III. METODOLOGI PENELITIAN
A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian TPPHP dan Laboratorium Teknik Lingkungan Biosistem Fateta IPB-Bogor. Sementara itu, pengujian
kadar abu serta kadar minyak atsiri dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat yang beralamat di Jalan Tentara Pelajar No. 3 Kampus Penelitian Pertanian Cimanggu, Bogor. Waktu
pelaksanaan penelitian dilakukan pada bulan Maret hingga Juli 2012.
B. BAHAN DAN ALAT
1. Bahan
Bahan yang digunakan adalah rimpang jahe badak yang berusia 8–9 bulan yang berasal dari daerah Jampang, Sukabumi-Jawa Barat, serta larutan kapur CaOH
2
sebagai bahan untuk perlakuan pencelupan irisan rimpang jahe sebelum dilakukan proses pengeringan.
2. Alat
Peralatan yang digunakan meliputi: a.
Sunbeam Food Dehydrator tipe DT5600 Merupakan alat pengering tipe rak dengan dehumidifier menggunakan tenaga
listrik. Spesifikasi serta gambar dari alat pengering yang akan diuji dapat dilihat pada Tabel 5 serta Gambar 6.
Tabel 5. Spesifikasi alat pengering
Spesifikasi Keterangan
Merk Sunbeam
Model Food dryer DT5600
p x l x t mm 330 x 330 x 210
Bobot kg 2.4
Jumlah rak 5
Luas rak cm
2
707 cm
2
Daya elemen pemanas Watt 340
Termostat Ada
Suhu pengeringan
o
C Level 1 ±35; Level 2 ±55; Level 3 ±75
Gambar 6. Sunbeam Food Dehydrator DT5600
20
b. Alat yang akan digunakan untuk persiapan bahan yang akan dikeringkan alat produksi,
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Alat untuk persiapan bahan
Nama Alat Fungsi
Pisau Mengiris rimpang jahe dengan ketebalan tertentu
Talenan kayu Alas untuk mengiris rimpang jahe
Baskom Wadah larutan kapur CaOH
2
Tray Wadah untuk meniriskan irisan jahe setelah dicelupkan ke
dalam larutan kapur
c. Alat ukur yang digunakan untuk uji performansi alat pengering tipe rak dengan
menggunakan tenaga listrik tersaji pada Tabel 7. Tabel 7. Alat ukur untuk uji performansi
Nama Alat MerkTipe
Fungsi
Termokopel tipe T
Mengukur suhu proses pengeringan Anemometer
Intell Instruments AR836 Mengukur kecepatan angin pada kipas
Termometer -
Mengukur suhu lingkungan Stopwatch
- Mengukur waktu proses pengeringan
Hybrid Recorder Yokogawa MV1000
Merekam data dari sensor termokopel Neraca digital
Adam PW 184 Mengukur berat bahan
Drying oven Isuzu 2-2120
Mengeringkan bahan Penggaris dan Kaliper
- Mengukur dimensi
Blancher Vonavex
Merendam irisan jahe dalam larutan kapur Gelas ukur
- Mengukur volume larutan atau air
Chromameter Konica Minolta CR-400
Mengukur derajat keputihan bahan d.
Peralatan yang digunakan untuk analisis data pengukuran dan pengamatan selama penelitian tersaji pada Tabel 8.
Tabel 8. Alat untuk analisis data penelitian
Nama Alat Fungsi
Kalkulator Menghitung data pengukuran
Alat tulis Mendokumentasikan data
Personal computer Memasukkan dan mengolah data
Perangkat lunak SolidWorks® Melakukan analisis sebaran suhu pengeringan
Kamera digital Melakukan dokumentasi selama penelitian
21
C. TAHAPAN PENELITIAN
1. Tahapan umum proses penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah rimpang jahe badak segar berusia 8–9 bulan. Tahap awal pengolahan bahan adalah pencucian rimpang jahe segar yang sudah
melewati proses sortasi terlebih dahulu. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan kotoran serta tanah yang mungkin masih menempel pada rimpang jahe. Setelah proses pencucian
dilakukan proses penirisan dengan menggunakan tray, penirisan rimpang jahe setelah pencucian dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan air yang masih berada di
permukaan rimpang jahe. Tahap selanjutnya adalah pengirisan rimpang jahe dalam bentuk slices dengan
ketebalan kurang lebih 4 mm. Pengirisan dilakukan secara manual dengan menggunakan pisau tajam. Pengirisan dilakukan tanpa pengupasan kulit terlebih dahulu. Setelah proses
pengirisan rimpang jahe selesai dilakukan, sebagian kecil irisan rimpang jahe akan diambil sebagai sampel awal. Sampel awal tersebut akan digunakan untuk keperluan pengukuran
derajat keputihan jahe segar dengan menggunakan Chromameter serta untuk pengukuran kadar air awal dengan menggunakan metode oven.
Sebelum proses pengeringan, akan dilakukan perlakuan bahan yang berbeda untuk mengetahui pengaruh perlakuan tersebut terhadap mutu bahan yang dihasilkan. Perlakuan
tersebut adalah pencelupan irisan jahe segar ke dalam larutan kapur CaOH
2
dengan konsentrasi 2, 4, dan 6 pada suhu 60
o
C selama 4.5 menit dengan menggunakan mesin Blancher, sehingga suhu yang diinginkan dapat terjaga dengan konstan. Sebagai kontrol,
dilakukan pula proses pengeringan irisan jahe tanpa melalui proses pencelupan terlebih dahulu. Setelah dilakukan proses pencelupan, irisan jahe kemudian ditiriskan di dalam tray
hingga tidak ada air yang menetes dari irisan jahe. Tahap selanjutnya adalah proses pengeringan irisan jahe dengan menggunakan alat
pengering tipe rak yang telah diatur suhu pengeringannya pada setting level 3 dengan suhu teoritis sebesar 75
o
C. Pemilihan suhu pengeringan pada setting level 3 untuk mengeringkan irisan jahe didasarkan pada hasil penelitian pendahuluan yang menunjukkan bahwa jahe
kering yang dihasilkan dari proses pengeringan pada setting level 2 dengan suhu teoritis sebesar 55
o
C memiliki kadar minyak atsiri yang tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan jahe kering yang dihasilkan dari proses pengeringan pada setting level 3, sehingga untuk
penelitian lanjutan dilakukan proses pengeringan pada setting level 3 dengan pertimbangan untuk mempersingkat waktu pengeringan. Proses pengeringan irisan jahe dilakukan hingga
irisan jahe mencapai kadar air kurang lebih sekitar 8–10 basis basah. Sebelum proses pengeringan dilakukan, terlebih dahulu dipilih 3 buah sampel irisan jahe pada setiap rak untuk
pengukuran susut bobot dari irisan jahe selama proses pengeringan berlangsung. Pemilihan sampel irisan jahe pada setiap rak dilakukan secara acak. Penamaan sampel bahan dalam
pengujian tersaji pada Lampiran 4 .
Pengukuran susut bobot dari sampel irisan jahe yang dikeringkan dilakukan setiap 30 menit selama proses pengeringan, dengan cara menimbang
bobot sampel yang dikeringkan dengan menggunakan neraca digital. Setelah hasil dari jahe kering didapatkan, tahap terakhir yang dilakukan adalah
menimbang hasil akhir dari jahe kering agar dapat diketahui rendemen pengeringannya. Setelah dilakukan penimbangan, sampel untuk pengujian kecerahan kemudian diukur kembali
derajat keputihannya dengan menggunakan Chromameter, sementara sebagian kecil dari jahe kering diambil untuk dijadikan sampel pengukuran kadar air akhir dari jahe kering dengan
menggunakan metode oven. Jahe kering yang dihasilkan dari proses pengeringan kemudian
22
disimpan dalam kemasan kedap untuk selanjutnya dilakukan pengujian mutu berupa pengujian kadar minyak atsiri serta kadar abu, sementara data sebaran suhu udara pengering
dalam keadaan alat pengering tanpa komoditas yang didapat dari hasil penelitian akan dijadikan sebagai data validasi terhadap hasil sebaran suhu pengeringan dengan menggunakan
metode Computational Fluid Dynamics. Bagan proses pengeringan irisan jahe secara singkat tertera pada Gambar 7.
Gambar 7. Bagan proses pengeringan irisan jahe Rimpang jahe
Pencucian dan penirisan Pengirisan ketebalan ± 4 mm
Pengukuran kadar air Pengukuran derajat keputihan
jahe segar
Tanpa pencelupan Pencelupan ke dalam larutan kapur selama 4.5 menit
Kadar CaOH
2
Kadar CaOH
2
Kadar CaOH
2
6
Pengeringan dengan Sunbeam Food Dehydrator tipe DT5600 pada setting level 3 suhu ± 75
o
C Pengukuran susut bobot
setiap 30 menit
Analisis mutu jahe kering: derajat keputihan, kadar air akhir, kadar
abu, dan kadar minyak atsiri Jahe kering
23
2. Pengukuran parameter
a Berat bahan sebelum dan setelah pengeringan
Berat bahan awal diukur dengan melakukan penimbangan irisan jahe sebelum dimasukan ke dalam alat pengering. Setelah pengeringan selesai dilakukan penimbangan
kembali untuk menentukan berat akhir bahan. Penimbangan bahan dilakukan dengan menggunakan neraca digital Gambar 8.
Gambar 8. Neraca digital
Adam PW 184
b Kadar air bahan sebelum dan setelah pengeringan
Kadar air suatu bahan dapat dinyatakan dalam dua keadaan, yaitu kadar air basis basah dan kadar air basis kering. Perhitungan kadar air bahan dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan 1 atau persamaan 2. Kadar air bahan yang diukur adalah kadar air awal, kadar air akhir, dan penurunannya selama proses pengeringan. Kadar air
awal dan akhir bahan diukur dengan menggunakan oven Gambar 9, sedangkan penurunan kadar air selama proses pengeringan ditentukan berdasarkan perubahan berat
bahan selama proses pengeringan.
Gambar 9. Drying oven
Isuzu 2-2120
Metode oven merupakan salah satu metode pengeringan konvensional dimana terjadi proses perambatan secara konduksi dan konveksi dalam waktu pengeringan yang
lama. Metode ini digunakan secara luas di berbagai laboratorium kontrol untuk mengukur kadar air. Prinsip dari metode oven adalah pengurangan berat suatu bahan yang
dipanaskan pada suhu 100
o
C sampai 105
o
C disebabkan karena hilangnya air dan zat-zat menguap lainnya sehingga kekurangan berat tersebut dianggap sebagai berat air.
24
Cara kerja metode ini adalah: 1
Bahan dipotong-potong kecil atau berupa bubuk ditimbang sebanyak 2–4 gram, kemudian diletakkan pada cawan aluminium yang telah diketahui bobotnya dan
kemudian ditimbang dengan teliti pada neraca digital. 2
Bahan beserta cawan dimasukkan ke dalam oven listrik yang diatur pada suhu 100
o
C sampai 105
o
C selama 3–5 jam. 3
Bahan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. 4
Masukkan kembali dalam oven selama 30 menit dan ulangi tahapan tersebut hingga diperoleh bobot tetap.
c Pengukuran suhu
Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan sensor termokopel yang meliputi pengukuran suhu udara pada tiap rak 18 titik pengukuran, suhu udara keluar
ruang pengering dua titik pengukuran, suhu dinding alat pengering tiga titik pengukuran, suhu udara pada plenum satu titik pengukuran, serta menggunakan
termometer untuk mengetahui suhu udara lingkungan. Titik-titik pengukuran suhu pada alat pengering diperlihatkan pada Lampiran 2. Termokopel yang digunakan untuk
menampilkan suhu dihubungkan dengan Hybrid Recorder Gambar 10 untuk menampilkan data suhu yang terukur oleh termokopel.
Gambar 10. Hybrid Recored
Yokogawa MV1000
d Kelembaban udara
Kelembaban yang diukur adalah kelembaban relatif di lingkungan alat pengering menggunakan termometer bola basah dan bola kering. Perhitungan kelembaban
dilakukan dengan menggunakan psychometric chart dengan menggunakan data suhu bola basah dan bola kering.
e Kecepatan aliran udara pengering
Kecepatan aliran udara plenum serta kecepatan udara keluar alat pengering diukur dengan menggunakan anemometer Gambar 11. Pengukuran dengan menggunakan
anemometer dilakukan setiap awal proses pengeringan.
25
Gambar 11. Anemometer
Intell Instruments AR836
f Lama pengeringan
Lama pengeringan merupakan waktu yang digunakan selama proses pengeringan dari kadar air awal hingga kadar air akhir bahan yang diinginkan.
g Kebutuhan energi listrik
Energi listrik yang digunakan adalah untuk memutar fan serta memanaskan elemen pemanas. Kebutuhan energi listrik diukur berdasarkan besarnya daya listrik yang
digunakan untuk kebutuhan elemen pemanas serta lamanya proses pengeringan yang diperlukan untuk mengeringkan jahe sampai kadar air tertentu.
3. Analisis mutu jahe kering
a Analisis warna derajat keputihan
Analisis tingkat kecerahan jahe dilakukan dengan menggunakan Chromameter Gambar 12. Pengujian warna dilakukan dengan sistem Hunter Gambar 13 yaitu L, a
dan b. Chromameter terlebih dahulu dikalibrasi dengan standar warna putih yang terdapat pada alat tersebut. Sampel yang dianalisis adalah sampel jahe kering yang
sebelumnya telah diberikan perlakuan pencelupan kedalam larutan kapur serta jahe kering tanpa pencelupan sebagai kontrol. Hasil analisis derajat putih dapat dilihat dalam
kisaran berupa: nilai L Lightness dari black = 0 hingga white = 100, a greenness -a atau redness +a dan b blueness -a atau yellowness +a Sahin dan Sumnu 2006.
Gambar 12. Chromameter CR-400 Gambar 13. Diagram warna Hunter
26
b Kadar abu Andarwulan 2011
Jahe kering yang dipanaskan pada suhu tinggi dapat menguapkan seluruh air dan bahan organik yang ada di dalamnya, sedangkan sisanya merupakan abu. Penentuan
kadar abu pada jahe kering dilakukan dengan cara menimbang sekitar 5–10 gram sampel dalam cawan porselin yang telah diketahui beratnya dan dipanaskan dalam oven,
kemudian dimasukkan ke dalam tanur dengan suhu 420–550
o
C dengan waktu sesuai karakteristik bahan umumnya 5–7 jam hingga bahan menjadi abu. Kemudian
didinginkan selama 45 menit dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai berat konstan.
Kadar abu , =
`abJM Jcd ebJ , `abJM fghMgi ebJ ,
x 100 ................................................... 22 c
Kadar minyak atsiri Ketaren 1985 Contoh bahan kering yang telah dibubukkan ditimbang sebanyak 100 gram dan
dimasukkan dalam labu berukuran satu liter. Kemudian di dalam labu tersebut ditambahkan air sebanyak 4 kali berat bahan sampai seluruh contoh terendam.
Selanjutnya labu didih dihubungkan dengan alat Dean-Stark dan dipanaskan sehingga terjadi proses penyulingan. Penyulingan dilakukan sekitar 6 jam sehingga volume
minyak dalam penampung tidak bertambah lagi. Selanjutnya minyak didinginkan sampai suhu kamar dan volume yang tertampung diukur.
Kadar minyak , =
Dgmd a nhoJp JqJ rpJmJ `abJM fghMgi .
,
x 100 ...................................... 23
4. Simulasi
Computational Fluid Dynamics CFD
Simulasi sebaran suhu pengeringan dilakukan dengan menggunakan metode CFD menggunakan software SolidWorks
®
Education 2010. Model simulsai yang dilakukan sangat bergantung pada memori serta kecepatan processor komputer yang digunakan. Pada
penelitian kali ini, komputer yang digunakan memiliki spesifikasi CPU Intel
®
Core™ i7; 12GB RAM; dan 64-bit Operating System.
Untuk setiap proses simulasi, perlu adanya asumsi-asumsi yang ditetapkan agar proses simulasi yang dilakukan dapat disederhanakan dan dapat berjalan dengan baik. Beberapa
asumsi yang digunakan dalam simulasi ini adalah: i.
simulasi dilakukan dalam keadaan tunaksteady ii.
suhu udara lingkungan dianggap konstan selama simulasi iii.
kerapatan, panas jenis, serta konduktivitas panas dari material Polypropylene dianggap konstan
Simulasi dilakukan untuk mengetahui pola sebaran suhu yang ada di dalam ruang pengering dalam keadaan kosong tanpa komoditas. Simulasi tidak dilakukan pada saat
proses pengeringan, hal ini disebabkan oleh perubahan sifat fisik serta geometri jahe yang berubah terhadap waktu selama proses pengeringan, sehingga simulasi tidak dapat dilakukan
dalam keadaan tunaksteady. Dalam penelitian ini, simulasi dilakukan pada kondisi awal suhu dan kelembaban udara lingkungan rata-rata serta suhu rata-rata dari material padat. Data
input kondisi awal yang dimasukkan dalam simulasi tersaji pada Tabel 9.
27
Tabel 9. Input kondisi awal simulasi
Input data Nilai
Suhu lingkungan ºC 27
Suhu material padat ºC 28
RH lingkungan 71.5
Langkah-langkah proses simulasi menggunakan software SolidWorks
®
Education 2010 adalah sebagai berikut.
a Pembuatan geometri alat pengering
Dimensi alat pengering yang digunakan dalam simulasi ini adalah dimensi yang sama dengan dimensi aslinya. Selanjutnya, dilakukan penentuan computational domain
yang akan menjadi daerah perhitungan simulasi Gambar 14.
Gambar 14. Geometri alat pengering dan daerah perhitungan model simulasi b
Lakukan general setting Pada bagian ini diatur tipe analisis, jenis fluida, jenis material padat, kondisi
batas, dan kondisi awal simulasi secara umum. Gambar 15 sampai dengan Gambar 19 adalah tampilan interface general setting pada proses simulasi.
Analisis aliran dipilih tipe aliran eksternal Gambar 15, karena adanya pengaruh lingkungan saat udara luar dihisap oleh fan kedalam alat pengering maupun saat udara
dari dalam alat pengering dikeluarkan menuju lingkungan. Pada interface ini fluida yang dianalisis adalah udara air dengan tipe aliran laminar dan turbulen serta
memperhitungkan kelembaban udara Gambar 16. Default material padat solid dalam simulasi ini adalah Polypropylene Gambar 17. Kekasaran roughness material diset
sebesar 0 µ m Gambar 18. Nilai suhu udara pada initial and ambient condition dan tekanan sebesar 101.325 kPa dimasukkan pada interface selanjutnya pada general
setting Gambar 19. c
Mesh pada awal perhitungan diatur pada level 3
28
Gambar 15. Pengaturan tipe analisis dalam simulasi
Gambar 16. Pengaturan fluida yang dianalisis dan tipe aliran
29
Gambar 17. Pengaturan material dalam simulasi
Gambar 18. Pengaturan kondisi dinding dalam simulasi
30
Gambar 19. Pengaturan kondisi awal dalam simulasi d
Pendefinisian material properties alat pengering Material dari alat pengering didefinisikan sebagai PP Polypropylene. Karena
material PP dan jahe tidak tersedia dalam engineering database SolidWorks
®
, maka data dari sifat bahan perlu dimasukkan. Sifat bahan tersebut disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10. Sifat bahan yang dimasukkan dalam data teknik SolidWorks
®
Sifat bahan Satuan
Polypropylene
1
Kerapatan ρ Kgm
3
910 Panas jenis Cp
Jkg
o
C 1,925
Konduktivitas panas k Wm
o
C 0.12
Tipe konduktivitas -
Isotropik Melting temperature
o
C 270
Keterangan: 1 Cengel 2003
e Pendefinisian fan
Fan pada alat pengering didefinisikan sebagai fan curve dengan tipe 8414 NML. Pendefinisian ini didasarkan pada kemiripan dari karakteristik antara fan yang ada pada
alat pengering dengan definisi fan pada SolidWorks
®
, yaitu meliputi karakteristik Volume flow rate dengan Pressure difference, seperti yang tertera pada Gambar 20.
31
Gambar 20. Pendefinisian fan alat pengering f
Set kondisi batas Kondisi batas dalam analisis sebaran suhu dan pola aliran udara panas pada alat
pengering ini adalah lubang-lubang outlet yang ada di sekitar tutup alat pengering. Hal ini dikarenakan pola sebaran suhu serta aliran udara panas pada alat pengering akan
sangat dipengaruhi oleh batasan outlet udara yang akan dilalui oleh udara panas dari alat pengering tersebut. Inlet dari udara panas tidak dijadikan sebagai kondisi batas karena
inlet sudah didefinisikan sebagai fan, sehingga karakteristiknya disesuaikan dengan karateristik fan telah ditentukan.
g Set tujuan goal dari analisis
Goal dalam simulasi ini adalah global goal temperature dari fluid average, global goal velocity average, dan global goal temperature pada solid average.
h Lakukan proses running atau perhitungan
Persamaan-persamaan konservasi diselesaikan dengan metode iterasi SIMPLER Semi-Implicit Method for Pressure-Linked Equations Revised. Proses perhitungan
dimulai dengan memecahkan variabel kecepatan fluida dan tekanan. Proses perhitungan ini diperlihatkan kepada user berupa grafik yang menunjukkan konvergenitas residual
variation. Jika proses perhitungan menghasilkan residual yang menurun dari satu iterasi ke iterasi berikutnya, maka dikatakan bahwa tebakan nilai terhadap variabel-variabel
cukup baik dan solusi akan diperoleh. Proses iterasi akan berhenti saat kondisi konvergen tercapai.
i Pada tahap post-processor ditentukan tampilan yang akan disajikan oleh CFD, misal
dalam bentuk kontur suhu, vector kecepatan udara, mesh yang dihasilkan, dan animasi tampilan tersebut.
32
5. Validasi model simulasi
Validasi model simulasi dilakukan dengan menghitung persentase ketepatan antara nilai aktual pengukuran dan nilai hasil simulasi dengan menggunakan persamaan:
Ketepatan , = t1 −
|vJ v| vJ
w × 100 ........................................................ 24 dimana:
Ya = nilai aktual pengukuran Yp = nilai hasil simulasi
Sementara kalibrasi model simulasi dilakukan dengan membandingkan suhu udara hasil simulasi dengan hasil pengukuran dalam keadaan tanpa komoditas. Pengujian
keabsahan dilakukan dengan menggunakan garis regresi yang terbentuk pada hubungan linear antara suhu hasil pengukuran Y dan hasil simulasi X, dimana ɑ menyatakan
intersep atau perpotongan garis regresi dengan sumbu tegak dan b menyatakan kemiringan atau gradien garis regresi, dinyatakan dengan persamaan:
Y = ɑ + bX .......................................................................................................... 25 Model simulasi dinyatakan memberikan prediksi suhu dan kelembaban udara yang
semakin baik bila persamaan regresinya memiliki koefisien intersep ɑ mendekati nol dan gradiennya b mendekati satu.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. PERFORMANSI ALAT PENGERING
Pengujian performansi alat pengering ini dilakukan pada ketebalan irisan sebesar ±4 mm dengan tebal hamparan satu lapis. Pengujian dilakukan masing-masing sebanyak tiga kali ulangan
untuk setiap perlakuan, yaitu tanpa pencelupan ke dalam larutan kapur, pencelupan ke dalam larutan kapur 2, pencelupan ke dalam larutan kapur 4, dan pencelupan ke dalam larutan kapur 6.
Beberapa parameter yang akan dibahas pada pengujian performansi alat pengering ini diantaranya meliputi kapasitas alat, laju pengeringan bahan, laju penurunan kadar air bahan, sebaran suhu udara
pada setiap rak selama proses pengeringan, konsumsi energi pengeringan, efisiensi pengeringan serta mutu jahe kering yang dihasilkan.Performansi alat pengering berdasarkan hasil pengujian disajikan
pada Tabel 11. Pengeringan jahe dilakukan hanya pada satu setting level, yaitu setting level 3 dengan suhu
teoritis sebesar 75
o
C. Pemilihan suhu pengeringan pada setting level 3 untuk mengeringkan irisan jahe didasarkan pada hasil penelitian pendahuluan yang menunjukkan bahwa jahe kering yang
dihasilkan dari proses pengeringan pada setting level 2 dengan suhu teoritis sebesar 55
o
C memiliki kadar minyak atsiri sebesar 2.20 ml100 gram, tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan kadar
minyak atsiri dari jahe kering yang dihasilkan dari proses pengeringan pada setting level 3 yaitu sebesar 2.50 ml100 gram, sehingga diketahui bahwa perlakuan suhu yang berbeda pada proses
pengeringan tidak memberikan pengaruh terhadap kadar minyak atsiri yang dihasilkan. Sehingga untuk penelitian lanjutan dilakukan proses pengeringan pada setting level 3 dengan pertimbangan
untuk mempersingkat waktu pengeringan. Tabel 11. Performansi alat pengering untuk pengeringan irisan jahe
No. Keterangan
Perlakuan Pencelupan Kontrol
CaOH
2
2 CaOH
2
4 CaOH
2
6
1 Berat awal bahan gram
808.31 848.09
915.67 918.83
2 Kadar air awal bb
92.09 91.05
91.72 90.97
3 Kadar air akhir bb
9.15 10.90
10.08 10.03
4 Lama pengeringan jam
6 6
6 6
5 Berat bahan akhir gram
69.86 73.40
87.87 86.12
6 Jumlah air yang diuapkan gram
737.90 762.90
831.40 826.60
7 Laju pengeringan bkjam
192.35 167.51
182.75 166.05
8 Suhu udara lingkungan ºC
24.5 25
26 25
9 Kelembaban udara lingkungan
73.48 70.29
70.91 66.88
10 Suhu udara plenum ºC
69.60 70.10
69.70 70.30
11 Konsumsi energi kJkg
9,952.56 9,626.43
8,833.29 8,884.58
13 Efisiensi pengeringan total
23.46 24.24
26.43 26.25
34
1. Kapasitas alat
Kapasitas dari alat pengering untuk mengeringkan irisan jahe tergantung pada ketebalan irisan, ketebalan hamparan, serta diameter irisan rimpang dari jahe yang akan dikeringkan.
Karena merupakan alat pengering skala rumah tangga dengan dimensi yang cukup kecil, kapasitas maksimal alat pengering ini untuk mengeringkan jahe pada ketebalan irisan ± 4 mm dan
pada ketebalan hamparan satu lapis juga tergolong sangat kecil, yaitu hanya sebesar 1 kg untuk setiap kali proses. Apabila diasumsikan bahwa dalam satu tahun terdapat 240 hari kerja 20 hari
tiap bulan dan dalam satu hari dilakukan dua kali proses, maka alat pengering ini hanya mampu mengeringkan rimpang jahe sebesar 480 kg dalam setahun. Apabila mengacu pada data terbaru
dari Badan Pusat Statistik BPS bahwa produktivitas jahe Indonesia pada tahun 2010 adalah sebesar 18 ton per hektar, maka dapat dikeringkan jahe dengan luasan daerah pertanaman sebesar
0.026 ha atau 267 m
2
.
2. Sebaran suhu dalam rak pengering
Suhu udara di dalam ruang pengering merupakan suhu udara lingkungan yang digunakan sebagai udara untuk mengeringkan bahan. Suhu udara di dalam ruang pengering diperoleh dengan
cara memanaskan udara dengan menggunakan elemen pemanas dan digunakan sebagai udara pengering dengan menggunakan bantuan dari fan curve tipe axial. Sebaran suhu udara pada tiap
rak selama proses pengeringan pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 21 sampai Gambar 24.
Dari Gambar 21 sampai dengan Gambar 24 terlihat bahwa sebaran suhu udara pada plenum serta pada rak pengering hampir selalu meningkat setiap waktu dengan fluktuasi yang
relatif seragam. Peningkatan suhu udara pengering yang cukup signifikan terlihat pada 30 menit pertama untuk pengeringan pada setiap perlakuan, dimana suhu udara di dalam rak pada awal
proses pengeringan yaitu sebesar 25–28
o
C meningkat pesat hingga menjadi 35–60
o
C, sedangkan untuk jam-jam berikutnya suhu udara umumnya bergerak meningkat secara perlahan dengan laju
peningkatan suhu yang relatif konstan.
Gambar 21. Grafik sebaran suhu udara pengering pada proses pengeringan jahe tanpa pencelupan ke dalam larutan kapur CaOH
2
10 20
30 40
50 60
70 80
30 60
90 120
150 180
210 240
270 300
330 360
S u
h u
ºC
Waktu menit
Plenum Rak dasar
Rak 5 Rak 4
Rak 3 Rak 2
Rak 1
35
Gambar 22. Grafik sebaran suhu udara pengering pada proses pengeringan jahe dengan pencelupan ke dalam larutan kapur CaOH
2
2
Gambar 23. Grafik sebaran suhu udara pengering pada proses pengeringan jahe dengan pencelupan ke dalam larutan kapur CaOH
2
4
10 20
30 40
50 60
70 80
30 60
90 120
150 180
210 240
270 300
330 360
S u
h u
ºC
Waktu menit
Plenum Rak dasar
Rak 5 Rak 4
Rak 3 Rak 2
Rak 1
10 20
30 40
50 60
70 80
30 60
90 120
150 180
210 240
270 300
330 360
S u
h u
ºC
Waktu menit
Plenum Rak dasar
Rak 5 Rak 4
Rak 3 Rak 2
Rak 1
36
Gambar 24. Grafik sebaran suhu udara pengering pada proses pengeringan jahe dengan pencelupan ke dalam larutan kapur CaOH
2
6 Pada 90 menit awal proses pengeringan untuk setiap perlakuan, terlihat bahwa perbedaan
suhu udara pada setiap rak cukup besar, terutama apabila dilihat perbedaan antara suhu udara yang ada pada rak 1 dan rak 5 yang mencapai 5–12
o
C. Hal itu disebabkan karena udara pengering mengalami penurunan suhu yang cukup signifikan akibat banyak mengandung uap air dari irisan
jahe pada rak-rak diatasnya, karena irisan jahe yang dikeringkan masih memiliki banyak kandungan air. Perbedaan suhu mulai terlihat menurun pada akhir proses pengeringan karena
udara pengering sudah tidak banyak mengandung uap air dari irisan jahe sebab irisan jahe telah mengalami pengurangan kandungan air seiring proses pengeringan berlangsung.
Suhu udara pada rak dasar memiliki perbedaan yang relatif kecil bila dibandingkan dengan suhu plenum yaitu sebesar 2–6
o
C, namun memiliki perbedaan yang cukup besar bila dibandingkan dengan suhu udara pada setiap rak, mulai dari rak 1 sampai dengan rak 5. Hal ini
dikarenakan fungsi dari rak dasar adalah sebagai pengarah aliran udara pengering dari plenum menuju rak-rak yang berada di atasnya hingga keluar menuju lubang outlet yang terdapat pada
bagian atas dari alat pengering. Pada rak dasar tidak terdapat irisan jahe untuk dikeringkan, namun posisi dari rak dasar
yang berada pada bagian paling dasar dari alat pengering menyebabkan udara pengering pada rak dasar memiliki pengaruh besar dalam membawa kandungan air dari irisan jahe yang terdapat pada
rak-rak diatasnya, terutama kandungan air dari irisan jahe yang terdapat pada rak 5. Oleh sebab itu, kandungan air bahan pada rak 5 jauh lebih cepat teruapkan bila dibandingkan dengan rak-rak
yang berada diatasnya. Dari grafik di atas dapat dilihat pula bahwa suhu udara yang terukur pada plenum saat akhir proses pengeringan adalah sebesar 72–75
o
C, memberikan hasil yang cukup sesuai dengan dengan perkiraan suhu udara yang tertera pada setting level 3 dari alat pengering
yaitu ±75
o
C. Pada 60 menit terakhir dari proses pengeringan pada setiap perlakuan terlihat bahwa suhu
udara pada rak 5 sampai dengan rak 2 mulai terlihat seragam. Hal tersebut disebabkan pada 60 menit terakhir umumnya rak 5 hingga rak 3 tidak terdapat lagi irisan jahe yang dikeringkan
karena kadar airnya telah memenuhi kadar air jahe kering yang diharapkan yaitu ± 10 basis basah, sehingga sebaran suhunya cenderung seragam. Perbedaan sebaran suhu hanya terlihat pada
Gambar 22 sampai Gambar 24, dimana pada rak 1 sebaran suhunya terlihat lebih rendah dari rak- rak di bawahnya. Hal tersebut dikarenakan pada rak 1 masih terdapat irisan jahe yang dikeringkan
10 20
30 40
50 60
70 80
30 60
90 120
150 180
210 240
270 300
330 360
S u
h u
ºC
Waktu menit
Plenum Rak dasar
Rak 5 Rak 4
Rak 3 Rak 2
Rak 1
37
dan adanya pengaruh dari suhu udara lingkungan karena posisi dari rak 1 berdekatan dengan lubang outlet dari alat pengering.
Adanya fluktuasi suhu udara pada plenum serta pada rak-rak pengering yang tidak begitu besar menunjukkan bahwa debit aliran udara yang berasal dari plenum serta debit aliran udara
yang masuk ke dalam rak-rak pengering cukup seragam serta ketebalan hamparan dari irisan jahe pada setiap rak juga cukup merata. Panas dari udara pengering tidak seluruhnya dapat digunakan
untuk mengeringkan irisan jahe. Adanya kehilangan panas melalui dinding alat pengering serta kehilangan panasakibat adanya pembukaan rak pengering untuk keperluan pengukuran susut
bobot bahan pada saat penelitian menyebabkan adanya panas dari udara pengering yang terbuang ke lingkungan.
3. Penurunan kadar air terhadap waktu
Penurunan kadar air dari bahan terjadi akibat adanya udara panas yang berasal dari plenum yang menguapkan kandungan air dari bahan sehingga bahan mengalami penyusutan bobot seiring
proses pengeringan. Grafik penurunan kadar air pada setiap rak selama proses pengeringan jahe disajikan pada Gambar 25 hingga Gambar 28. Dari gambar tersebut terlihat bahwa penurunan
kadar air pada proses pengeringan jahe untuk setiap perlakuan pencelupan memberikan hasil yang relatif sama, dimana penurunan kadar air yang paling cepat hingga yang paling lambat secara
berurutan terjadi pada irisan jahe yang berada pada rak 5 hingga pada rak 1. Penurunan kadar air pada rak 5 jauh lebih cepat bila dibandingkan dengan rak-rak yang
berada di atasnya. Hal tersebut disebabkan suhu udara pengering yang melewati rak 5 jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan suhu udara pengering yang berada pada rak-rak diatasnya
sehingga kapasitas penguapan dari udara pengering menjadi semakin menurun. Seperti yang terlihat pada Gambar 25 sampai Gambar 28 bahwa pada menit ke 210 umumnya proses
pengeringan irisan jahe pada rak 5 telah selesai dilakukan dan kadar airnya sudah memenuhi kadar air yang diharapkan. Penurunan kadar air tahap awal terjadi pada menit ke 0 sampai menit
ke 60 dari proses pengeringan, dimana penurunan kadar air dari jahe masih terlihat landai. Penurunan kadar air mulai terlihat semakin cepat dari menit 60 hingga menit 150 dan penurunan
kadar air kembali menurun pada menit 150 hingga menit 210.
Gambar 25. Grafik penurunan kadar air pada proses pengeringan jahe tanpa pencelupan ke dalam larutan kapur CaOH
2
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
30 60
90 120
150 180
210 240
270 300
330 360
K a
d a
r a
ir b
b
Waktu menit
Rak 1 Rak 2
Rak 3 Rak 4
Rak 5
38
Gambar 26. Grafik penurunan kadar air pada proses pengeringan jahe dengan pencelupan ke dalam larutan kapur CaOH
2
2
Gambar 27. Grafik penurunan kadar air pada proses pengeringan jahe dengan pencelupan ke dalam larutan kapur CaOH
2
4
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
30 60
90 120
150 180
210 240
270 300
330 360
K a
d a
r a
ir b
b
Waktu menit
Rak 1 Rak 2
Rak 3 Rak 4
Rak 5
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
30 60
90 120
150 180
210 240
270 300
330 360
K a
d a
r a
ir b
b
Waktu menit
Rak 1 Rak 2
Rak 3 Rak 4
Rak 5
39
Gambar 28. Grafik penurunan kadar air pada proses pengeringan jahe dengan pencelupan ke dalam larutan kapur CaOH
2
6 Jahe yang berada pada rak 4 untuk setiap perlakuan secara umum telah mencapai kadar air
yang diinginkan di menit 240 hingga menit 270. Pola penurunan kadar air dari jahe yang ada pada rak 4 diawali dengan penurunan kadar air tahap awal dari menit ke 0 hingga menit ke 90. Pada
menit ke 90 sampai menit ke 210 penurunan kadar air secara signifikan mulai terlihat. Sedangkan dari menit ke 210 hingga menit ke 270 penurunan kadar air kembali melandai.
Pola penurunan kadar air jahe yang terjadi pada rak 4 dan 5 hampir secara serupa juga terjadi pada rak 3 hingga rak 1 dengan waktu penurunan kadar air yang semakin lambat.
Penurunan kadar air yang semakin rendah dengan waktu yang semakin lambat tersebut disebabkan oleh uap air bahan yang dikeluarkan dari jahe yang berada di rak bawah menjenuhkan atmosfer
pada permukaan bahan yang berada di rak atas, sehingga memperlambat proses pengeluaran air dari jahe yang berada pada rak atas. Penjenuhan atmosfer tidak dapat dihindari sebab aliran udara
yang berasal dari plenum yang semula memiliki kecepatan rata-rata sekitar 3.9 ms mengalami penurunan kecepatan yang sangat drastis akibat aliran udara pengering membentur rak dasar
sebelum akhirnya diarahkan menuju rak-rak pengering sehingga kecepatannya menjadi sekitar 0.4–0.8 ms dan tidak dapat membawa uap air dengan segera ke lingkungan. Gambar 25 hingga
Gambar 28 juga memperlihatkan bahwa proses pengeringan jahe dengan menggunakan Sunbeam food dehydrator membutuhkan waktu pengeringan rata-rata sekitar 6 jam dengan kadar air akhir
yang diperoleh adalah sekitar 8–10 basis basah.
4. Laju pengeringan terhadap kadar air
Hubungan antara penurunan kadar air terhadap laju pengeringan jahe diperlihatkan dalam bentuk grafik pada Gambar 29 sampai dengan Gambar 32. Dari grafik tersebut terlihat bahwa
kadar air yang semakin menurun juga menyebabkan penurunan pada laju pengeringan. Laju pengeringan jahe untuk setiap rak tidak sama besar. Pada rak 4 dan rak 5 untuk setiap perlakuan
pengeringan terlihat bahwa penurunan kadar air dari jahe diawali dengan laju pengeringan yang paling tinggi bila dibandingkan dengan rak 3 sampai rak 1, yaitu sebesar 10–11 bkmenit dan
tidak terdapat laju pengeringan yang konstan. Hal ini disebabkan tingginya suhu udara pengering pada rak 4 dan rak 5 sehingga kandungan air dari jahe dapat diuapkan dengan cepat serta laju
pengeringan konstan hanya terjadi pada waktu yang relatif singkat dan sulit diamati.
10 20
30 40
50 60
70 80
90 100
30 60
90 120
150 180
210 240
270 300
330 360
K a
d a
r a
ir b
b
Waktu menit
Rak 1 Rak 2
Rak 3 Rak 4
Rak 5
40
Pada rak 3 dan rak 2 untuk setiap perlakuan pencelupan terlihat bahwa laju pengeringan konstan terjadi pada kadar air 800–300 bk dengan laju pengeringan sebesar 4–5 bkmenit.
Terlihat pula adanya fluktuasi laju pengeringan pada awal proses pengeringan jahe dengan fluktuasi terbesar terjadi pada kadar pencelupan larutan kapur 2 yaitu sebesar 3–4 bkmenit.
Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh pengaruh penguapan air bahan dari rak-rak yang berada di bawahnya serta pengaruh sifat fisik dari jahe yang dikeringkan.
Gambar 29. Grafik hubungan laju pengeringan dengan kadar air pada pengeringan jahe tanpa pencelupan larutan kapur CaOH
2
Gambar 30. Grafik hubungan laju pengeringan dengan kadar air pada pengeringan jahe dengan pencelupan larutan kapur CaOH
2
2
2 4
6 8
10 12
200 400
600 800
1000 1200
L a
ju p
e n
g e
r in
g a
n b
k m
e n
it
Kadar air bk
Rak 1 Rak 2
Rak 3 Rak 4
Rak 5
2 4
6 8
10 12
200 400
600 800
1000 1200
L a
ju p
e n
g e
r in
g a
n b
k m
e n
it
Kadar air bk
Rak 1 Rak 2
Rak 3 Rak 4
Rak 5
41
Gambar 31. Grafik hubungan laju pengeringan dengan kadar air pada pengeringan jahe dengan pencelupan larutan kapur CaOH
2
4
Gambar 32. Grafik hubungan laju pengeringan dengan kadar air pada pengeringan jahe dengan pencelupan larutan kapur CaOH
2
6 Laju pengeringan pada rak 1 untuk setiap perlakuan menunjukkan hasil yang relatif serupa,
dimana laju pengeringan konstan didapat antara kadar air 900–300 bk dengan laju pengeringan antara 3–4 bkmenit. Laju pengeringan yang cukup konstan sejak awal proses pengeringan pada
rak 1 disebabkan oleh suhu udara pengering yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan rak-rak yang berada di bawahnya. Penjenuhan atmosfer yang terakumulasi pada rak 1 juga mengakibatkan
laju pengeringan menjadi lebih rendah.
2 4
6 8
10 12
200 400
600 800
1000 1200
1400
L a
ju p
e n
g e
r in
g a
n b
k m
e n
it
Kadar air bk
Rak 1 Rak 2
Rak 3 Rak 4
Rak 5
2 4
6 8
10 12
200 400
600 800
1000 1200
L a
ju p
e n
g e
r in
g a
n b
k m
e n
it
Kadar air bk
Rak 1 Rak 2
Rak 3 Rak 4
Rak 5
42
Untuk setiap perlakuan terlihat bahwa setelah terjadi laju pengeringan konstan, kemudian dilanjutkan oleh laju pengeringan menurun. Pada laju pengeringan menurun terjadi proses
pemindahan kandungan air dari dalam jahe ke permukaan jahe dan perpindahan uap air dari permukaan jahe ke udara sekeliling. Pada penelitian pengeringan ini diketahui bahwa laju
pengeringan menurun ini terjadi saat jahe telah mencapai kadar air sekitar 200 bk. Selain itu, diketahui bahwa perlakuan awal yang diberikan pada jahe yang dikeringkan memberikan hasil
yang relatif serupa terhadap laju pengeringan jahe.
5. Laju pengeringan terhadap waktu
Penguapan kandungan air dari dari jahe akan meningkat dengan pesat pada awal proses pengeringan sebelum akhirnya terjadi laju pengeringan konstan dan akhirnya terjadi laju
pengeringan menurun pada akhir proses pengeringan. Grafik hubungan antara laju pengeringan terhadap waktu tersaji pada Gambar 33 sampai Gambar 36.
Pada pengeringan jahe ini, laju pengeringan berlangsung secara kapiler sehingga kebanyakan air yang diuapkan adalah yang berasal dari bagian dalam jaringan bahan. Di awal
proses pengeringan, laju pengeringan terjadi begitu cepat karena massa air yang diuapkan adalah air permukaan bahan. Semakin lama laju pengeringan akan semakin menurun karena air yang
diuapkan dari bagian dalam jaringan bahan memerlukan waktu dan energi yang lebih besar bila dibandingkan dengan waktu dan energi penguapan dari air permukaan. Dengan demikian, laju
pengeringan jahe yang terjadi sangat cepat di awal proses pengeringan, seiring dengan laju penurunan kadar air maka laju pengeringan semakin lama akan semakin melambat.
Gambar 33. Grafik hubungan laju pengeringan dengan waktu pada pengeringan jahe tanpa pencelupan larutan kapur CaOH
2
2 4
6 8
10 12
30 60
90 120
150 180
210 240
270 300
330 360
L a
ju p
e n
g e
r in
g a
n b
k m
e n
it
Waktu menit
Rak 1 Rak 2
Rak 3 Rak 4
Rak 5
43
Gambar 34. Grafik hubungan laju pengeringan dengan waktu pada pengeringan jahe dengan pencelupan larutan kapur CaOH
2
2
Gambar 35. Grafik hubungan laju pengeringan dengan waktu pada pengeringan jahe dengan pencelupan larutan kapur CaOH
2
4
2 4
6 8
10 12
30 60
90 120
150 180
210 240
270 300
330 360
L a
ju p
e n
g e
r in
g a
n b
k m
e n
it
Waktu menit
Rak 1 Rak 2
Rak 3 Rak 4
Rak 5
2 4
6 8
10 12
30 60
90 120
150 180
210 240
270 300
330 360
L a
ju p
e n
g e
r in
g a
n b
k m
e n
it
Waktu menit
Rak 1 Rak 2
Rak 3 Rak 4
Rak 5
44
Gambar 36. Grafik hubungan laju pengeringan dengan waktu pada pengeringan jahe dengan pencelupan larutan kapur CaOH
2
6 Pada penelitian ini terlihat bahwa waktu penguapan air permukaan jahe pada setiap rak
tidak seragam. Rak 5 dan rak 4 memiliki karakteristik pengeringan yang hampir serupa, dimana pada 30 menit pertama terjadi laju penguapan yang paling tinggi bila dibandingkan dengan rak-rak
diatasnya. Hal itu disebabkan suhu udara pengering yang diterima oleh kedua rak tersebut lebih tinggi sehingga jumlah kandungan air yang diuapkan menjadi semakin besar.
Pada rak 5, penguapan air permukaan terjadi hingga menit ke 120–150 sedangkan pada rak 4 penguapan air permukaan terjadi hingga menit ke 180–210. Pada rak 3 penguapan terjadi hingga
menit ke 210–240, dan pada rak 2 serta rak 1 secara berturut-turut penguapan terjadi hingga menit ke 240–300 dan menit ke 300–330. Setelah itu pada setiap rak laju pengeringan semakin melandai
hingga tercapai kadar air yang diinginkan. Maka dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan batas akhir waktu pengeringan sekitar 30 menit pada setiap rak dari susunan yang paling bawah hingga
ke atas. Waktu pengeringan jahe dengan menggunakan alat pengering ini juga relatif lebih cepat
bila dibandingkan dengan pengeringan menggunakan alat pengering lain, dimana alat pengering ini hanya membutuhkan waktu sekitar 6 jam untuk pengeringan irisan jahe setebal ± 4 mm dan
ketebalan tumpukan sebesar 1 lapis. Sementara untuk penelitian mengenai pengeringan jahe yang telah dilakukan sebelumnya oleh Hanapie 1988, Sinaga 1988, Rokhani 1989 serta Rochman
1996 dengan ketebalan irisan dan ketebalan tumpukan yang hampir sama membutuhkan waktu kurang lebih 12–22 jam. Hal ini disebabkan kapasitas ruang dari alat pengering pada penelitian ini
jauh lebih kecil bila dibandingkan alat pengering yang digunakan pada penelitian sebelumnya, sehingga dengan besar suhu udara pengering dari plenum yang sama, penguapan kandungan air
dari jahe akan berlangsung lebih cepat.
6. Efisiensi pengeringan
Efisiensi pada proses pengeringan meliputi efisiensi pemanasan, efisiensi penggunaan panas serta efisiensi pengeringan total. Perhitungan mengenai efisiensi alat pengering pada setiap
perlakuan awal tersaji pada Lampiran 7 sampai Lampiran 10. Seperti yang terlihat pada Tabel 12 bahwa perlakuan awal pada jahe tidak memberikan pengaruh terhadap efisiensi pengeringan,
sebab pengujian performansi hanya dilakukan pada satu perlakuan ketebalan pengirisan yaitu sebesar ± 4 mm dan ketebalan hamparan satu lapis.
2 4
6 8
10 12
30 60
90 120
150 180
210 240
270 300
330 360
L a
ju p
e n
g e
r in
g a
n b
k m
e n
it
Waktu menit
Rak 1 Rak 2
Rak 3 Rak 4
Rak 5
45
Tabel 12. Efisiensi alat pengering untuk pengeringan irisan jahe
Perlakuan Efisiensi
pemanasan Efisiensi
penggunaan panas Efisiensi
pengeringan total
Tanpa pencelupan kapur 41.11
57.05 23.46
Pencelupan larutan kapur 2 43.43
55.81 24.24
Pencelupan larutan kapur 4 44.87
58.89 26.43
Pencelupan larutan kapur 6 48.02
54.69 26.25
Lebih rendahnya nilai efisiensi pengeringan total bila dibandingkan dengan efisiensi pemanasan dan penggunaan panas dapat disebabkan adanya debit aliran udara yang tidak
berfungsi sebagai media pembawa uap air. Adanya kehilangan panas melalui dinding alat pengering atau saat pembukaan alat pengering untuk pengukuran kadar air juga menyebabkan
efisiensi pengeringan total menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan efisiensi pemanasan dan efisiensi penggunaan panas.
Efisiensi pengeringan total dari alat pengering tipe kabinet dengan sumber panas listrik pada penelitian yang dilakukan Hanapie 1988 adalah sebesar 61.43. Sementara itu, efisiensi
pengeringan total dari alat pengering tipe rak berbahan bakar minyak tanah pada penelitian yang dilakukan Rokhani 1989 adalah sebesar 27.23. Sehingga bila dibandingkan dengan efisiensi
pengeringan total dari alat pengering tipe rak dengan sumber panas listrik yang digunakan pada penelitian ini, terlihat bahwa efisiensinya lebih rendah dari alat pengering yang digunakan oleh
Hanapie 1988 dan Rokhani 1989. Hal ini dikarenakan kapasitas dari alat pengering yang digunakan pada penelitian ini sangat rendah, yaitu hanya sebesar ± 1 kg, sehingga berpengaruh
besar terhadap rendahnya efisiensi yang dihasilkan.
B. SIMULASI MENGGUNAKAN CFD
Simulasi dengan menggunakan metode Computational Fluid Dynamics CFD dilakukan untuk mengetahui sebaran suhu serta kecepatan yang ada di dalam alat pengering Sunbeam Food
Dehydrator. Simulasi dilakukan pada saat kondisi alat pengering dalam keadaan kosong dan tidak dilakukan simulasi pada saat terdapat bahan untuk dikeringkan. Hal ini dikarenakan karakterisitk fisik
dan kimia serta geometri dari bahan pertanian yang berubah terhadap waktu real time selama proses pengeringan, sehingga pendefinisiannya dalam simulasi menjadi sangat kompleks dan membutuhkan
penelitian lebih lanjut.
1. Hasil simulasi sebaran suhu
Gambar 37 dan Gambar 38 memperlihatkan sebaran suhu di dalam ruang pengering dalam kondisi kosong. Sebaran suhu di dalam alat pengering disajikan dalam irisan penampang tampak
depan serta tampak atas. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran suhu yang ada di dalam ruang pengering telah berlangsung secara merata.
46
Gambar 37. Sebaran suhu pada irisan penampang alat pengering Berdasarkan hasil simulasi sebaran suhu pada irisan penampang yang tersaji pada Gambar
37 diketahui bahwa sebaran suhu di dalam alat pengering cukup beragam. Hal ini terlihat dari perbedaan cukup besar antara suhu udara pada plenum, suhu udara pada rak-rak pengering, hingga
suhu udara yang keluar melalui lubang outlet. Mula-mula udara pengering yang dihembuskan dari plenum memiliki suhu 70–75
o
C. Udara pengering kemudian dihembuskan hingga membentur rak dasar dan akhirnya menyebar menuju rak-rak pengering yang berada di atasnya. Udara pengering
mengalami penurunan suhu selama melewati rak-rak pengering. Penurunan suhu tersebut disebabkan oleh adanya kehilangan panas dari udara pengering melalui dinding serta material rak
dari alat pengering. Suhu yang dicapai oleh udara pengering saat berada pada rak-rak pengering adalah sebesar 65–70
o
C. Material alat pengering yang semula memiliki suhu awal sebesar ± 28
o
C mengalami peningkatan yang cukup signifikan hingga akhirnya mencapai suhu ± 55
o
C. Peningkatan panas pada dinding tersebut disebabkan oleh adanya kehilangan panas dari udara
pengering menuju dinding secara konveksi. Panas tersebut juga mempengaruhi perubahan suhu udara lingkungan yang berada di sekitar dinding alat pengering. Hal itu terlihat dari peningkatan
suhu udara lingkungan yang berada di sekitar dinding alat pengering yang semula 27
o
C menjadi 35–40
o
C. Panas dari udara pengering tidak seluruhnya dapat menjangkau bagian terluar dari rak
pengering. Dari Gambar 38 terlihat bahwa bagian terluar dari rak 3 hingga rak 1 memiliki suhu yang sedikit lebih rendah bila dibandingkan dengan suhu udara pengering di sekitarnya, yaitu
sebesar 55–65
o
C. Hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh arah aliran dari udara pengering yang tidak mampu menjangkau hingga bagian terluar dari rak-rak pengering. Nilai sebaran suhu hasil
simulasi pada setiap rak di dalam alat pengering tersaji pada Tabel 13.
47
a b
c d
e f
Gambar 38. Sebaran suhu tampak atas di dalam alat pengering a rak dasar; b rak 5; c rak 4; d rak 3; e rak 2; f rak 1
48
Tabel 13.Sebaran suhu hasil simulasi pada setiap rak dalam alat pengering
No. Keterangan
Rak 1
o
C Rak 2
o
C Rak 3
o
C Rak 4
o
C Rak 5
o
C Rak dasar
o
C
1 1.5 cm dari dinding pengering
55.82 58.60
62.97 62.56
66.40 68.54
2 3.0 cm dari dinding pengering
67.40 67.80
68.07 68.61
69.07 69.39
3 4.5 cm dari dinding pengering
68.35 68.38
68.51 69.04
69.25 69.43
4 6.0 cm dari dinding pengering
68.52 68.51
68.59 69.12
68.99 69.41
5 7.5 cm dari dinding pengering
68.67 68.67
68.72 69.06
69.07 69.43
6 9.0 cm dari dinding pengering
68.81 68.80
68.84 69.02
69.10 69.47
7 10.5 cm dari dinding pengering
68.90 68.89
68.91 69.04
69.11 69.51
8 12.0 cm dari dinding pengering
68.97 68.98
69.14 69.53
69.49 69.74
9 13.5 cm dari dinding pengering
68.08 69.19
69.80 69.80
69.92 70.15
Rata-rata 67.06
67.54 68.17
68.42 68.93
69.45
2. Hasil simulasi sebaran kecepatan
Pada Gambar 39 dan Gambar 40 diperlihatkan sebaran kecepatan udara pengering di dalam ruang pengering dalam kondisi kosong. Sebaran kecepatan udara pengering di dalam alat
pengering ini disajikan dalam irisan penampang tampak depan serta tampak atas. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah sebaran kecepatan yang ada di dalam ruang pengering telah berlangsung
secara merata.
Gambar 39. Sebaran kecepatan udara pengering pada irisan penampang alat pengering
49
a b
c d
e f
Gambar 40. Sebaran kecepatan udara pengering tampak atas di dalam alat pengering a rak dasar; b rak 5; c rak 4; d rak 3; e rak 2; f rak 1
50
Gambar 39 menunjukkan bahwa terjadi penurunan kecepatan yang cukup signifikan di dalam ruang pengering. Penurunan kecepatan tersebut disebabkan oleh adanya benturan udara
pengering yang berasal dari plenum saat melewati rak dasar. Benturan tersebut menyebabkan adanya turbulensi pada aliran udara pengering sehingga terjadi penurunan kecepatan yang cukup
drastis, dari 3.6–4 ms besarnya kecepatan yang berasal dari plenum menjadi 0–0.4 ms besarnya kecepatan udara yang ada pada ruang pengering.
Selain pengaruh dari benturan udara pengering dengan rak dasar. Luasan ruang pengering yang jauh lebih besar dibandingkan dengan luasan lubang inlet dari udara pengering juga
mempengaruhi penurunan kecepatan dari udara pengering. Sebab untuk besar debit yang sama, kecepatan udara pengering akan jauh berkurang.
Kecepatan dari udara pengering kembali meningkat saat udara pengering keluar melalui lubang outlet yang ada pada bagian atas dari ruang pengering. Peningkatan kecepatan tersebut
disebabkan oleh adanya penyempitan luasan lubang outlet sehingga untuk besar debit yang sama, kecepatan dari udara pengering akan semakin meningkat.
Gambar 37 dan Gambar 39 memperlihatkan pola sebaran suhu dan sebaran kecepatan yang ada pada ruang pengering dalam tampak atas. Dari Gambar 37 dan Gambar 39 terlihat bahwa pola
sebaran suhu serta kecepatan pada setiap rak cukup beragam, dimana suhu serta kecepatan dari rak 5 lebih besar bila dibandingkan dengan rak-rak diatasnya. Pola sebaran suhu dan kecepatan pada
rak 5 juga lebih seragam bila dibandingkan dengan rak-rak yang berada di atasnya. Ketidakseragaman ini menyebabkan irisan jahe yang dikeringkan pada rak 5 akan jauh lebih cepat
bila dibandingkan dengan rak-rak di atasnya. Berikut adalah perbedaan nilai sebaran suhu pengukuran dan nilai simulasi seperti yang terlihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Perbedaan suhu udara antara hasil pengukuran dan simulasi
Titik pengukuran
Ket. Suhu
C Error
Ketepatan Simulasi
Pengukuran Selisih
1
Rak dasar 69.50
66.94 2.56
3.82 96.18
2
Rak dasar 69.43
67.71 1.72
2.54 97.46
3
Rak 5 69.18
68.11 1.07
1.57 98.43
4
Rak 5 69.07
66.16 2.91
4.40 95.60
5
Rak 4 69.16
68.27 0.89
1.30 98.70
6
Rak 4 69.06
67.60 1.46
2.16 97.84
7
Rak 3 68.72
68.23 0.49
0.72 99.28
8
Rak 3 69.03
66.89 2.14
3.20 96.80
9
Rak 2 68.97
66.51 2.46
3.70 96.30
10
Rak 2 68.67
68.04 0.63
0.93 99.07
11
Rak 1 68.96
65.62 3.34
5.09 94.91
12
Rak 1 68.67
63.36 5.31
8.38 91.62
13
Dinding rak 5 57.79
56.30 1.49
2.65 97.35
14
Dinding rak 3 57.71
56.90 0.81
1.42 98.58
15
Dinding rak 1 53.23
52.30 0.93
1.78 98.22
Maksimum
5.31 8.38
99.28
Minimum
0.49 0.72
91.62
Rata-rata
2.08 2.91
97.09
51
Berdasarkan Tabel 14 dapat dilihat bahwa error maksimum yang terjadi dalam prediksi suhu pada penelitian ini cukup besar, yaitu sebesar 8.38. Besarnya nilai error ini kemungkinan
besar disebabkan oleh penempatan termokopel yang kurang tepat serta adanya kehilangan panas dari alat pengering melalui celah-celah sambungan rak dan lubang masuk termokopel juga
mempengaruhi data yang terbaca oleh termokopel.
Gambar 41.Kalibrasi suhu udara hasil pengukuran dengan simulasi Kalibrasi antara suhu pengukuran dengan suhu simulasi dilakukan dengan menggunakan
garis regresi yang terbentuk pada hubungan linier antara suhu hasil pengukuran Y dan hasil simulasi X. Persamaan regresi yang terbentuk untuk simulasi suhu udara dapat dilihat pada
Gambar 41. Koefisien intersep dari persamaan tersebut adalah 3.193 dan gradiennya adalah 0.923. Model persamaan ini dinilai cukup baik memprediksi suhu udara sebab persamaan ini memiliki
nilai R
2
sebesar 0.943 yang menunjukkan keseragaman data.
C. MUTU JAHE HASIL PENGERINGAN
Pembahasan mengenai pengaruh perlakuan awal terhadap mutu jahe kering yang dihasilkan akan dibagi menjadi dua parameter utama, antara lain pengujian mutu jahe kering yang dihasilkan
meliputi kadar air, kadar minyak atsiri, serta kadar abu. Pengujian terhadap mutu jahe kering yang dihasilkan dilakukan berdasarkan standarisasi mutu yang ada pada SNI
01–3393–1994
, seperti yang terdapat pada Lampiran 10. Selain itu dilakukan pula pengujian derajat keputihan dari jahe hasil
pengeringan dengan menggunakan Chromameter. y = 0,923x + 3,193
R² = 0,943 y = x
52 54
56 58
60 62
64 66
68 70
52 54
56 58
60 62
64 66
68 70
S u
h u
p e
n g
u k
u ran
ºC
Suhu simulasi ºC
52
1. Mutu jahe kering
Terdapat empat macam perlakuan awal yang berbeda terhadap jahe yang dikeringkan yaitu perlakuan pencelupan ke dalam larutan kapur 2, perlakuan pencelupan ke dalam larutan kapur
4, dan perlakuan pencelupan ke dalam larutan kapur 6. Sebagai kontrol dilakukan pula proses pengeringan jahe tanpa adanya perlakuan awal pencelupan ke dalam larutan kapur. Proses
pencelupan dilakukan selama 4.5 menit pada suhu 60
o
C. Pengaruh konsentrasi kapur terhadap mutu jahe kering yang dihasilkan tersaji pada Tabel 15.
Tabel 15. Pengaruh perlakuan pencelupan terhadap mutu jahe kering
Perlakuan Komponen mutu
Kadar air bb Kadar abu Kadar minyak atsiri ml100 g
Tanpa pencelupan larutan kapur 9.15± 0.61
a
9.79 ± 0.60
b
2.29 Pencelupan larutan kapur 2
10.91± 1.03
a
10.11 ± 0.86
b
2.18 Pencelupan larutan kapur 4
10.09± 1.28
a
11.66 ± 0.12
a
2.40 Pencelupan larutan kapur 6
10.03± 0.80
a
12.51 ± 0.39
a
2.30 Berdasarkan hasil analisis mutu, diketahui bahwa kadar air rata-rata dari jahe kering yang
dihasilkan adalah sebesar 10.05 bb. Kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan pencelupan larutan kapur 2 yaitu sebesar 10.91 bb dan kadar air terendah terdapat pada perlakuan tanpa
pencelupan larutan kapur yaitu sebesar 9.15 bb. Kadar air rata-rata pada setiap perlakuan yang dihasilkan dengan menggunakan metode
oven juga menunjukkan kesesuaian dengan kadar air yang diprediksi dengan menggunakan perhitungan, yaitu sekitar 10 bb. Kadar air ±10 bb merupakan batas kadar air yang terbaik
karena pada tingkat kadar air tersebut kemungkinan bahan cukup aman terhadap pencemaran, baik yang disebabkan oleh jamur, bakteri dan serangga Yuliani dan Intan 2009. Dapat disimpulkan
pula bahwa nilai kadar air jahe kering yang diperoleh dari hasil pengeringan dengan alat pengering ini cukup baik karena masih berada di bawah standar maksimum yang ditetapkan SNI
01–3393– 1994
, yaitu sebesar 12 bb. Berdasarkan analisis sidik ragam pengaruh perlakuan pencelupan terhadap kadar air
Lampiran 20, karena p–value 0.2533 alpha 0.05 maka H0 dapat diterima, yang menunjukkan bahwa perbedaan perlakuan pencelupan tidak memberikan pengaruh yang berbeda
secara signifikan terhadap kadar air yang dihasilkan. Pada Tabel 13 dapat diamati bahwa perlakuan yang diikuti dengan huruf yang sama tidak memberikan pengaruh yang berbeda secara
nyata terhadap kadar air pada DMRT 5. Kadar abu rata-rata dari jahe kering yang dihasilkan adalah sebesar 11.02, dimana kadar
abu tertinggi terdapat pada perlakuan pencelupan larutan kapur 6 yaitu sebesar 12.51 dan kadar abu terendah terdapat pada perlakuan tanpa pencelupan larutan kapur yaitu sebesar 9.79.
Analisis sidik ragam pengaruh perlakuan pencelupan terhadap kadar abu Lampiran 21 menunjukkan bahwa nilai p–value 0.0030 alpha 0.05 maka H0 ditolak, yang berarti
perbedaan perlakuan pencelupan memberikan pengaruh yang berbeda secara signifikan terhadap kadar abu yang dihasilkan. Berdasarkan uji lanjut Duncan ditunjukkan bahwa jahe kering yang
memiliki kadar abu tertinggi adalah hasil dari perlakuan pencelupan larutan kapur 6. Pada Tabel 13 dapat diamati bahwa perlakuan yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata
terhadap kadar abu pada DMRT 5, sedangkan perlakuan yang tidak diikuti dengan huruf yang sama akan memberikan hasil kadar abu yang berbeda nyata terhadap perlakuan yang diberikan.
53
Terlihat bahwa apabila kadar abu dari jahe kering yang dihasilkan pada masing-masing perlakuan dibandingkan dengan standar kadar abu dari SNI
01–3393–1994
, maka seluruhnya berada pada batas atas dari standar maksimum yang ditetapkan, yaitu sebesar 8. Namun apabila
dibandingkan dengan standar mutu Inggris BS No. 4593 tahun 1970 yaitu maksimum sebesar 12, maka hanya kadar abu yang dihasilkan dari jahe kering dengan perlakuan pencelupan larutan
kapur 6 yang berada pada batas atas dari standar tersebut. Sehingga dapat diketahui bahwa pemberian konsentrasi kapur sebesar 6 sudah tidak memenuhi standar mutu untuk jahe kering
yang dihasilkan. Meskipun terjadi penurunan mutu pada kadar abu akibat penambahan konsentrasi kapur
yang diberikan, namun perlakuan pencelupan dengan larutan kapur memberikan daya tarik berupa penampakan jahe kering yang lebih cerah akibat meningkatnya derajat keputihan dari jahe kering
tersebut. Selain itu, pemberian larutan kapur pada jahe akan menyebabkan jahe memiliki masa simpan yang lebih lama, sebab jahe akan menjadi lebih tahan terhadap serangan jamur maupun
serangga Yuliani dan Intan 2009. Contoh irisan rimpang jahe hasil pengeringan dapat dilihat pada Gambar 42.
Analisis kadar minyak atsiri yang dihasilkan oleh jahe kering pada masing-masing perlakuan tidak dilakukan dengan menggunakan analisis sidik ragam. Hal ini dikarenakan
rendahnya kapasitas alat pengering sehingga jahe kering yang dihasilkan pada setiap ulangan tidak mencukupi untuk dilakukan pengujian kadar minyak atsiri, akibatnya pengujian kadar minyak
atsiri dilakukan dengan menggunakan jahe kering hasil penggabungan dari ketiga ulangan pada setiap perlakuan, sehingga hanya dihasilkan satu data kadar minyak atsiri pada setiap perlakuan.
Dari data tersebut terlihat bahwa penambahan konsentrasi kapur tidak memberikan pengaruh terhadap kadar minyak atsiri yang dihasilkan. Terlihat bahwa kadar minyak atsiri yang dihasilkan
oleh jahe kering pada masing-masing perlakuan masih berada pada batas atas dari standar minimum yang ditetapkan oleh SNI
01–3393–1994
yaitu sebesar 1.5 ml100 gram. Minyak atsiri pada rimpang jahe dapat diperoleh dengan proses destilasi uap-air, baik pada
kondisi rimpang segara basah ataupun kering. Namun demikian pada kondisi kering diperoleh rendemen yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kondisi basah, hal ini disebabkan karena
proses pengeringan menyebabkan membran sel berangsur-angsur pecah, cairan sel bebas melakukan penetrasi dari satu sel ke sel lain sehingga membentuk senyawa-senyawa yang mudah
menguap Wulandari 2009. Penelitian yang dilakukan oleh Hanapie 1988 menunjukkan bahwa pengeringan jahe dengan irisan tebal 4–6 mm menghasilkan jahe kering dengan nilai kadar
minyak atsiri yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan pengeringan jahe irisan tipis 2–3 mm, karena pada irisan tipis banyak kulit yang terkelupas kemudian terbuang selama proses pengirisan
sampai pengeringan dan penguapan bahan-bahan yang terkandung di dalam jahe lebih mudah terjadi. Lapisan kulit jahe yang bersifat sangat tipis ini merupakan lapisan epidermis yang banyak
mengandung minyak atsiri. Selain dari standar kadar air, kadar abu serta kadar minyak atsiri dari jahe kering yang
dihasilkan, tingkat kebersihan dari jahe kering yang dihasilkan oleh alat pengering juga cukup baik, dimana tidak ditemui adanya benda asing ataupun pengotor yang ada pada jahe kering.
54
Gambar 42. Irisan rimpang jahe hasil pengeringan
2. Perubahan derajat keputihan jahe
Pada penelitian ini diukur derajat keputihan dari jahe kering yang dihasilkan dengan menggunakan Chromameter. Derajat keputihan dari jahe kering ini merepresentasikan tingkat
kecerahan yang dimiliki oleh jahe kering tersebut. Nilai derajat keputihan dinyatakan dengan notasi L dan standar nilainya berkisar antara 0 sampai 100. Nilai negatif menunjukkan kecerahan
produk mendekati warna hitam, sementara semakin tinggi nilai positifnya menunjukkan semakin besar derajat keputihan dari jahe tersebut. Data analisis pengaruh perlakuan pencelupan terhadap
derajat keputihan jahe hasil pengeringan serta grafik perbandingan antara nilai derajat keputihan jahe segar dan jahe kering pada masing-masing perlakuan diperlihatkan pada Tabel 16 dan
Gambar 43. Tabel 16. Pengaruh perlakuan pencelupan terhadap derajat keputihan jahe kering
Perlakuan Derajat keputihan
jahe segar L Derajat keputihan
jahe kering L
Tanpa pencelupan larutan kapur 71.34 ± 2.51
a
61.63 ± 0.71
c
Pencelupan larutan kapur 2 70.46 ± 1.06
a
63.96 ± 0.98
b
Pencelupan larutan kapur 4 70.86 ± 0.35
a
65.01 ± 0.75
b
Pencelupan larutan kapur 6 71.73 ± 0.71
a
69.12 ± 0.70
a
55
Gambar 43. Grafik perbandingan nilai derajat keputihan jahe segar dan jahe kering Nilai derajat keputihan segar dari rata-rata seluruh perlakuan adalah sebesar 71.09, dimana
nilai derajat keputihan tertinggi adalah sebesar 71.73 dan nilai terendah sebesar 70.46. Sementara itu berdasarkan analisis sidik ragam pengaruh perlakuan pencelupan terhadap nilai derajat
keputihan dari jahe kering Lampiran 22 menunjukkan bahwanilai p-value 0.0001 alpha 0.05 maka H0 ditolak, yang berarti bahwa perbedaan perlakuan pencelupan memberikan
pengaruh yang berbeda secara signifikan terhadap nilai derajat keputihan dari jahe kering. Semakin besar konsentrasi kapur yang diberikan pada perlakuan pencelupan menunjukkan
semakin besar nilai derajat keputihan dari jahe kering yang dihasilkan, sehingga dapat diketahui bahwa peningkatan konsentrasi larutan kapur pada perendaman jahe akan memberikan pengaruh
yang cukup signifikan terhadap kemampuan jahe kering dalam mempertahankan nilai derajat keputihannya.
56 58
60 62
64 66
68 70
72 74
0 CaO 2 CaO
4 CaO 6 CaO
D e
raj at
k e
p u
ti h
an L
Perlakuan
Awal L Akhir L
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Pengujian performansi pada ketebalan irisan ± 4 mm dengan ketebalan tumpukan satu lapis
pada setiap perlakuan menunjukkan hasil rata-rata kadar air awal 91.45 basis basah hingga mencapai kadar air akhir 10.04 basis basah: 1 kapasitas alat pengering ± 1 kg untuk setiap
proses; 2 lama pengeringan rata-rata sebesar 6 jam; 3 konsumsi energi untuk menguapkan air bahan rata-rata sebesar 9,324.2 kJkg; 4 rata-rata efisiensi pemanasan sebesar 44.35,
rata-rata efisiensi penggunaan panas sebesar 56.61, dan rata-rata efisiensi pengeringan total sebesar 25.09.
2. Sebaran suhu pada alat pengering selama proses pengeringan pada setiap perlakuan
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan besaran suhu yang cukup signifikan, dimana perbedaan suhu rata-rata antara rak dasar dengan rak 5 adalah sebesar 7
o
C, sementara perbedaan suhu rata-rata pada setiap rak pengering adalah sebesar 2
o
C. Suhu udara terukur pada plenum di akhir proses pengeringan adalah sebesar 72–75
o
C memberikan hasil yang sesuai dengan perkiraan suhu udara yang tertera pada setting level 3 dari alat pengering yaitu
sebesar 75
o
C. 3.
Laju pengeringan terbesar pada proses pengeringan terlihat pada rata-rata perlakuan tanpa pencelupan larutan kapur yaitu sebesar 192.35 bkjam, sedangkan laju pengeringan terendah
terlihat pada rata-rata perlakuan pencelupan larutan kapur 6 yaitu sebesar 166.05 bkjam. 4.
Berdasarkan hasil analisis mutu jahe kering yang dihasilkan, dapat disimpulkan bahwa apabila kadar abu dari jahe kering yang dihasilkan pada perlakuan tanpa pencelupan,
pencelupan larutan kapur 2, 4, dan 6 dibandingkan dengan standar kadar abu dari SNI, maka seluruhnya tidak memenuhi standar SNI
01–3393–1994
, yaitu sebesar 8. Namun apabila dibandingkan dengan standar mutu Inggris BS No. 4593 tahun 1970 yaitu
maksimum sebesar 12, maka hanya kadar abu yang dihasilkan dari jahe kering dengan perlakuan pencelupan larutan kapur 6 yang tidak memenuhi standar tersebut.
5. Peningkatan konsentrasi larutan kapur sebagai perlakuan awal pada proses pengeringan jahe
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kecepatan pengeringan jahe serta kadar minyak atsiri yang dihasilkan, namun memberikan pengaruh nyata terhadap kemampuan jahe kering
untuk mempertahankan nilai derajat keputihannya. 6.
Hasil simulasi proses pengeringan jahe pada keadaan tanpa komoditas menunjukkan rata-rata nilai ketepatan yang cukup besar, yaitu sebesar 97.09. Hal ini menunjukkan bahwa simulasi
CFD memberikan hasil yang cukup baik dalam memprediksi sebaran suhu udara serta kecepatan udara yang ada di dalam alat pengering.
B. SARAN
1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut terhadap performansi alat pengering ini untuk
pengeringan irisan jahe dengan kapasitas yang lebih besar. 2.
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai perubahan karakteristik fisik, kimia dan geometri dari jahe selama proses pengeringan agar memudahkan pendugaan sebaran suhu dan
kecepatan udara pada alat pengering dalam proses simulasi CFD. 3.
Perlu adanya penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh perlakuan awal pada proses pengeringan jahe terhadap daya simpan dari jahe kering.
57
DAFTAR PUSTAKA
Andarwulan N, Kusnandar F, Herawati D. 2011. Analisis Pangan. Dian Rakyat, Jakarta. Amelia R. 2007. Uji Performa Mesin Pengering tipe Rak dengan Dehumidifier menggunakan Tenaga
Listrik untuk Pengeringan Gelatin pada Pilot Plan Gelatin PT. Muhara Dwi Tunggal Laju Citeureup, Bogor [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Anderson JD. 1995. Computational Fluid Dynamics: The Basic with Application. New York: McGraw-Hill Companies, Inc.
BPS. 2011.
Produksi Tanaman
Obat–obatan di
Indonesia. http:www.bps.go.idtab_subview.php?kat=3tabel=1daftar=1id_subyek=55notab=6
. [28 Juli 2012].
Brooker DB, Bakker-Arkena FW. and Hall CW. 1974. Drying Cereal Grains. Westport, Connecticut: The AVI publishing Co., Inc.
Chang R, Tikkanen W. 1988. The Top Fifty Industrial Chemicals. New York: Random House. Cengel YA. 2003. Heat Transfer. A Practical Approach Second Edition. New York: McGraw-Hill
Companies, Inc. Ebay. 2012.
http:www.ebay.com.ausunbeamDT5600 . [4 Februari 2012]
Gunawan D, Mulyani S. 2004. Ilmu Obat Alam Farmakognosi Jilid 1. Penebar Swadaya, Jakarta. Hall CW. 1980. Drying and Storage of Agricultural Crops. Westport, Connecticut: The AVI
publishing Co., Inc. Hanapie TY. 1988. Pengeringan Rimpang Jahe Zingiber officinale Rosc. dengan Pengering Kabinet
[skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Heldman DR, Sigh RP. 1981. Food Process Engineering. Westport, Connecticut: The AVI publishing
Co., Inc. Henderson SM, Perry RL. 1976. Agricultural Process Engineering. Westport, Connecticut: The AVI
publishing Co., Inc. Kartasubrata J. 2010. Sukses Budidaya Tanaman Obat. IPB Press, Bogor.
Ketaren S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta. Koensoemardiyah S. 2010. A to Z Minyak Atsiri: Untuk Industri Makanan, Kosmetik, dan Aroma
Terapi. ANDI, Yogyakarta. Koswara S. 1995. Jahe dan Hasil Olahannya. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Paimin FB, Murhananto. 2007. Budidaya, Pengolahan, Perdagangan Jahe. Penebar Swadaya, Jakarta. Prabowo SH. 2009. Easy to Use SolidWorks 2009. ANDI, Yogyakarta.
Puseglove JW, Brown EG, Green CL, and Robbins SRJ. 1981. Spices, Vol 2. New York: Longman Inc., pp 447-531
Rochman N. 1996. Mempelajari Karakteristik Pengeringan Jahe Zingiber officinale Rosc. dengan Alat Pengering tipe Rak [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
58
Rokhani. 1989. Uji Performansi Pengering tipe Rak pada Pengeringan Jahe dan Kunyit serta Pengaruh Perlakuan Bahan terhadap Mutu yang dihasilkan [skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut
Pertanian Bogor. Sahin S, Sumnu SG. 2006. Physical Properties of Foods. Ankara: Springer Science+Bussiness Media
LLC. Sinaga N. 1988. Pengeringan Rimpang Jahe Zingiber officinale Rosc. dengan Pengering tipe Sumur
[skripsi]. Bogor: Program Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Syukur C, Hernani. 2002. Budidaya Tanaman Obat Komersial. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tuakia F. 2008. Dasar-dasar CFD Menggunakan Fluent. Informatika, Bandung. Uthami AZ. 2010. SolidWorks: Alat Bantu Merancang Komponen dengan Mudah. Modula, Bandung.
Versteeg HK, Malalasekera W. 1995. An Introduction to Computational Fluid Dynamics: The Finite Volume Method. New York: Longman Scientific and Technical.
Wikipedia. 2011. Jahe. http:id.wikipedia.orgwikijahe
. [31 Januari 2012]. Winarno FG. 2008
. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pusaka Utama, Jakarta.
Wulandari YW. 2009. Karakteristik Minyak Atsiri Beberapa Varietas Jahe Zingiber officinale. Jurnal
Kimia dan
Teknologi. 163:
43–50. http:isjd.pdii.lipi.go.idadminjurnal51094350_0216-163X.pdf
.
[28 Juli 2012] Yuliani S, Intan SK. 2009. Pengembangan Produk Jahe Kering dalam Berbagai Jenis Industri. Buletin
Teknologi Pascapanen
Pertanian 5:
61–68. http:pascapanen.litbang.deptan.go.idassetsmediapublikasibulletin2009_9.pdf
. [28
Juli 2012].
60
Lampiran 1. Dimensi alat pengering
61
Lampiran 2. Susunan rak pengering
62
Lampiran 3. Posisi fan dan elemen pemanas pada alat pengering
63
Lampiran 4. Penempatan titik pengukuran
Irisan penampang alat pengering tampak depan
Irisan penampang alat pengering tampak atas Keterangan:
: Suhu udara pengering pada plenum : Suhu udara pengering pada rak
: Suhu dinding alat pengering : Suhu udara keluar alat pengering
64
Lampiran 5. Skematik sebaran suhu udara pengering
65
Lampiran 6. Penamaan sampel bahan dalam pengujian
Perlakuan A
B C
D Ulangan
A1 A2
A3 B1
B2 B3
C1 C2
C3 D1
D2 D3
Rak 1
A
111
A
211
A
311
B
111
B
211
B
311
C
111
C
211
C
311
D
111
D
211
D
311
A
112
A
212
A
312
B
112
B
212
B
312
C
112
C
212
C
312
D
112
D
212
D
312
A
113
A
213
A
313
B
113
B
213
B
313
C
113
C
213
C
313
D
113
D
213
D
313
Rak 2
A
121
A
221
A
321
B
121
B
221
B
321
C
121
C
221
C
321
D
121
D
221
D
321
A
122
A
222
A
322
B
122
B
222
B
322
C
122
C
222
C
322
D
122
D
222
D
322
A
123
A
223
A
323
B
123
B
223
B
323
C
123
C
223
C
323
D
123
D
223
D
323
Rak 3
A
131
A
231
A
331
B
131
B
231
B
331
C
131
C
231
C
331
D
131
D
231
D
331
A
132
A
232
A
332
B
132
B
232
B
332
C
132
C
232
C
332
D
132
D
232
D
332
A
133
A
233
A
333
B
133
B
233
B
333
C
133
C
233
C
333
D
133
D
233
D
333
Rak 4
A
141
A
241
A
341
B
141
B
241
B
341
C
141
C
241
C
341
D
141
D
241
D
341
A
142
A
242
A
342
B
142
B
242
B
342
C
142
C
242
C
342
D
142
D
242
D
342
A
143
A
243
A
343
B
143
B
243
B
343
C
143
C
243
C
343
D
143
D
243
D
343
Rak 5
A
151
A
251
A
351
B
151
B
251
B
351
C
151
C
251
C
351
D
151
D
251
D
351
A
152
A
252
A
352
B
152
B
252
B
352
C
152
C
252
C
352
D
152
D
252
D
352
A
153
A
253
A
353
B
153
B
253
B
353
C
153
C
253
C
353
D
153
D
253
D
353
Keterangan: A
= irisan jahe tanpa pencelupan B
= irisan jahe dengan pencelupan larutan kapur CaOH
2
2 C
= irisan jahe dengan pencelupan larutan kapur CaOH
2
4 D
= irisan jahe dengan pencelupan larutan kapur CaOH
2
6
66
Lampiran 7. Panas laten penguapan air bebas Heldman dan Singh 1981
Suhu Panas laten penguapan hfg
o
C kJkg
0.01 2501.40
3 2494.33
6 2487.20
15 2465.91
21 2451.76
30 2430.51
40 2406.73
45 2394.75
50 2382.77
55 2370.67
60 2358.77
65 2346.24
70 2333.82
75 2321.37
80 2308.79
85 2296.00
67
Lampiran 8. Eisiensi alat pengering pada perlakuan tanpa pencelupan larutan kapur CaOH
2
A. Data hasil pengukuran dan kurva psikrometrik
1. Udara lingkungan
Suhu bola kering rata-rata = 24.5
o
C Suhu bola basah rata-rata
= 21
o
C Kelembaban relatif rata-rata
= 73.48 Entalpi h
1
= 60.76 kJkg Kelembaban mutlak H
1
= 0.0142 kgkg u. k. Volume spesifik V
1
= 0.8626 m
3
kg u. k. 2.
Udara pengering Suhu bola kering rata-rata pada plenum
= 69.6
o
C Suhu bola kering rata-rata dari udara keluar
= 41.2
o
C Kelembaban relatif rata-rata dari udara keluar = 50.84
Kelembaban mutlak H
3
= 0.0256 kgkg u. k. Entalpi h
2
= h
3
= 107.29 kJkg Panas laten penguapan hfg
= 2,334.81 kJkg Berat bahan awal
= 808.31 gram = 0.80831 kg Berat bahan akhir
= 69.86 gram = 0.06986 kg Kadar air awal rata-rata
= 92.09 bb = 1,164.22 bk Kadar air akhir rata-rata
= 9.15 bb = 10.07 bk
B. Perhitungan
1. Rendemen:
Rendemen =
.|}~| .~~•.
100 = 8.64 2.
Laju pengeringan: =
.,.|•.FF ..‚ |
= 192.35 bkjam 3.
Jumlah air yang diuapkan: -ˆ =
}F.} }..‰ . }..‰
0.80831 = 0.7379 kg 4.
Laju volumetrik udara pengering: =
.‚•‚} .~|F| .F‰| ..•F, |
= 9.33 m
•
jam
68
Lampiran 8. lanjutan 5.
Laju penguapan air: - =
.‚•‚} |
= 0.1229 kg airjam 6.
Panas jenis bahan: 67 = 0.837 + 0.034 92.09, = 3.9681 kJ kg ℃
Œ 7.
Energi panas elemen listrik: q = 3.6 340 6 = 7,344 kJ
8. Konsumsi energi
KE =
‚,••• .‚•‚}
= 9,952.56 kJkg 9.
Energi udara pengering yang digunakan: q
.
=
}.•• .‚.F} |.‚|, | .~|F|
= 3,019.65 kJ 10.
Energi untuk menguapkan air bahan: q
F
= 0.7379 2,334.81 = 1,722.86 kJ 11.
Efisiensi pemanasan: ?
•
=
•,.}.|‰ ‚,•••
100 = 41.11 12.
Efisiensi penggunaan panas: ?
••
=
.,‚FF.~| •,.}.|‰
100 = 57.05 13.
Efisiensi pengeringan total: ?
•
=
.,‚FF.~| ‚,•••
100 = 23.46