pada gambar 28 dan gambar 29 terlihat model kelembagaan Tagana yang dibangun berdasarkan 2
peristiwa-fenomena alam, yakni hujan deras dan retak tanah.
Gambar 28 Skema Kelembagaan Tanggap Bencana Tagana Daerah Rawan Longsor Kampung Sirnagalih Untuk Peristiwa Hujan Deras
Pertama, ketika terjadi hujan deras di Sirnagalih maka para warga berinsiatif untuk saling mengingatkan. Kepala Desa yang berada jauh dari
Kampung Sirnagalih secara rutin memberikan warning melalui media telephone ke Ketua RT untuk waspada. Secara pribadi, Ketua RT pun melakukan
pengawasan dan peringatan sederhana terhadap warganya untuk tetap mawas diri. Bentuk Tagana pada peristiwa hujan deras terlihat bahwa upaya peringatan
dini yang dilakukan lebih didasarkan pada kesadaran diri insiatif masing-masing
Gejala alam : 1 Hujan deras
Kepala Desa
Ketua RT
Warga Warga
Warga handphone
pihak dan kemudian ditularkan ke pihak lain sehingga terbentuk mekanisme peringatan dini.
Gambar 29 Skema Kelembagaan Tanggap Bencana Tagana Daerah Rawan Longsor Kampung Sirnagalih Untuk Peristiwa Retak
Tanah Kedua, peristiwa tanah retak yang biasanya muncul setelah hujan deras
juga menjadi fenomena alam yang diwaspadai oleh warga. Biasanya warga segera ke kebun, sawah untuk melihat apakah kondisi lahan mereka masih aman
atau mengalami keretakan. Sesama warga akan saling memberikan informasi jika terjadi retak tanah yang baru. Informasi akan disampaikan ke Ketua RT dan
dilanjutkan ke Kepala Desa. Kepala Desa akan melanjutkan informasi tersebut kepada Dinas ESDM Kab. Bogor sebagai bahan laporan untuk ditindaklanjuti.
Pada peristiwa retak tanah, kelembagaan Tagana yang dibangun juga lebih didasarkan pada kesadaran diri masing-masing pihak khususnya para warga.
Pengetahuan mereka terhadap munculnya tanah retak baru harus segera disampaikan ke pihak lain untuk ditindaklanjuti. Kelembagaan Tagana di sini
telah melibatkan pihak luar yakni Dinas ESDMBPBD Kab. Bogor. Keterlibatan pihak luar dianggap penting untuk melakukan evaluasi teknis yang lebih
mendalam terhadap kondisi tanah di Sirnagalih. Secara formal, penanganan para korban longsor juga merupakan bagian
dari tanggungjawab Pemerintah. Realitas longsor berupa pergerakan retak tanah di Kampung Sirnagalih mengakibatkan kampung tersebut masuk dalam
daftar penanganan bencana yang diprioritaskan oleh Pemerintah Daerah maupun Pusat. Bukan hanya Pemerintah, beberapa pihak juga mengambil
bagian dalam penanganan bencana di kampung tersebut dengan memberikan
Gejala alam : 2 Retak tanah
KaDes SekDes
Ketua RT
Warga Warga
Warga Dinas ESDM
BPBD Kab.Bogor handphone
bantuan. Penyaluran bantuan oleh para pihak dikelola langsung oleh Pemerintah Desa dibantu ketua RT.
Dari berbagai bantuan baik dari Pemerintah maupun pihak lain Parpol dan Lembaga Pendidikan lebih bersifat fisik. Para korban longsor Sirnagalih lebih
dipandang sebagai korban yang membutuhkan barang yang bersifat materiil. Pihak pendonor selain pemerintah lebih membarikan bantuan berupa makanan
dan obat-obatan, sedangkan pemerintah yang melihat warga Kampung Sirnagalih sebagai korban yang kehilangan tempat tinggal bukan kehilangan
kesempatan untuk hidup lebih layak memberikan bantuan berupa tenda dan Huntara.
Pemerintah pun memberikan bantuan fisik yang dibagi dalam 3 tahap. Pertama penanganan yang lebih bersifat tanggap darurat, diawali dengan
pemberian bantuan tenda dan bahan makanan. Kedua, penanggulangan yang bersifat jangka pendek yakni korban longsor mendapatkan tempat hunian
semetara yang bersifat temporer. Dalam penanganan bencana, Huntara hanya diperuntukkan selama 6 bulan. Ketiga, pemerintah bertanggungjawab
memindahkan warga ke tempat yang lebih aman dengan bangunan fisik yang juga lebih layak.
Dalam proses pemberian bantuan tersebut ditemukan berbagai masalah dan kendala yang melibatkan beberapa aktor. Aktor-aktor tersebut antara lain;
Pemerintah Daerah mulai dari tingkat Desa Pemerintahan Desa yang bertugas melakukan pendataan dan menginventarisir kerusakan yang diakibatkan
bencana longsor, Pemerintahan Kecamatan Camat yang menerima secara formal laporan dari Desa dan meneruskan ke Pemerintah Kabupatan Bupati
untuk ditindaklanjuti oleh satker yang terkait dengan penanganan bencana dalam hal ini Dinas Sosial.
Selain Pemerintah Daerah terlibat juga lembaga formal lainnya yakni Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD Kab. Bogor yang bertugas
untuk terus memantau perkembangan di lapangan dan mempersiapkan aksi-aksi tanggap darurat selama proses evakuasi warga mulai dari tenda pengungsian
ke Huntara hingga ke tempat tinggal yang permanen. Untuk merealisasikan program bantuan tersebut setidaknya dibutuhkan 2
hal yang harus dipenuhi yakni lahan dan jaminan keamanan atas lahan tersebut. Jaminan keamanan atas lahan diperoleh dari hasil identifikasi pihak Dinas ESDM
Kab. Bogor yang menyatakan bahwa lahan tersebut layak dan aman untuk ditempati dalam waktu yang lama. Di sisi lain, kebutuhan terhadap lahan itu
sendiri menjadi semakin sulit. Lahan-lahan yang dianggap potensial berada di luar kampung dan merupakan milik orang-orang dari luar Desa. Mereka mulai
menpermainkan harga tanah yang awalnya hanya Rp. 50.000Meter kini naik menjadi 3 kali lipat. Kondisi tersebut menyulitkan Pemerintah yang telah
mengalokasikan anggaran sesuai dengan standar harga tanah di desa. Jaringan bantuan yang ada seharusnya membantu warga bangkit dari
keterpurukan, namun oleh beberapa oknum disalahartikan. Kekuasaan Pemerintah selaku elit tidak berari dibandingkan kekuasaan para pemegang hak
tanah. Upaya-upaya pendekatan telah dilakukan oleh Pemerintah Desa namun karena para pemegang hak tanah bukanlah penduduk asli Desa Sukaraksa,
merekapun bermukim di luar desa, sehingga proses negosiasi menjadi sulit. Mengacu pada realita tersebut, terlihat bahwa terdapat penambahan peran
dan fungsi pemerintah untuk Kampung Sirnagalih dalam upaya penanggulangan bencana.
Berdasarkan Undang-undang
No.24Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, peran dan fungsi pemerintah seyogyanya dilakukan
untuk membantu masyarakat yang menjadi korban bencana dengan merangkul para stakeholders. Pada realitanya pelaksanaan peran dan fungsi tersebut tidak
mudah direalisasikan. Merangkul aktor-aktor yang dianggap bertalian langsung dengan permasalahan yang dihadapi oleh komunitas rawan longsor di Kampung
Sirnagalih merupakan tantangan tersendiri yang harus segera ditangani oleh Pemerintah selaku pihak yang seharusnya lebih berkuasa.
Kehadiran 2 bentuk formal dan informal mekanisme penanganan dan penanggulangan bencana pada aspek organisasi sosial-politik menggambarkan
bagaimana bentuk adaptasi masyarakat dalam mengorganisasikan fungsi dan peran sosial. Secara informal masyarakat telah aktif membentuk kelembagaan
Tagana yang bersifat sederhana, dan secara formal, kehadiran pemerintah dan donatur lainnya dalam memberikan bantuan juga diterima oleh warga melalui
pemerintah desa distribusi bantuan langsung oleh Aparat Desa. Secara organisasi, terdapat beberapa wadah yang seharusnya dapat
membantu para warga yang menjadi korban longsor. Keberadaan organisasi tersebut dapat menjadi sarana untuk meningkatkan kapasitas sehingga mampu
menciptakan masyarakat yang tanggap terhadap bencana. Namun realita menunjukkan hal yang berbeda.
Keberadaan organisasi di tingkat desa seperti LPM LKMD, BPD, Karang Taruna, dan seterusnya belum mampu menyentuh permasalahan kebencanaan
yang dialami oleh Kampung Sirnagalih. Akibatnya ada kesan bahwa para korban longsor di Sirnagalih harus menghadapi persoalan bencana alam secara sendiri
mandiri. Lebih memprihatinkan adalah ditemukannya pihak-pihak tertentu yang
justru „memanfaatkan’ penderitaan warga untuk mengeruk keuntungan. Pernyataan ini didasari oleh pengakuan warga yang menyebutkan bahwa
kampung mereka pernah dikunjungi oleh salah satu stasiun TV Swasta ternama beserta 2 artis Indonesia dan dijadikan salah satu program TV yang kemudian
ditayangkan. Warga mengatakan tidak ada bantuan yang diperoleh kecuali hanya berupa hiburan sesaat.
Fenomena tersebut menggambarkan bahwa pihak luar belum mengerti sepenuhnya persoalan yang dihadapi oleh masyarakat di Sirnagalih sehingga
belum mampu memberikan kontribusi-manfaat penting yang dapat menjadi penopang keberlanjutan hidup para korban. Masyarakat pun hanya dijadikan
sebagai objek komersialisasi. Belum tersentuhnya persoalan kebencanaan oleh para pihak baik internal
desa maupun eksternal, menunjukkan bahwa kesadaran para pihak dalam mengatasi persoalan bencana masih rendah dan cenderung membebankan ke
pundak para korban. Perhatian yang diberikan lebih kepada menunjukkan sikap simpati dan empati.
Rendahnya tingat pendidikan dan perekonomian warga Sirnagalih sepertinya juga berdampak pada rendahnya tingkat percaya diri warga untuk
aktif membangun jaringan dan membuka jalur informasi terhadap pihak luar. Masyarakat lebih bersikap pasif dan menunggu respon dari pihak luar yang ingin
memberikan bantuan. Beberapa warga menganggap bahwa pada prinsipnya mereka sangat
membutuhkan dorongan support, motivasi dan bimbingan atau pengembangan wawasan di bidang lingkungan dan kebencanaan, namun mereka tidak percaya
diri jika harus memulai apalagi untuk meminta bantuan. Budaya malu dan tidak
enak sungkan untuk merepotkan orang lain tergambar dari sikap mereka. Akibatnya, warga di Sirnagalih dibiarkan berjuang untuk menghadapi persoalan
kebencanaan dengan mengandalkan kemampuan modal yang sangat terbatas. Mengacu pada konsep bencana, Sirnagalih sebagai daerah rawan longsor
dengan tingkat bahaya yang cukup tinggi bagi sendi-sendi kehidupan sosial- ekonomi, dapat diminimalisir jika warganya memiliki tingkat ketahanan yang baik
terhadap bencana. Bentuk-bentuk adaptasi yang terangkum dalam unsur inti core kehidupan komunitas rawan longsor Sirnagalih merupakan bentuk
adaptasi yang menggambarkan kapasitas atau daya ketahanan. Seperti yang dikemukakan oleh Twight 2007 bahwa masyarakat yang memiliki daya
ketahanan sosial yang tinggi terhadap bencana adalah masyarakat yang memiliki tingkat kolaborasi, saling percaya, saling menghormati dan tercipta kerjasama
antar unsur masyarakat, baik di saat menghadapi bencana ataupun tidak. Di tingkat desa unsur-unsur ketahanan tersebut nampak masih lemah
namun di tingkat kampung ketahanan sosial masyarakat Sirnagalih terhitung baik. Hal ini terlihat dari perubahan-perubahan yang dilakukan, mulai dari
penyesuaian pola dan teknik pemanfaatan lahan, pengaturan perilaku antar warga di tempat pengungsian, hingga kesadaran bersama untuk saling
mengingatkan bahaya longsor dengan mengamati gejala alam. Meski harus diakui bahwa ketahanan sosial yang terdapat di Kampung Sirnagalih merupakan
ketahanan yang belum bisa dianggap sustain mengingat peristiwa longsor yang mereka alami belum lama namun telah menjadi indikasi awal yang dapat
menjaga sustainability kehidupan sosial-ekonomi warga.
7.3 Ikhtisar
Bentuk-bentuk adaptasi
sosio-ekologi pada
Kampung Sirnagalih
dipengaruhi oleh terjadinya perubahan lingkungan yakni rusak dan menurunnya kualitas lahan. Peristiwa pergerakan tanah longsor di akhir Tahun 2011 secara
cepat telah menyebabkan munculnya berbagai upaya penyesuaian di berbagai aspek dalam pemanfaatan teknologi, perubahan populasi, kelembagaan ekonomi
serta organisasi sosial-politik. Secara ringkas perubahan-perubahan tersebut disajikan pada tabel 26.
Tabel 26 Perubahan Sosio-Ekologi Komunitas Rawan Longsor Kampung Sirnagalih
Aspek Sebelum Longsor
Tahun 2005 Setelah Longsor
Tahun2005 1. Teknologi :
a. Teknik dan Pola Tanam pada
sawah tadah hujan
- Monokultur Padi
- Berdasarkan kebutuhan
pangan dan rumahtangga -
Ladang kebun campuran : tanaman semusim, tanaman
tahunan -
Berdasarkan kebutuhan pangan dan rumahtangga serta
kesesuaian lahan b. Alih fungsi
Pemanfaatan Lahan
- Pemukiman
- Ladang tanaman palawija
c. Adopsi bantuan berupa tempat
tinggal -
Rumah dengan status milik pribadi
- Hunian sementara bersifat semi
permanen dan
status kepemilikan sementara
2. Populasi :
a. Pola Pemukiman
- Berdasarkan kedekatan dengan lahan garapan
- Permanen - Berdasarkan
keamanan kelayakan lahan
- Non permanen b. Pola interaksi
gaya Hidup Saling menolong
Saling menolong dan ikap toleran semakin meningkat, dan saling
menghargai dalam memanfaatkan sumberdaya
c. Migrasi Hanya 2 orang dengan migrasi tetap
Mulai banyak buruh tani dengan migrasi non permanen
3. Kelembagaan Ekonomi :
a. Pola Produksi Hasil garapan dikonsumsi langsung
Hasil garapan dikonsumsi setelah didistribusikan dan dikonversi
b. Pola Makan 3 kali sehari, cemilan 1 kali sore
hari Tiga kali sehari porsi terbatas,
cemilan 2 kali c. Struktur Nafkah; Hanya 1 mata pencaharian; Petani
atau Pedagang Nafkah ganda; Petani+Buruh
Tumbuk, Tukang Ojek, Kuli Bangunan, dan lain-lain.
d. Relasi Ekonomi dalam
pemenuhan kebutuhan
harian Keluar kampung
Di dalam kampung muncul Pasar „Jalan’
4. Organisasi Sosial-Politik :
a. Peran Sosial Masyarakat
Lokal Tidak ada Tagana
Ada Tagana dengan sistem peringatan dini yang sederhana
b. Tanggung jawab
Pemerintah Desa
Tidak ada Tagana Aktif melaporkan setiap perubahan
lingkungan dan dampaknya, menyalurkan bantuan
Sumber : Hasil Analisis Data Primer, Tahun2012
Hal mendasar yang berubah akibat kerusakan lahan adalah menyusutnya sumber
penghidupan masyarakat
Sirnagalih yang
sebagian besar
bermatapencaharian sebagai petani. Mengacu pada Cutural Ecology Steward, maka perubahan adaptasi akan bermula pada penerapan teknologi oleh suatu
komunitas. Kondisi lingkungan saat ini „memaksa’ para petani di Sirnagalih untuk
melakukan perubahan teknologi internal yakni berubahnya teknik, pola tanam, jenis tanaman serta alih fungsi lahan. Adopsi bantuan eksternal juga dianggap
sebagai teknologi yang pemanfaatannya membawa pengaruh signifikan bagi kehidupan sosial-budaya masyarakat di Sirnagalih. Perubahan internal dan
eksternal tersebut pada akhirnya mengantarkan berbagai perubahan pada aspek inti lainnya populasi, kelembagaan ekonomi hingga organisasi sosial-
politik. Bentuk adaptasi sosio-ekologi pada pada Kampung Sirnagalih merupakan
bentuk pilihan bagi masyarakat untuk bertahan hidup dengan asumsi bahwa pilihan-pilihan tersebut adalah yang terbaik karena dianggap mampu
memberikan „kenyamanan’ untuk saat ini. Mengacu pada Bell, dkk. maka makna kenyamanan yang dimaksud adalah berada pada tahap homeo statis dimana
para warga masih dapat mentolerir perubahan di lingkungan mereka dalam batas-batas yang dianggap wajar.
Pada perjalanan proses perubahan dalam bentuk adaptasi, juga terlihat seperti apa peran para pihak yang berada di luar Kampung Sirnagalih. Persoalan
kebencanaan seyogyanya menjadi tanggungjawab bersama agar masyarakat Sirnagalih mampu bangkit menata dan membangun kembali sendi-sendi
kehidupan mereka, khususnya dalam hal peningkatan kapasitas dan ketahanan sosial. Disayangkan, peran para pihak masih minim dan belum menyentuh
kebutuhan utama para korban. Terkesan bahwa penanggulangan bencana hanya menjadi beban dan tanggungjawab masyarakat Sirnagalih semata.
BAB VIII KELEMBAGAAN LOKAL KOMUNITAS RAWAN LONGSOR
Fenomena pergerakan tanah longsor di Kampung Sirnagalih telah digambarkan berdasarkan realitasnya, penyebab, dampak-pengaruh serta upaya
penanggulangan yang dilakukan Bab 5. Peristiwa longsor telah merubah pemahaman dan pemaknaan warga terhadap lingkungan sehingga berdampak
pada perubahan cara pandang persepsi dan pada akhirnya melahirkan bentuk- bentuk adaptasi sosio-ekologi.
Beberapa pemahaman dan pemaknaan yang merubah persepsi warga terhadap lingkungan adalah pertama, longsor dimaknai sebagai peristiwa
terjadinya tanah retak yang menimbulkan kerusakan di rumah dan di lahan garapan, sehingga membahayakan nyawa dan juga mengancam mata
pencaharian warga sebagai petani. Kedua, pemahaman warga tentang adaptasi sosio-ekologi sebagai strategi
bertahan hidup. Secara sosio-ekologis, masyarakat bertahan hidup dengan berbagai cara, mulai dari mengikuti kebijakan Pemerintah yakni pindah ke tempat
pengungsian dan merubah pola interaksi dengan berbagi peran-peran sosial, hingga melakukan perubahan perlakuan pada lahan garapan dengan memilih
jenis tanaman dan pola tanam yang sesuai kondisi lahan saat ini. Sebagian bahkan lebih memilih pekerjaan lain yang secara ekologis dianggap aman
karena tidak menambah beban kerusakan lahan di kampung mereka. Pada bab 6 telah mengulas tentang tingginya tingkat pemahaman warga
yang sama dalam memaknai lingkungan tercermin pada keragaman persepsi warga yang cenderung homogen. Tingkat homogenitas persepsi tersebut mampu
melahirkan sikap dan tindakan adaptif. Tindakan adaptif yang terus berulang dan bertahan akan membentuk suatu pola yang mengarah pada tingginya intensitas
dan kesepakatan dalam membangun aturan-aturan hidup berupa norma dan sistem nilai. Pada bab 7, potensi tersebut telah diuraikan secara detail tentang
bentuk-bentuk adaptasi yang telah dilakukan oleh warga Sirnagalih.
8.1. Tata aturan dalam Pengelolaan Property Rights
Pada proses pembentukan pola adaptasi, dibutuhkan kelembagaan lokal berupa pranata atau aturan-aturan, norma dan sistem nilai untuk
mengharmoniskan berbagai perubahan yang terjadi. Munculnya perubahan-