6 Kerangka Pemikiran Kelembagaan Lokal
ekonomi masyarakat setempat, sehingga bentuk-bentuk adaptasi yang lahir pun akan mengarah pada bentuk adaptasi kelompokkomunitas. Salah satu bentuk
adaptasi komunitas yang erat kaitannya dengan peristiwa longsor adalah adaptasi ekologi.
Titik tolak terjadinya sebuah adaptasi ekologi pada suatu kelompok- komunitas diawali dengan penggunaan teknologi pengelolaan SDA. Teknologi
dapat berupa sebuah metode-teknik, alat ataupun bantuan yang dilakukan atau diperoleh oleh komunitas rawan longsor dimana penggunaanya akan
mempengaruhi aspek penting lainnya, yakni populasi, kelembagaan ekonomi dan organisasi sosial-politiknya.
Dalam proses melakukan upaya-upaya penyesuaian terhadap lingkungan rawan longsor maka diperlukan aturan-pranata sebagai faktor pendukung
terbentuknya suatu pola adaptasi. Tata aturan-pranata yang ada merupakan bentuk kelembagaan lokal yang disebut sebagai norma-nilai. Misalnya, dalam
konteks daerah rawan bencana maka petani diharapkan melakukan pengolahan lahan bercocoktanam dengan mengikuti kaidah konservasi tanah diantaranya
memperhatikan kemiringan lahan serta jenis tanaman yang cocok untuk ditanam pada lahan-lahan miring, atau masyarakat dilarang bermukim, membangun
tempat tinggal di lahan-lahan yang rawan longsor. Hal tersebut untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang sustainable sehingga membawa kemaslahatan
bagi petani serta alam-lingkungan untuk jangka waktu yang lebih panjang. Seberapa tinggi tingkatan dari kelembagaan lokal tersebut maka dapat
dilihat dari seberapa besar perubahan prilaku masyarakat setempat terjadi. Apakah hanya sebatas cara, kebiasaan atau telah berubah menjadi sebuah tata
kelakuan dan pada akhirnya menjadi sebuah adat istiadat. Cara, kebiasaan, tata- prilaku dan adat istiadat merupakan bentuk dan wujud dari keberadaan sebuah
kelembagaan lokal. Dari bentuk kelembagaan lokal tersebut akan memperlihatkan sejauhmana
efektifitas peran kelembagaan lokal dalam upaya penanggulangan bencana longsor maka ada 3 hal yang akan diamati yakni representasi aturan, property
rights dan batas yurisdiksi. Melalui kesepakatan-kesepakatan yang tidak tertulis, komunitas rawan longsor menciptakan aturan atau norma-nilai lokal
representasi yang mengatur tentang property rights pembagian hak dan akses dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya serta batas yurisdiksi batas
kekuasaan dan wewenang dalam mengatur-mengelola sumberdaya. Semakin jelas keberadaan dari ke-tiga unsur tersebut maka semakin efekif pelaksanaan
fungsi kelembagaan. Fungsi kelembagaan yang dirasakan membawa kebaikan akan berpotensi
membentuk suatu pola adaptasi baik sosio maupun ekologi, karena akan menjadi acuan-pedoman dalam membangun hubungan sosial antara sesama
manusia dan alam. Pada komunitas rawan longsor, munculnya kelembagaan lokal berdasarkan fungsinya akan mengarah pada fungsi ekonomi karena potensi
lahan dan sumberdaya lainnya lebih dimanfaatkan sebagai sumber nafkah dan penghidupan.
Gambar 3 Kerangka Pemikiran “Kelembagaan Lokal: Bentuk Adaptasi Sosio- Ekologi Daerah Rawan Longsor”
Kerangka pemikiran tersebut dibangun dengan menggunakan 3 teori- konsep yang dianggap oleh Peneliti saling berhubungan dan saling mendukung
satu sama lainnya. Ke-3 teori yang dimaksud adalah teori Persepsi terhadap Lingkungan Bell, et al. yang didukung oleh teori Persepsi Diri self efficacy,
teori Ekologi Budaya Julian Steward serta teori Kelembagaan Lokal Uphoff yang didukung oleh teori kelembagaan lainnya Schmid.
Persepsi Lingkungan Bencana Longsor
Adaptasi Adjusment Di luar batas optimal
Persepsi Diri
Kelembagaan Lokal Norma-Nilai2 Kearifan
Batas Yurisdiksi Property
Aturan- Representasi
Populasi Teknologi Pengelolaan SDA
Pola Adaptasi Ekologi
Kelembagaan Ekonomi
Organisasi Sosial-Politik
BAB III METODE PENELITIAN