Adopsi Bantuan Local Institution: A Form of Socio-Ecological Adaptation in Landslide-Prone Areas (A Case of Landslide-Prone Community in Sukaraksa Village, Bogor Regency, West Java Province).

Meninggalkan rumah untuk memilih hidup di Huntara memerlukan pengorbanan yang cukup besar. Kehidupan yang serba terbatas di Huntara, mulai dari minimnya air bersih, listrik, jarak yang jauh, bangunan yang kurang layak membuat mereka harus menjalani pilihan tersebut dengan pertimbangan masih lebih aman dibandingkan harus kembali ke rumah. Penyebaran penduduk meskipun saat ini masih bersifat temporer dimana warga kampung 68 persen 160 jiwa berada di Huntara, namun dapat dipastikan bahwa faktor kedekatan dengan lahan garapan tidak lagi menjadi faktor utama. Warga lebih memilih faktor keamanan demi keselamatan jiwa sebagai alasan utama untuk memilih tempat tinggal baru meskipun di sisi lain beberapa warga yang bekerja sebagai petani masih berharap agar keberadaan lahan garapan tetap mudah dijangkau. Harapan warga berjalan seiring dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yakni merelokasi korban longsor ke tempat yang lebih aman dan layak untuk dijadikan tempat tinggal sementara. Pemerintah membangun hunian sementara di atas lahan yang telah direkomendasikan oleh Dinas ESDM Kab. Bogor sebagai lahan yang aman dan layak berdasarkan kondisi geologi.

b. Pola Interaksi dan Gaya Hidup

Pola pemukiman yang kini lebih mengutamakan faktor keamanan dan kelayakan lahan, sehingga terkonsentrasi pada satu titik berdampak pada perubahan pola hidup yakni; 1 aksesibilitas terhadap beberapa sektor publik seperti sekolah, pasar, kantor desa, posyandu-balai kesehatan dan tempat- tempat umum lainnya. Jarak antara pemukiman warga yang baru Huntara dengan sarana publik tersebut menjadi lebih jauh dengan medan yang lebih berat. Warga yang terbiasa berjalan kaki untuk mencapai jalan utama desa mengeluhkan jarak dengan kondisi jalan yang cukup terjal. Anak-anak yang masih sekolah pun mengeluh dan sering memilih jalan alternatif dengan melewati kebun milik warga meskipun kondisi jalan cukup membahayakan terlebih ketika jalan menjadi licin karena hujan. 2 Selain persoalan aksesibilitas yang semakin jauh, dampak lain dari terkonsentrasinya warga di Huntara adalah perubahan pola interaksi antar sesama tetangga yang kini senasib dan harus tinggal bersama. Pola interaksi tersebut berdampak pada perubahan sikap dan perilaku. Misalnya, perubahan sikap dalam hal berbagi fasilitas umum seperti kamar mandi. Warga dilatih untuk memiliki sifat toleransi yang lebih tinggi. Warga juga belajar cara menghemat penggunaan air dan listrik. Sikap disiplin pada diri anak-anak yang sedang bersekolah juga terlihat. Setiap pukul 4 dinihari anak-anak sudah harus bangun dan antri untuk mandi. Selain berbagi fasilitas umum, warga juga belajar untuk melatih diri berbagi ketenangan dan kenyamanan. Sebagian warga yang terbiasa dengan suara musik keras dan menggangu ketenangan „dipaksa’ untuk mau menghargai hak orang lain. Persoalan kebersihan juga menjadi kebutuhan umum sehingga beberapa warga muncul sebagai „sukarelawan’ yang secara rutin membersihkan fasilitas umum seperti kamar mandi atau membakar sampah milik warga. Peran-peran sosial yang didalamnya terdapat hak dan kewajiban muncul tanpa disadari, meskipun dinamika kehidupan sosial di Huntara tidaklah berjalan mulus. Ada saja warga yang belum bisa menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Tidak tanggap dengan keberadaan hak dan kewajibannya sebagai sesama penghuni Huntara. Tanpa disadari sanksi sosial seperti teguran hingga menjadi bahan gunjingan terjadi. Proses tersebut masih dan akan terus berjalan hingga batas waktu yang belum diketahui. 3 Dampak lainnya adalah beberapa kebutuhan warga menjadi berubah akibat perubahan fisik tempat tinggal. Diantaranya adalah pembelian listrik dengan menggunakan voucher elektrik. Di tempat tinggal sebelumnya warga masih menggunakan listrik secara manual meteran. Di Huntara, listrik disediakan melalui penggunaan voucher elektrik. Perubahan tersebut berdampak pada perubahan konsumsi terhadap listrik. Warga menggunakan listrik secara hemat karena „terpaksa’, akibat kesulitan memperoleh voucher. Beberapa tindakan penghematan lainnya juga terlihat dari penggunaan alat-alat listrik. Banyak peralatan listrik yang tadinya digunakan sehari-hari kini dibatasi penggunaannya bahkan sebagian warga mamilih untuk tidak lagi menggunakan. Peralatan listrik yang paling banyak digunakan oleh warga adalah lampu dan alat masak „rice cooker’ namun manfaat dari rice cooker hanya digunakan untuk memasak nasi sedangkan fungsi untuk menghangatkan tidak digunakan. Beberapa warga juga ada yang menggunakan TV namun pemakaiannya dibatasi. TV lebih dimanfaatkan oleh anak-anak sebagai alat hiburan. Para orangtua memilih untuk membatasi jam nontonnya. Bahkan sebagian warga memilih untuk tidak menggunakan TV meskpun alat penunjang seperti antena parabola telah mereka miliki. Sebagian lagi membatasi alat hiburannya dengan cukup mendengarkan musik dari pemutar CD. Hanya 2 warga yang menggunakan kulkas dengan alasan untuk menjual minuman dingin. Tidak sedikit warga yang pada akhirnya memilih tidak menggunakan peralatan listrik demi melakukan penghematan. Selain persoalan listrik, perubahan lainnya yang terjadi akibat perubahan fisik tempat tinggal Huntara yang berbahan baku dari kayu dan anyaman bambu, adalah perubahan cara memasak. Awalnya semua warga menggunakan tungku dan kayu bakar sebagai media untuk memasak. Kini sebagian warga mulai beralih menggunakan kompor gas dan rice cooker. Warga khawatir jika menggunakan kayu bakar akan membahayakan tempat tinggal mereka. Selain itu, asap pembakarannya pun cukup mengganggu. Meskipun sebagian warga masih ada yang tetap memasak menggunakan kayu bakar dengan dalih tidak pandai menggunakan kompor gas maupun rice cooker namun mereka menjadi lebih bersikap waspada dan berhati-hati. Warga tidak berani meninggalkan tungku jika sedang memasak dan memastikan bara api benar-benar padam ketika selesai memasak. 4 Akibat distribusi penduduk yang tidak menyebar terkonsentrasi pada satu tempat juga mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya air menjadi tidak seimbang. Banyaknya warga 160 jiwa yang hidup di Huntara menyebabkan kebutuhan terhadap air bersih meningkat. Fasilitas penyediaan air berupa air sumur yang dialirkan menggunakan mesin tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar warga Gambar 25, Kanan. Air bersih pun menjadi barang mahal. Kondisi tersebut menyebabkan warga harus mencari sumber air lainnya yang mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk minum, masak, mencuci dan mandi. Kebutuhan air untuk dikonsumsi langsung masih dipenuhi dari air bersih yang dialirkan ke Huntara, sedangkan untuk kebutuhan membersihkan seperti mandi dan mencuci terpaksa dipenuhi dengan cara memanfaatkan air dari persawahan. Jauhnya jarak antara Huntara dan sumber mata air lainnya yang masih bersih dan layak untuk dikonsumsi membuat warga lebih memilih untuk memanfaatkan air persawahan yang jaraknya lebih dekat.