6
Tabel 3. Komposisi kimia jahe segar per 100 gram berat basah dan jahe kering per 100 gram berat kering
Komponen Jumlah
Jahe segar Jahe kering
Energi kJ 184.0
1,424.0 Protein g
1.5 9.1
Lemak g 1.0
6.0 Karbohidrat g
10.1 70.8
Kalsium mg 21
116 Phospor mg
39 148
Besi mg 4.3
12 Vitamin A SI
30 147
Thiamin mg 0.02
- Niasin mg
0.8 5
Vitamin C mg 4
- Serat kasar g
7.53 5.9
Total abu g 3.70
4.8 Magnesium mg
- 184
Natrium mg 6.0
32 Kalium mg
57.0 1,342
Seng mg -
5
Sumber: Depkes RI 1979; Farrel 1985; Watt dan Annabel 1975 dalam Koswara 1995
C. PENGERINGAN JAHE
Menurut Paimin dan Murhananto 2007, jahe kering dapat dibedakan berdasarkan cara pengupasannya, yaitu tanpa dikuliti, setengah dikuliti, dan dikuliti seluruhnya. Pembuatan jahe kering
tanpa dikuliti merupakan yang paling sederhana. Sesudah jahe dibersihkan langsung dilakukan pengirisan. Suhu yang digunakan untuk proses pengeringan diatur sesuai kebutuhannya nanti. Jika
akan digunakan sebagai rempah, dianjurkan suhu sebesar 57
o
C. Jika akan digunakan untuk pengambilan atau penyulingan minyak atsiri dan oleoresin, suhu untuk pengeringannya sekitar 81
o
C. Kadar air dari jahe kering ini berkisar 10–12. Untuk jahe setengah dikuliti, hanya permukaan
datarnya saja yang dilakukan pengupasan. Jahe kemudian diiris sesuai dengan kebutuhan dan dididihkan selama 15 menit lalu direndam dalam air selama kurang lebih semalam. Jahe ini sering
disebut jahe kasar. Sedangkan untuk proses jahe yang dikuliti seluruhnya tidak jauh berbeda dengan pembuatan jahe yang dikuliti sebagian, hanya saja jahe ini dikupas seluruhnya sehingga daging
rimpang jahe yang berwarna putih kekuningan terlihat. Pengeringan jahe dapat dilakukan pada suhu 48.5–81.0
o
C. Pada umumnya pengeringan dilakukan dibawah suhu 57
o
C, sedangkan untuk tujuan ekstraksi dapat dilakukan sampai suhu 81
o
C Purseglove et al. 1981. Penelitian yang telah dilakukan oleh Hanapie 1988 mengenai pengeringan
jahe dengan menggunakan pengering kabinet dan dengan sumber panas listrik pada suhu pengeringan 70
o
C memberikan hasil sebagai berikut: lama pengeringan 13.5 jam, kadar air akhir 8.25 basis basah
7
dan efisiensi pengeringan sebesar 61.43. Penelitian yang dilakukan oleh Sinaga 1988 dengan menggunakan pengering tipe sumur dan dengan menggunakan bahan bakar biomassa kayu pada suhu
pengeringan 67.9
o
C memberikan hasil sebagai berikut: lama pengeringan 12.0 jam, kadar air akhir 9.55 basis basah dan efisiensi pengeringan sebesar 3.97. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Rokhani 1989 dengan menggunakan pengering tipe rak dan berbahan bakar minyak tanah pada suhu pengeringan 72.3
o
C memberikan hasil sebagai berikut: lama pengeringan 22 jam, kadar air akhir 8.84 basis basah dan efisiensi pengeringan sebesar 27.23.
Menurut penelitian Rusli 1986 diacu dalam Rochman 1996, jahe dikeringkan dalam bentuk irisan yang dilakukan secara slices atau splits. Pada pengirisan secara slices, jahe dipotong melintang
setebal 3–4 mm, sedangkan secara splits jahe dibelah dua sejajar dengan arah serat. Maksud pemotongan splits adalah mempercepat pengeringan serta mengurangi kehilangan minyak atsiri selama
pengeringan dan penyimpanan. Berdasarkan penelitian Rusli dan Rahmawan 1988 diacu dalam Rochman 1996, diketahui bahwa pengeringan dengan menggunakan oven dengan suhu pengeringan
60
o
C akan lebih cepat dibandingkan dengan penjemuran dan alat pengering energi surya. Sedangkan irisan jahe secara slices lebih cepat kering bila dibandingkan dengan irisan secara splits. Sementara itu,
penelitian yang dilakukan Hanapie 1988 diketahui bahwa jahe slices irisan tebal 4–6 mm menghasilkan mutu yang lebih baik dibandingkan jahe slices irisan tipis 2–3 mm. Berikut adalah sifat
kimia dan fisik dari jahe kering, seperti yang tertera pada Tabel 4. Menurut Ketaren 1985, sebelum dilakukan proses pengeringan, di beberapa negara produsen
jahe dicelup ke dalam larutan kapur 10 selama 3 menit pada suhu 100
o
C dan jahe yang dihasilkan berwarna pucat dan agak putih. Penelitian yang dilakukan oleh Rokhani 1989 menyimpulkan bahwa
pemberian konsentrasi kapur yang digunakan untuk perendaman sebaiknya tidak lebih dari 5 agar memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Yuliani
dan Risfaheri 1990 menyimpulkan bahwa pemberian larutan kapur dengan konsentrasi 7 terhadap jahe emprit masih memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Perendaman jahe dalam larutan kapur
sebelum pengeringan memperbaiki penampakan yang ditunjukkan dengan warna rimpang jahe kering yang putih dan meningkatkan daya tahan jahe yang dihasilkan. Tetapi perendaman tersebut cenderung
menurunkan kadar minyak atsiri dan meningkatkan kadar abu dari jahe kering. Sedangkan menurut Ketaren 1985, pencelupan bertujuan antara lain untuk mematikan enzim di dalam rimpang sehingga
aktivitas metabolisme akan terhambat, menghilangkan bau mentah, mengurangi waktu pengeringan, terjadi gelatinisasi pati sehingga diperoleh hasil akhir yang keras dan memberikan warna yang lebih
baik dan merata. Jahe kering simplisia jahe banyak digunakan oleh industri obat tradisional seperti jamu atau diolah lebih lanjut menjadi produk antara seperti bubuk jahe, minyak jahe, oleoresin dan
mikrokapsul Yuliani dan Intan 2009.
D. MINYAK ATSIRI
Minyak atsiri adalah salah satu kandungan tanaman yang sering disebut “minyak terbang”. Minyak atsiri dinamakan demikian karena minyak tersebut mudah menguap. Selain itu, minyak atsiri
juga disebut essential oil dari kata essence karena minyak tersebut memberikan bau pada Tanaman asalnya. Minyak atsiri itu berupa cairan jernih, tidak berwarna, tetapi selama penyimpanan akan
mengental dan berwarna kekuningan atau kecoklatan. Hal tersebut terjadi karena adanya pengaruh oksidasi dan resinifikasi berubah menjadi damar dan resin. Untuk mencegah atau memperlambat
proses oksidasi dan resinifikasi tersebut, minyak atsiri harus dilindungi dari pengaruh sinar matahari yang dapat merangsang terjadinya proses oksidasi dan oksigen udara yang dapat mengoksidasi
minyak atsiri Koensoemardiyah 2010.