52
1. Mutu jahe kering
Terdapat empat macam perlakuan awal yang berbeda terhadap jahe yang dikeringkan yaitu perlakuan pencelupan ke dalam larutan kapur 2, perlakuan pencelupan ke dalam larutan kapur
4, dan perlakuan pencelupan ke dalam larutan kapur 6. Sebagai kontrol dilakukan pula proses pengeringan jahe tanpa adanya perlakuan awal pencelupan ke dalam larutan kapur. Proses
pencelupan dilakukan selama 4.5 menit pada suhu 60
o
C. Pengaruh konsentrasi kapur terhadap mutu jahe kering yang dihasilkan tersaji pada Tabel 15.
Tabel 15. Pengaruh perlakuan pencelupan terhadap mutu jahe kering
Perlakuan Komponen mutu
Kadar air bb Kadar abu Kadar minyak atsiri ml100 g
Tanpa pencelupan larutan kapur 9.15± 0.61
a
9.79 ± 0.60
b
2.29 Pencelupan larutan kapur 2
10.91± 1.03
a
10.11 ± 0.86
b
2.18 Pencelupan larutan kapur 4
10.09± 1.28
a
11.66 ± 0.12
a
2.40 Pencelupan larutan kapur 6
10.03± 0.80
a
12.51 ± 0.39
a
2.30 Berdasarkan hasil analisis mutu, diketahui bahwa kadar air rata-rata dari jahe kering yang
dihasilkan adalah sebesar 10.05 bb. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan pencelupan larutan kapur 2 yaitu sebesar 10.91 bb dan kadar air terendah terdapat pada perlakuan tanpa
pencelupan larutan kapur yaitu sebesar 9.15 bb. Kadar air rata-rata pada setiap perlakuan yang dihasilkan dengan menggunakan metode
oven juga menunjukkan kesesuaian dengan kadar air yang diprediksi dengan menggunakan perhitungan, yaitu sekitar 10 bb. Kadar air ±10 bb merupakan batas kadar air yang terbaik
karena pada tingkat kadar air tersebut kemungkinan bahan cukup aman terhadap pencemaran, baik yang disebabkan oleh jamur, bakteri dan serangga Yuliani dan Intan 2009. Dapat disimpulkan
pula bahwa nilai kadar air jahe kering yang diperoleh dari hasil pengeringan dengan alat pengering ini cukup baik karena masih berada di bawah standar maksimum yang ditetapkan SNI
01–3393– 1994
, yaitu sebesar 12 bb. Berdasarkan analisis sidik ragam pengaruh perlakuan pencelupan terhadap kadar air
Lampiran 20, karena p–value 0.2533 alpha 0.05 maka H0 dapat diterima, yang menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan pencelupan tidak memberikan pengaruh yang berbeda
secara signifikan terhadap kadar air yang dihasilkan. Pada Tabel 13 dapat diamati bahwa perlakuan yang diikuti dengan huruf yang sama tidak memberikan pengaruh yang berbeda secara
nyata terhadap kadar air pada DMRT 5. Kadar abu rata-rata dari jahe kering yang dihasilkan adalah sebesar 11.02, dimana kadar
abu tertinggi terdapat pada perlakuan pencelupan larutan kapur 6 yaitu sebesar 12.51 dan kadar abu terendah terdapat pada perlakuan tanpa pencelupan larutan kapur yaitu sebesar 9.79.
Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan pencelupan terhadap kadar abu Lampiran 21 menunjukkan bahwa nilai p–value 0.0030 alpha 0.05 maka H0 ditolak, yang berarti
perbedaan perlakuan pencelupan memberikan pengaruh yang berbeda secara signifikan terhadap kadar abu yang dihasilkan. Berdasarkan uji lanjut Duncan ditunjukkan bahwa jahe kering yang
memiliki kadar abu tertinggi adalah hasil dari perlakuan pencelupan larutan kapur 6. Pada Tabel 13 dapat diamati bahwa perlakuan yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
terhadap kadar abu pada DMRT 5, sedangkan perlakuan yang tidak diikuti dengan huruf yang sama akan memberikan hasil kadar abu yang berbeda nyata terhadap perlakuan yang diberikan.
53
Terlihat bahwa apabila kadar abu dari jahe kering yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan dibandingkan dengan standar kadar abu dari SNI
01–3393–1994
, maka seluruhnya berada pada batas atas dari standar maksimum yang ditetapkan, yaitu sebesar 8. Namun apabila
dibandingkan dengan standar mutu Inggris BS No. 4593 tahun 1970 yaitu maksimum sebesar 12, maka hanya kadar abu yang dihasilkan dari jahe kering dengan perlakuan pencelupan larutan
kapur 6 yang berada pada batas atas dari standar tersebut. Sehingga dapat diketahui bahwa pemberian konsentrasi kapur sebesar 6 sudah tidak memenuhi standar mutu untuk jahe kering
yang dihasilkan. Meskipun terjadi penurunan mutu pada kadar abu akibat penambahan konsentrasi kapur
yang diberikan, namun perlakuan pencelupan dengan larutan kapur memberikan daya tarik berupa penampakan jahe kering yang lebih cerah akibat meningkatnya derajat keputihan dari jahe kering
tersebut. Selain itu, pemberian larutan kapur pada jahe akan menyebabkan jahe memiliki masa simpan yang lebih lama, sebab jahe akan menjadi lebih tahan terhadap serangan jamur maupun
serangga Yuliani dan Intan 2009. Contoh irisan rimpang jahe hasil pengeringan dapat dilihat pada Gambar 42.
Analisis kadar minyak atsiri yang dihasilkan oleh jahe kering pada masing-masing perlakuan tidak dilakukan dengan menggunakan analisis sidik ragam. Hal ini dikarenakan
rendahnya kapasitas alat pengering sehingga jahe kering yang dihasilkan pada setiap ulangan tidak mencukupi untuk dilakukan pengujian kadar minyak atsiri, akibatnya pengujian kadar minyak
atsiri dilakukan dengan menggunakan jahe kering hasil penggabungan dari ketiga ulangan pada setiap perlakuan, sehingga hanya dihasilkan satu data kadar minyak atsiri pada setiap perlakuan.
Dari data tersebut terlihat bahwa penambahan konsentrasi kapur tidak memberikan pengaruh terhadap kadar minyak atsiri yang dihasilkan. Terlihat bahwa kadar minyak atsiri yang dihasilkan
oleh jahe kering pada masing-masing perlakuan masih berada pada batas atas dari standar minimum yang ditetapkan oleh SNI
01–3393–1994
yaitu sebesar 1.5 ml100 gram. Minyak atsiri pada rimpang jahe dapat diperoleh dengan proses destilasi uap-air, baik pada
kondisi rimpang segara basah ataupun kering. Namun demikian pada kondisi kering diperoleh rendemen yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kondisi basah, hal ini disebabkan karena
proses pengeringan menyebabkan membran sel berangsur-angsur pecah, cairan sel bebas melakukan penetrasi dari satu sel ke sel lain sehingga membentuk senyawa-senyawa yang mudah
menguap Wulandari 2009. Penelitian yang dilakukan oleh Hanapie 1988 menunjukkan bahwa pengeringan jahe dengan irisan tebal 4–6 mm menghasilkan jahe kering dengan nilai kadar
minyak atsiri yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pengeringan jahe irisan tipis 2–3 mm, karena pada irisan tipis banyak kulit yang terkelupas kemudian terbuang selama proses pengirisan
sampai pengeringan dan penguapan bahan-bahan yang terkandung di dalam jahe lebih mudah terjadi. Lapisan kulit jahe yang bersifat sangat tipis ini merupakan lapisan epidermis yang banyak
mengandung minyak atsiri. Selain dari standar kadar air, kadar abu serta kadar minyak atsiri dari jahe kering yang
dihasilkan, tingkat kebersihan dari jahe kering yang dihasilkan oleh alat pengering juga cukup baik, dimana tidak ditemui adanya benda asing ataupun pengotor yang ada pada jahe kering.
54
Gambar 42. Irisan rimpang jahe hasil pengeringan
2. Perubahan derajat keputihan jahe