2
Alat pengering yang akan digunakan untuk mengeringkan jahe pada penelitian ini adalah Sunbeam Food Dehydrator tipe DT5600. Alat pengering ini memanfaatkan sirkulasi aliran udara
panas yang disirkulasikan oleh fan yang berada pada bagian atas dari alat pengering dengan menggunakan energi listrik. Sunbeam Food Dehydrator tipe DT5600 merupakan alat pengering yang
ada di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian TPPHP, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian. Karena belum adanya data mengenai performansi
dari alat pengering tersebut untuk pengeringan jahe, maka diperlukan suatu pengujian performansi, dimana komoditas yang akan dikeringkan adalah jahe dalam bentuk jahe irisan. Pengujian performansi
dari alat pengering Sunbeam Food Dehydrator tipe DT5600 untuk mengeringkan rimpang jahe irisan dilakukan untuk mengetahui performansi dari alat pengering ini dalam proses pengeringan jahe serta
untuk mengetahui kualitas jahe kering yang dihasilkan dari alat pengering tersebut, dengan terlebih dahulu memberikan perlakuan terhadap irisan jahe yang akan dikeringkan, yaitu perlakuan pencelupan
ke dalam larutan kapur dengan konsentrasi sebesar 2, 4, dan 6, selain itu sebagai kontrol dilakukan pula proses pengeringan tanpa perlakuan awal pencelupan ke dalam larutan kapur. Salah
satu parameter pengeringan yang mempengaruhi mutu dari jahe kering yang dihasilkan oleh suatu alat pengering adalah pola sebaran suhu pengeringan yang merata di dalam alat pengering. Oleh karena itu
perlu dipelajari juga pola sebaran suhu pengeringan yang ada di dalam alat tersebut dengan menggunakan metode Computational Fluid Dynamics CFD.
B. TUJUAN
Penelitian ini bertujuan: 1.
Melakukan uji performansi alat pengering tipe rak untuk pengeringan jahe. 2.
Mempelajari pola sebaran suhu pengeringan pada alat pengering tipe rak dengan menggunakan metode Computational Fluid Dynamics CFD.
3. Mempelajari pengaruh perlakuan awal pada jahe terhadap mutu jahe kering yang dihasilkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BOTANI JAHE
Berdasarkan taksonomi, jahe Zingiber officinale Rosc. termasuk dalam divisi Spermatophyta, Bagian subdivisi Angiosperma, kelas Monocotyledoneae, ordo Zingiberales, dan famili Zingiberaceae,
serta genus Zingiber. India dan Cina termasuk negara pemanfaat jahe sejak bertahun-tahun silam. Oleh karenanya, India diduga sebagai negara tempat jahe berasal. Nama botani Zingiber berasal dari bahasa
Sansakerta: Singaberi, dari bahasa Arab: Zanzabil, dan dari bahasa Yunani: Zingiberi. Tanaman ini merupakan tanaman terna tahunan dengan batang semu yang tumbuh tegak. Tingginya berkisar 0.3–
0.75 meter dengan akar rimpang yang bisa bertahan lama di dalam tanah. Akar rimpang itu mampu mengeluarkan tunas baru untuk menggantikan daun dan batang yang sudah mati Paimin dan
Murhananto 2007.
Gambar 1. Tanaman jahe Gambar 2. Rimpang jahe
Wikipedia 2012 Wikipedia 2012
Menurut Paimin dan Murhananto 2007, tanaman jahe terdiri dari atas beberapa bagian, diantaranya adalah akar, batang, daun, dan bunga. Berikut ini akan diuraikan satu per satu bagian-
bagian tersebut.
1. Akar,
merupakan bagian terpenting dari tanaman jahe. Pada bagian ini tumbuh tunas-tunas baru yang kelak akan menjadi tanaman. Akar tunggal rimpang ini tertanam kuat di dalam tanah dan
makin membesar dengan pertambahan usia serta membentuk rhizoma-rhizoma baru. Rimpang jahe memiliki aroma khas, bila dipotong berwarna putih, kuning, atau jingga. Sementara bagian
luarnya berwarna kuning kotor, atau bila agak tua menjadi agak cokelat keabuan. Bagian dalam rimpang jahe umumnya memiliki dua warna yaitu bagian tengah hati berwarna ketuaan dan
bagian tepi berwarna agak muda. 2.
Batang, merupakan batang semu yang tumbuh tegak lurus. Batang itu sendiri terdiri dari
seludang-seludang daun tanaman dan pelepah-pelepah daun yang menutupi daun. Bagian luar batang agak licin dan sedikit mengkilap berwarna hijau tua. Umumnya batang dihiasi titik-titik
berwarna putih. Batang ini umumnya basah dan banyak mengandung air sehingga jahe
tergolong tanaman herba.
4
3. Daun,
berbentuk agak lonjong dan lancip menyerupai daun rumput yang besar. Daun itu sebelah-menyebelah berselingan dengan tulang daun sejajar sebagaimana tanaman monokotil
lainnya. Daun bagian atas lebar dengan ujung agak lancip, bertangkai pendek, berwarna hijau muda, dan berbulu halus. Panjang daun sekitar 5–25 cm dengan lebar 0.8–2.5 cm. Tangkainya
berbulu atau gundul dengan panjang 5–25 cm dan lebar 1–3 cm. Ujung daun agak tumpul dengan panjang lidah 0.3–0.6 cm. Bila daun mati, pangkal tangkai akan tetap hidup di dalam
tanah, lalu bertunas dan tumbuh akar rimpang baru. 4.
Bunga, berupa bulir yang berbentuk kincir, tidak berbulu, dengan panjang 5–7 cm dan bergaris
tengah 2–2.5 cm. Bulir itu menempel pada tangkai bulir yang keluar dari akar rimpang dengan panjang 15–25 cm. Tangkai bulir dikelilingi oleh daun pelindung yang berbentuk bulat lonjong,
berujung runcing, dengan tepi berwarna merah, ungu, atau hijau kekuningan. Bunga terletak di ketiak daun pelindung dengan beberapa bentuk, yakni panjang, bulat telur, lonjong, runcing, dan
tumpul. Panjangnya berkisar 2–2.5 cm dan lebar 1–1.5 cm.
Daun bunga berbentuk tabung memiliki gigi kansil yang tumpul dengan panjang 1–1.2 cm. Daun mahkota bagian bawah berbentuk tabung yang terdiri dari tiga bibir dengan bentuk pisau lipat
panjang secara runcing yang berwarna kuning kehijauan. Daun kelopak dan daun bunga masing- masing tiga buah yang sebagian bertautan. Pada bunga jahe, benang sari yang dapat dibuahi hanya satu
buah, sedangkan sebuah benang sari yang lain telah berubah bentuk menjadi daun. Staminiod- staminiodnya membentuk tajuk mahkota beruang tiga dengan bibir berbentuk bulat telur berwarna
hitam belang. Menurut Syukur dan Herniani 2002, jahe terutama dibudidayakan di daerah tropika dengan
ketinggian tempat antara 0–1,700 m dpl, dan yang terbanyak berada pada ketinggian menengah, yaitu antara 350–600 m dpl. Di Indonesia, pertanaman jahe yang baik umumnya berada pada daerah yang
memiliki curah hujan antara 2,500–4,000 mm dalam setahun. Secara umum, lokasi yang baik untuk pertanaman jahe terletak pada daerah-daerah yang memiliki curah hujan hampir sepanjang tahun
sehingga waktu tanam dapat dilakukan sepanjang tahun. Tanah yang banyak mengandung humus, subur, dan gembur dengan drainase yang baik merupakan lahan yang disukai jahe. Tanaman ini dapat
ditanam di berbagai tipe tanah, tetapi akan lebih baik pada jenis latosol dan andosol. Sedangkan menurut Kartasubrata 2010, temperatur rata-rata tahunan untuk budidaya jahe adalah 25–30
o
C, dengan intensitas cahaya matahari sebesar 70–100, dan pH tanah sebesar 6.8–7.4.
B. PENANGANAN PANEN DAN PASCAPANEN JAHE
Jahe dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan ukuran, bentuk, dan warna rimpangnya. Ketiga jenis itu adalah jahe putihkuning besar, jahe putih kecil, dan jahe merah. Jahe putih kecil biasa disebut
jahe sunti, jahe putih besar sering disebut jahe gajah atau jahe badak Paimin dan Murhananto 2007. Berikut ini adalah penjelasan mengenai perbedaan jahe putih besar, jahe putih kecil, dan jahe merah,
seperti yang tertera pada Tabel 2. Jahe yang dipanen muda, berusia 3–4 bulan, umumnya digunakan untuk konsumsi rumah
tangga, jahe segar, atau jahe awet. Jahe yang dipanen muda umumnya adalah jahe gajah. Jahe yang dipanen tua pada umumnya dipanen setelah berumur 8–12 bulan. Bagi tanaman jahe yang dipanen tua,
ciri siap panen adalah berupa layu atau matinya batang semu. Selain itu, pemanenan juga dapat dilakukan saat daun-daun hijau telah berubah menjadi kuning sebagai tanda berhentinya pertumbuhan
vegetatif Paimin dan Murhananto 2007. Untuk tujuan produksi jahe kering, sebaiknya panen dilakukan pada umur 8–10 bulan. Jika pemanenan terlambat maka akan lebih banyak mengandung
serat kasar, dimana hal ini akan menurunkan harga jual di pasaran Purseglove et al. 1981.
5
Tabel 2. Perbedaan jahe putih besar, jahe putih kecil, dan jahe merah
No. Jahe putih besar
Z. officinale var officimarum Jahe putih kecil
Z. officinale var amarum Jahe merah
Z. officinale var rubrum
1. Mempunyai rimpang besar
berbulu Mempunyai rimpang kecil
berlapis Mempunyai rimpang kecil
berlapis 2.
Berwarna putih kekuningan Berwarna putih kekuningan
Berwarna jingga muda sampai merah
3. Diameter 8.47–8.50 cm
Diameter 3.27–4.05 cm Diameter 4.20–4.26 cm
4. Aroma kurang tajam
Aroma tajam Aroma sangat tajam
5. Tinggi dan panjang rimpang 6.20–
11.30 cm dan 15.83–32.75 cm Tinggi dan panjang rimpang
6.38–11.10 cm Tinggi dan panjang
rimpang 5.26–10.40 cm dan 12.33–12.60 cm
6. Warna daun hijau muda, batang
hijau Warna daun hijau muda,
batang hijau muda Warna daun hijau muda,
batang hijau kemerahan 7.
Kadar minyak atsiri 0.82–2.8 Kadar minyak atsiri 1.50–
3.50 Kadar minyak atsiri 2.58–
3.90
Sumber: Kartasubrata 2010
Menurut Paimin dan Murhananto 2007, panen dapat dilakukan dengan dengan menggunakan cangkul atau garpu. Panen perlu dilakukan secara hati-hati, agar hasil panen tidak lecet atau terpotong.
Rimpang kemudian dibersihkan dari dari kotoran dan tanah yang menempel. Setelah itu, jahe diangkut ke tempat pencucian untuk dilakukan penyemprotan dengan menggunakan air. Jahe tidak boleh
digosok ketika pencucian untuk menghindari lecet. Selanjutnya dilakukan penyortiran sesuai dengan tujuan penggunaan.
Jahe segar dan jahe kering mempunyai komposisi kimia yang berbeda, namun secara umum Koswara 1995 mengatakan rimpang atau rhizoma jahe mengandung beberapa komponen kimia
antara lain: air, pati, minyak atsiri, oleoresin, serat kasar dan abu. Jumlah masing-masing komponen berbeda-beda pada jahe dari berbagai daerah penghasil, yang tergantung pada iklim, curah hujan,
varietas jahe, keadaan tanah dan faktor-faktor lain. Adapun komposisi kimia dari jahe segar dan jahe kering per 100 gram bahan tersaji pada Tabel 3.
Terdapat beberapa istilah yang umumnya digunakan dalam perdagangan jahe yang menggambarkan ragam bentuk fisik dari jahe kering Purseglove et al. 1981, diantaranya:
1. Scraped ginger, yaitu irisan jahe yang dikeringkan sesudah dilakukan pengupasan kulit luarnya
tanpa merusak lapisan dalam dari jaringan rimpangnya. Umumnya dijual dalam bentuk bubuk untuk bumbu.
2. Coated ginger, yaitu jahe yang diiris dan dikeringkan tanpa dilakukan pengupasan kulit terlebih
dahulu, umumnya digunakan sebagai bahan baku minyak atsiri.
3. Bleached ginger, yaitu jahe yang diolah dengan pencelupan ke dalam larutan kapur sebelum
dilakukan pengeringan. Perendaman jahe dalam larutan kapur sebelum dilakukan pengeringan memperbaiki penampakan dan meningkatkan daya tahan jahe kering.
4. Black ginger, yaitu jahe yang diolah dengan mencelupkan ke dalam air mendidih selama 10–15
menit sebelum dikeringkan.
6
Tabel 3. Komposisi kimia jahe segar per 100 gram berat basah dan jahe kering per 100 gram berat kering
Komponen Jumlah
Jahe segar Jahe kering
Energi kJ 184.0
1,424.0 Protein g
1.5 9.1
Lemak g 1.0
6.0 Karbohidrat g
10.1 70.8
Kalsium mg 21
116 Phospor mg
39 148
Besi mg 4.3
12 Vitamin A SI
30 147
Thiamin mg 0.02
- Niasin mg
0.8 5
Vitamin C mg 4
- Serat kasar g
7.53 5.9
Total abu g 3.70
4.8 Magnesium mg
- 184
Natrium mg 6.0
32 Kalium mg
57.0 1,342
Seng mg -
5
Sumber: Depkes RI 1979; Farrel 1985; Watt dan Annabel 1975 dalam Koswara 1995
C. PENGERINGAN JAHE
Menurut Paimin dan Murhananto 2007, jahe kering dapat dibedakan berdasarkan cara pengupasannya, yaitu tanpa dikuliti, setengah dikuliti, dan dikuliti seluruhnya. Pembuatan jahe kering
tanpa dikuliti merupakan yang paling sederhana. Sesudah jahe dibersihkan langsung dilakukan pengirisan. Suhu yang digunakan untuk proses pengeringan diatur sesuai kebutuhannya nanti. Jika
akan digunakan sebagai rempah, dianjurkan suhu sebesar 57
o
C. Jika akan digunakan untuk pengambilan atau penyulingan minyak atsiri dan oleoresin, suhu untuk pengeringannya sekitar 81
o
C. Kadar air dari jahe kering ini berkisar 10–12. Untuk jahe setengah dikuliti, hanya permukaan
datarnya saja yang dilakukan pengupasan. Jahe kemudian diiris sesuai dengan kebutuhan dan dididihkan selama 15 menit lalu direndam dalam air selama kurang lebih semalam. Jahe ini sering
disebut jahe kasar. Sedangkan untuk proses jahe yang dikuliti seluruhnya tidak jauh berbeda dengan pembuatan jahe yang dikuliti sebagian, hanya saja jahe ini dikupas seluruhnya sehingga daging
rimpang jahe yang berwarna putih kekuningan terlihat. Pengeringan jahe dapat dilakukan pada suhu 48.5–81.0
o
C. Pada umumnya pengeringan dilakukan dibawah suhu 57
o
C, sedangkan untuk tujuan ekstraksi dapat dilakukan sampai suhu 81
o
C Purseglove et al. 1981. Penelitian yang telah dilakukan oleh Hanapie 1988 mengenai pengeringan
jahe dengan menggunakan pengering kabinet dan dengan sumber panas listrik pada suhu pengeringan 70
o
C memberikan hasil sebagai berikut: lama pengeringan 13.5 jam, kadar air akhir 8.25 basis basah
7
dan efisiensi pengeringan sebesar 61.43. Penelitian yang dilakukan oleh Sinaga 1988 dengan menggunakan pengering tipe sumur dan dengan menggunakan bahan bakar biomassa kayu pada suhu
pengeringan 67.9
o
C memberikan hasil sebagai berikut: lama pengeringan 12.0 jam, kadar air akhir 9.55 basis basah dan efisiensi pengeringan sebesar 3.97. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Rokhani 1989 dengan menggunakan pengering tipe rak dan berbahan bakar minyak tanah pada suhu pengeringan 72.3
o
C memberikan hasil sebagai berikut: lama pengeringan 22 jam, kadar air akhir 8.84 basis basah dan efisiensi pengeringan sebesar 27.23.
Menurut penelitian Rusli 1986 diacu dalam Rochman 1996, jahe dikeringkan dalam bentuk irisan yang dilakukan secara slices atau splits. Pada pengirisan secara slices, jahe dipotong melintang
setebal 3–4 mm, sedangkan secara splits jahe dibelah dua sejajar dengan arah serat. Maksud pemotongan splits adalah mempercepat pengeringan serta mengurangi kehilangan minyak atsiri selama
pengeringan dan penyimpanan. Berdasarkan penelitian Rusli dan Rahmawan 1988 diacu dalam Rochman 1996, diketahui bahwa pengeringan dengan menggunakan oven dengan suhu pengeringan
60
o
C akan lebih cepat dibandingkan dengan penjemuran dan alat pengering energi surya. Sedangkan irisan jahe secara slices lebih cepat kering bila dibandingkan dengan irisan secara splits. Sementara itu,
penelitian yang dilakukan Hanapie 1988 diketahui bahwa jahe slices irisan tebal 4–6 mm menghasilkan mutu yang lebih baik dibandingkan jahe slices irisan tipis 2–3 mm. Berikut adalah sifat
kimia dan fisik dari jahe kering, seperti yang tertera pada Tabel 4. Menurut Ketaren 1985, sebelum dilakukan proses pengeringan, di beberapa negara produsen
jahe dicelup ke dalam larutan kapur 10 selama 3 menit pada suhu 100
o
C dan jahe yang dihasilkan berwarna pucat dan agak putih. Penelitian yang dilakukan oleh Rokhani 1989 menyimpulkan bahwa
pemberian konsentrasi kapur yang digunakan untuk perendaman sebaiknya tidak lebih dari 5 agar memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Yuliani
dan Risfaheri 1990 menyimpulkan bahwa pemberian larutan kapur dengan konsentrasi 7 terhadap jahe emprit masih memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Perendaman jahe dalam larutan kapur
sebelum pengeringan memperbaiki penampakan yang ditunjukkan dengan warna rimpang jahe kering yang putih dan meningkatkan daya tahan jahe yang dihasilkan. Tetapi perendaman tersebut cenderung
menurunkan kadar minyak atsiri dan meningkatkan kadar abu dari jahe kering. Sedangkan menurut Ketaren 1985, pencelupan bertujuan antara lain untuk mematikan enzim di dalam rimpang sehingga
aktivitas metabolisme akan terhambat, menghilangkan bau mentah, mengurangi waktu pengeringan, terjadi gelatinisasi pati sehingga diperoleh hasil akhir yang keras dan memberikan warna yang lebih
baik dan merata. Jahe kering simplisia jahe banyak digunakan oleh industri obat tradisional seperti jamu atau diolah lebih lanjut menjadi produk antara seperti bubuk jahe, minyak jahe, oleoresin dan
mikrokapsul Yuliani dan Intan 2009.
D. MINYAK ATSIRI