7
dan efisiensi pengeringan sebesar 61.43. Penelitian yang dilakukan oleh Sinaga 1988 dengan menggunakan pengering tipe sumur dan dengan menggunakan bahan bakar biomassa kayu pada suhu
pengeringan 67.9
o
C memberikan hasil sebagai berikut: lama pengeringan 12.0 jam, kadar air akhir 9.55 basis basah dan efisiensi pengeringan sebesar 3.97. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh
Rokhani 1989 dengan menggunakan pengering tipe rak dan berbahan bakar minyak tanah pada suhu pengeringan 72.3
o
C memberikan hasil sebagai berikut: lama pengeringan 22 jam, kadar air akhir 8.84 basis basah dan efisiensi pengeringan sebesar 27.23.
Menurut penelitian Rusli 1986 diacu dalam Rochman 1996, jahe dikeringkan dalam bentuk irisan yang dilakukan secara slices atau splits. Pada pengirisan secara slices, jahe dipotong melintang
setebal 3–4 mm, sedangkan secara splits jahe dibelah dua sejajar dengan arah serat. Maksud pemotongan splits adalah mempercepat pengeringan serta mengurangi kehilangan minyak atsiri selama
pengeringan dan penyimpanan. Berdasarkan penelitian Rusli dan Rahmawan 1988 diacu dalam Rochman 1996, diketahui bahwa pengeringan dengan menggunakan oven dengan suhu pengeringan
60
o
C akan lebih cepat dibandingkan dengan penjemuran dan alat pengering energi surya. Sedangkan irisan jahe secara slices lebih cepat kering bila dibandingkan dengan irisan secara splits. Sementara itu,
penelitian yang dilakukan Hanapie 1988 diketahui bahwa jahe slices irisan tebal 4–6 mm menghasilkan mutu yang lebih baik dibandingkan jahe slices irisan tipis 2–3 mm. Berikut adalah sifat
kimia dan fisik dari jahe kering, seperti yang tertera pada Tabel 4. Menurut Ketaren 1985, sebelum dilakukan proses pengeringan, di beberapa negara produsen
jahe dicelup ke dalam larutan kapur 10 selama 3 menit pada suhu 100
o
C dan jahe yang dihasilkan berwarna pucat dan agak putih. Penelitian yang dilakukan oleh Rokhani 1989 menyimpulkan bahwa
pemberian konsentrasi kapur yang digunakan untuk perendaman sebaiknya tidak lebih dari 5 agar memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Yuliani
dan Risfaheri 1990 menyimpulkan bahwa pemberian larutan kapur dengan konsentrasi 7 terhadap jahe emprit masih memenuhi standar mutu yang ditetapkan. Perendaman jahe dalam larutan kapur
sebelum pengeringan memperbaiki penampakan yang ditunjukkan dengan warna rimpang jahe kering yang putih dan meningkatkan daya tahan jahe yang dihasilkan. Tetapi perendaman tersebut cenderung
menurunkan kadar minyak atsiri dan meningkatkan kadar abu dari jahe kering. Sedangkan menurut Ketaren 1985, pencelupan bertujuan antara lain untuk mematikan enzim di dalam rimpang sehingga
aktivitas metabolisme akan terhambat, menghilangkan bau mentah, mengurangi waktu pengeringan, terjadi gelatinisasi pati sehingga diperoleh hasil akhir yang keras dan memberikan warna yang lebih
baik dan merata. Jahe kering simplisia jahe banyak digunakan oleh industri obat tradisional seperti jamu atau diolah lebih lanjut menjadi produk antara seperti bubuk jahe, minyak jahe, oleoresin dan
mikrokapsul Yuliani dan Intan 2009.
D. MINYAK ATSIRI
Minyak atsiri adalah salah satu kandungan tanaman yang sering disebut “minyak terbang”. Minyak atsiri dinamakan demikian karena minyak tersebut mudah menguap. Selain itu, minyak atsiri
juga disebut essential oil dari kata essence karena minyak tersebut memberikan bau pada Tanaman asalnya. Minyak atsiri itu berupa cairan jernih, tidak berwarna, tetapi selama penyimpanan akan
mengental dan berwarna kekuningan atau kecoklatan. Hal tersebut terjadi karena adanya pengaruh oksidasi dan resinifikasi berubah menjadi damar dan resin. Untuk mencegah atau memperlambat
proses oksidasi dan resinifikasi tersebut, minyak atsiri harus dilindungi dari pengaruh sinar matahari yang dapat merangsang terjadinya proses oksidasi dan oksigen udara yang dapat mengoksidasi
minyak atsiri Koensoemardiyah 2010.
8
Minyak atsiri terkandung dalam berbagai organ, seperti di dalam rambut kelenjar pada famili Labiatae, di dalam sel parenkim misalnya famili Piperaceae, di dalam saluran minyak yang disebut
vittae famili Umbelliferae, di dalam rongga-rongga skizogen dan lisigen pada famili Pinaceae dan Rutaceae, terkandung di dalam semua jaringan pada famili Coniferae. Pada bunga mawar,
kandungan minyak atsiri terbanyak terpusat pada mahkota bunga, pada kayu manis dalam perikap buah, pada Menthae sp. terdapat dalam rambut kelenjar batang dan daun, serta pada jeruk dalam kulit
buah dan dalam helai daun Gunawan dan Mulyani 2004. Jenis minyak atsiri yang telah dikenal dalam dunia perdagangan berjumlah sekitar 70 jenis,
yang bersumber dari tanaman, antara lain akar, batang, daun, bunga dan buah. Khususnya di Indonesia telah dikenal sekitar 40 jenis tanaman penghasil minyak atsiri, namun baru sebagian dari jenis tersebut
telah digunakan sebagai sumber minyak atsiri secara komersial, yaitu sereh wangi, nilam. Kenanga, pala, dauh cengkeh, cendana, kayu putih, akar wangi, jahe dan kemukus Ketaren 1985.
Minyak atsiri mempunyai sifat antara lain: Tersusun oleh bermacam-macam komponen senyawa, memiliki bau yang khas, umumnya bau ini mewakili bau tanaman asalnya, mempunyai rasa
getir, kadang-kadang berasa tajam, menggigit, memberi kesan hangat sampai panas, atau justru dingin ketika terasa di kulit, tergantung dari jenis komponen penyusunnya, dalam keadaan murni belum
tercemar oleh senyawa lain mudah menguap pada suhu kamar, bersifat tidak bisa disabunkan dengan alkali dan tidak bisa berubah menjadi tengik rancid, bersifat tidak stabil terhadap pengaruh
lingkungan, baik pengaruh oksigen udara, sinar matahari dan panas, indeks bias umumnya tinggi, pada umumnya bersifat optis aktif dan memutar bidang polarisasi dengan rotasi yang spesifik karena
banyak komponen penyusun yang memiliki atom asimetris, tidak bercampur dengan air, tetapi cukup dapat larut hingga dapat memberikan baunya kepada air walaupun kelarutannya sangat kecil, serta
sangat mudah larut dalam pelarut organik Gunawan dan Mulyani 2004. Dalam tanaman, minyak atsiri mempunyai 3 fungsi, yaitu: 1 membantu proses penyerbukan
dengan menarik beberapa jenis serangga atau hewan, 2 mencegah kerusakan tanaman oleh serangga atau hewan dan 3 sebagai cadangan makanan dalam tanaman. Minyak atsiri dalam industri digunakan
untuk pembuatan kosmetik, parfum, antiseptik, obat-obatan, flavoring agent dalam bahan pangan atau minuman dan sebagai pencampur rokok kretek Ketaren 1985.
Minyak atsiri yang disuling dari jahe berwarna bening sampai kuning tua bila bahan yang digunakan cukup kering. Lama penyulingan dapat berlangsung sekitar 10–15 jam, agar minyak atsiri
dapat tersuling semua. Kadar minyak atsiri dari jahe sekitar 1.5–3. Standar mutu minyak atsiri jahe masih mengacu pada ketentuan EOA Essential Oil Association.
E. KANDUNGAN ABU
Sebagian besar bahan makanan, yaitu sekitar 96 terdiri dari bahan organik dan air. Sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Unsur mineral juga dikenal sebagai zat organik atau kadar abu.
Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat organiknya tidak, karena itulah disebut dengan abu Winarno 2008.
Abu merupakan residu organik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Kadar abu dari suatu bahan menunjukkan kandungan mineral yang terdapat dalam bahan
tersebut, kemurnian, serta kebersihan dari suatu bahan yang dihasilkan. Abu dalam bahan dibedakan menjadi abu total, abu terlarut dan abu tidak terlarut. Bentuk mineral dalam abu sangat berbeda dengan
bentuk asalnya dalam bahan pangan. Sebagai contoh kalsium oksalat dalam makanan berubah menjadi kalsium karbonat dan bila dipanaskan lebih lama lagi akan menjadi kalsium oksida. Meskipun
demikian, analisis kadar total abu dan pengabuan pada suatu bahan menjadi penting karena berbagai alasan. Kadar abu total adalah bagian dari analisis proksimat yang digunakan untuk mengevaluasi nilai