1. Peraturan Perundang-Undangan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

119 dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutannya.

5.3.1.2. Kepres 331998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser

Dalam rangka pelestarian sumberdaya alam hayati dan Ekosistem Leuser, pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan terkait Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser KEL melalui Keputusan Presiden No 33 tahun 1998. Wilayah KEL terdapat pada beberapa kabupatenkota dalam wilayah provinsi Aceh, termasuk kabupaten Gayo Lues. Secara keseluruhan luas wilayah KEL 1.190.000 ha. Pada dasarnya KEL dikelola oleh pemerintah, dalam hal ini pengelolaannya ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Dalam pelaksanaan pengelolaannya Kementerian Kehutanan bekerjasama dengan Yayasan Leuser Internasional YLI, dengan kata lain pihak YLI hanya membantu Pemerintah sebagai pelaksana pengelolaan KEL, yang meliputi: perlindungan dan pengamanan, pengawetan, pemulihan fungsi kawasan, dan pemanfaatan secara lestari. Jangka waktu kerjasama pelaksanaan pengelolaan KEL antara pihak YLI dengan Pemerintah adalah 30 tahun. Namun kepada YLI tidak mencakup hak untuk menguasai dan memiliki. Selanjutnya kebutuhan biaya untuk pelaksanaan pengelolaannya dibebankan kepada pihak YLI. Kebijakan pengelolaan KEL oleh YLI terjadi tumpang tindih dengan peraturan perundangan lainnya, yang berakibat pada terjadi konflik kepentingan antar instansilembaga pengelola sumberdaya hutan, baik ditingkat provinsi maupun ditingkat kabupatenkota, sehingga terjadi kevakuman pengelolaan ditingkat tapak, dan keberadaan sumberdaya hutan sudah tidak terurus, yang pada akhirnya terjadi open acces.

5.3.1.3. Undang–Undang No. 11 2006, tentang Pemerintahan Aceh

Berakhirnya konflik antara Pemerintah Indonesia dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka GAM, ditandai dengan penandatanganan MOU di Helsinki pada tanggal 15 Agustus tahun 2005. Salah satu wujud dari nota kesepahaman tersebut adalah dengan keluarnya sebuah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh UUPA. Khusus kaitannya dengan kehutanan dalam UUPA terdapat pada pasal 150, 156, 165, dan 262. 120 Berdasarkan pasal 150 dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh, bahwa 1 Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan KEL di wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan, dan pemanfaatan secara lestari, 2 Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupatenkota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam KEL, dan 3 dalam melaksanakan pengelolaannya Pemerintah Aceh melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupatenkota dan dapat melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah dan pihak lain, serta berkewajiban menyediakan anggaran, sarana, dan prasarana. Dalam pasal 156 disebutkan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupatenkota mengelola sumberdaya alam di Aceh termasuk bidang kehutanan sesuai dengan kewenangannya meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksplotasi, dan budidaya. Sementara berdasarkan pasal 165 bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupatenkota sesuai dengan kewenangannya, dan berdasarkan norma, standar, dan prosedur yang berlaku nasional berhak memberikan izin konversi kawasan hutan, dan izin yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengusahaan hutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai izin tersebut diatur dengan qanun. Selanjutnya pada pasal 262 dalam ketentuan peralihan Undang-Undang Pemerintah Aceh, ditegaskan bahwa izin pengusahaan hutan dalam KEL di Wilayah Provinsi Aceh yang telah dikeluarkan, dinyatakan tetap berlaku, ditinjau kembali, danatau disesuaikan dengan undang-undang ini paling lambat 6 bulan sejak undang-undang ini diundangkan. Sehubungan dengan ulasan pada ayat-ayat yang terdapat pada pasal 156 UUPA dapat dikatakan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupatenkota berhak, berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengelola sumberdaya alamnya, termasuk sumberdaya kehutanan. Namun sebenarnya menyangkut dengan pengelolaan kawasan ekosistem Leuser Pemerintah melalui sebuah Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1998 tentang pengelolaan kawasan ekosistem Leuser, yang memberikan wewenang kepada Yayasan Leuser Internasional YLI, dan Unit Manajemen Leuser UML untuk melakukan 121 Pengelolaan Kawasan Ekosisten Leuser. Selanjutnya Pemerintah Aceh menindaklanjuti amanat dari pasal 150 dalam UUPA Nomor 11 Tahun 2006, dalam hal ini Gubernur Aceh menerbitkan sebuah Peraturan Gubernur Pergub Nomor 52 tahun 2006 tentang Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser BPKEL. Oleh karena itu kondisi pengelolaan kawasan ekosistem Leuser sudah terjadi tumpang tindih pengelolaan, yaitu antara Yayasan Leuser Internasional YLI dan Unit Manajemen Leuser dengan Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser BPKEL. Disamping itu dalam kawasan ekosistem Leuser juga terdapat kawasan Taman Nasional Gunung Leuser TNGL, yang dikelola oleh Balai TNGL.

5.3.1.4. Pergub Aceh No 522006 tentang BPKEL

Menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Pemerintah Aceh membentuk Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser BPKEL melalui Pergub No 52 tahun 2006. Dalam hal ini badan tersebut mendesak dilakukan untuk menghindari kekosongan tanggung jawab pengelolaan KEL yang telah diserahkan pengelolaannya kepada Pemerintah Aceh. BPKEL merupakan badan non struktural yang memberikan pertimbangan, melakukan pengelolaan dan dukungan kepada Pemerintah Aceh menyangkut kebijakan pemerintah daerah dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. Wilayah KEL sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 33 tahun 1999 tentang KEL. Disamping itu BPKEL bersifat otorita dan bertanggung jawab kepada Gubernur. Tugas BPKEL adalah; 1 Mempersiapkan rencana pengelolaan KEL, yang meliputi pelestarian dan pengamananperlindungan kawasan, pemulihan fungsi kawasan, pemantauan, serta pemanfaatan jasa lingkunganekologis secara lestari, 2 Melakukan sosialisasi tapal batas Kawasan Ekosistem Leuser bersama-sama dengan unsur masyarakat dan instansi terkait, mendukung penegakan hukum terhadap pelanggaran di dalam KEL, 3 Mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam pengawasan KEL, 4 Mempersiapkan peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan pengelolaan KEL, 5 Merumuskan berbagai arahan kebijakan dalam bidang pemanfaatan kawasan yang berkelanjutan, 6 Melaksanakan 122 pemanfaatan KEL secara lestari, 7 Mengatur dan mengupayakan penjualan carbon credit , 8 Melakukan kerjasama dengan Institusi dan atau pihak terkait lainnya dalam rangka mendukung pengeloaan Kawasan Ekosistem Leuser, 9 Menyusun rencana dan pengelolaan keuangan yang berkaitan dengan pengelolaan KEL, dan 10 Melakukan program penataan pemukiman penduduk dalam KEL Selanjutnya wewenang dari BPKEL adalah: 1 Melaksanakan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari, 2 Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Pemerintah KabupatenKota dan pihak lainnya dalam pengelolaan KEL, 3 Mengatur perizinan untuk pemanfaatan KEL secara lestari, 4 Mengupayakan pendanaan untuk pengelolaan KEL, 5 Mengkoordinasikan penanganan penyelesaian masalah atau konflik di KEL, dan 6 Memberikan pengarahan serta saran pemecahannya. Berdasarkan uraian diatas bahwa Pemerintah Aceh memberikan wewenang kepada BPKEL untuk mengelola KEL. Disisi lain berdasarkan Undang-Undang 41 tahun 2009, Keputusan Gubernur Aceh No. 19 tahun 1999, dan SK Menhut No.172kpts-IIMenhut2002, bahwa pada Kawasan Ekosistem Leuser dengan luas 1,19 juta ha terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser TNGL, hutan lindung, hutan produksi, Taman Buru Liga Isaq, Cagar Alam Serba Jadi, dan areal penggunaan lain APL yang dapat dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan tersebut. Keberadaan Pergub ini tumpang-tindih dengan peraturan perundang-undangan yang lain. Disamping itu juga terjadi tumpang-tindih pengelolaannya, baik dengan Badan Pengelola TNGL, BKSDA, dan Dinas Kehutanan, baik ditingkat provinsi maupun kabupatenkota, bahkan akan terjadi konflik dilapangan dengan para pihak tersebut. Untuk itu keberadaan Pergub ini perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada, bahkan sebenarnya BPKEL dapat ditingkatkan menjadi BPSDAA Badan Pengelola Sumberdaya Alam Aceh yaitu suatu badan yang mengelola kawasan konservasi yang terdapat di Wilayah Aceh. 123

5.3.1.5. Qanun No 142002 tentang Kehutanan

Sebagai payung hukum dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya hutan adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Selanjutnya pemerintah juga mengeluarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada dasarnya undang-undang ini memberikan kesempatan yang lebih luas bagi Provinsi Aceh dalam mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam, antara lain sumberdaya hutan. Dengan semangat kedua undang-undang tersebut diatas, maka Pemerintah Aceh menerbitkan sebuah Qanun Nomor 14 Tahun 2002 tentang Kehutanan. Selanjutnya setelah keluarnya Undang-undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006, dan sebelum adanya Qanun yang baru tentang kehutanan, maka sampai saat ini Pemerintah Aceh sebagai payung hukum masih menggunakan Qanun Nomor 14 Tahun 2002 tentang Kehutanan. Sebenarnya beberapa ketentuan yang termaktub dalam pasal dan ayat-ayat yang terdapat pada Qanun Nomor 14 Tahun 2002, jika dilihat dari materinya tidak banyak terdapat perbedaan dengan materi-materi yang diatur dalam Undang- Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan. Perbedaannya hanya terdapat tentang penunjukan atau penetapan kawasan hutan untuk pengembangan Keistimewaan Aceh. Dalam hal ini khusus pada Pasal 7 ayat 2 Qanun Kehutanan. Qanun lainnya yang berkaitan dengan kehutanan adalah Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Misalnya dalam pasal 18 Qanun Pemerintahan Mukim, disebutkan bahwa harta kekayaan mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang kemudian dikuasai mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala danau, laut, gunung, rawa, payau dan lain-lain yang menjadi ulayat mukim sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang- undangan yang berlaku.

5.3.1.6. Ingub Aceh No. 05Instr2007 Tentang Moratorium Logging

Salah satu amanat dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006, bahwa Pemerintah Aceh mempunyai kewenangan dalam melakukan 124 perencanaan, implementasi, pemanfaatan, dan pengawasan dalam hal pengelolaan sumberdaya alamnya dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu dengan semangat UUPA tersebut Pemerintah Aceh menerbitkan sebuah kebijakan melalui Intruksi Gubernur Ingub Nomor 05Instr2007, tanggal 6 Juni 2007 tentang penghentian sementara penebangan hutanjeda balak moratorium logging. Pada saat pencanangan Moratorium logging tanggal 5 Juni 2007 Gubernur Aceh berjanji bahwa akan menindak tegas siapapun pelanggar kebijakan moratorium logging . Peninjauan kembali status hutan yang berlaku sekarang tutupan hutan, konversi hutan, dan kapasitas produksi hutan, menata ulang pembangunan kehutanan, dan strategi pengelolaannya zonasi hutan, kerangka kerja kebijakan, dan kerangka kerja kelembagaan; dan melakukan kembali kebijakan tentang mekanisme pencegahan kerusakan hutan yang lebih tegas dan efektif. Pada dasarnya kebijakan moratorium logging di Provinsi Aceh bermaksud sebagai waktu jedajeda balak untuk membenahi dan menata kembali semua persoalan dan pemasalahan hutan dan kehutanan Aceh, baik menyangkut permasalahan biofisik meninjau dan menata kembali arahan fungsi hutan yang ada saat ini dan persoalan kelembagaan berupa aturan main dan organisasi kehutanan Aceh, juga termasuk persoalan sistem pengelolaan hutan Aceh yang lebih baik dimasa yang akan datang, yang sesuai dengan karakteristik sumberdaya hutan dan karakteristik sosial budaya, bahkan sampai kepada penentuan hak kelola rakyat. Kebijakan moratorium logging sudah lebih kurang 4 tahun diterapkan, di Provinsi Aceh, sebenarnya persoalan dan permasalahan hutan dan kehutanan Aceh sudah selesai ditata, yang ditandai dengan tidak lagi terjadinya illegal logging , perambahan hutan, dan sudah jelas hak kelola rakyat, serta sudah jelasnya arah dan kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan. Namun kenyataannya sampai saat ini belum jelasnya arah dan kebijakan pengelolaan hutan, bahkan dilapangan persoalan illegal logging dan perambahan hutan dari hari kehari semakin marak berlangsung. 125 Salah satu tujuan Pemerintah Aceh mengeluarkan kebijakan melalui Intruksi Gubernur Aceh tentang moratorium logging di Aceh adalah untuk menata kembali sumberdaya hutan Aceh. Sebagai langkah konkrit untuk mewujudkan tujuan moratorium logging tersebut Pemerintah juga menerbitkan sebuah kebijakan melalui Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 522.15342007 Tanggal 31 Oktober 2007 tentang Redesain Hutan Aceh.

5.3.2. Kewenangan Pengelolaan Hutan

Beberapa hasil content analisis terhadap berbagai peraturan perundang- undangan mengenai kewenangan Propinsi Aceh dan Kabupaten Kota terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan menunjukkan bahwa Pemerintah Aceh dan Pemerintah KabupatenKota berdasarkan Pasal 156 Undang-undang No. 112006 tentang Pemerintahan Aceh UUPA mempunyai kewenangan mengelola sumber daya alam, termasuk sumberdaya hutan di Aceh, meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan. Di pihak lain, kewenangan tersebut ditetapkan, menyangkut: a. izin konversi kawasan hutan, dan b. izin yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengusahaan hutan Pasal 165, UUPA. Adanya dua ketentuan di dalam dua pasal tersebut masih menimbulkan perbedaan interpretasi antara Biro Hukum Kementerian Kehutanan DepHut dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Dishutbun Propinsi Aceh. Biro Hukum KemenHut menganggap kewenangan Aceh dibatasi seperti pada Pasal 165, sedangkan Dishutbun Aceh memegang Pasal 156. Lebih lanjut Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh dan Pemerintah KabupatenKota untuk melakukan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser Pasal 150, UUPA. Ketentuan ini menunjukkan bahwa kewenangan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser pada dasarnya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat, namun pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah KabupatenKota. Dalam hal ini, UUPA menegaskan bahwa pelaksanaan sejumlah kewenangan tersebut harus mengacu pada rencana pembangunan dan tata ruang nasional dan berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, pelestarian fungsi lingkungan hidup, kemanfaatan, dan keadilan. Selain itu, Pemerintah Aceh dan Pemerintah KabupatenKota berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi serta menegakkan hak masyarakat 126 terhadap pengelolaan lingkungan hidup dengan memberi perhatian khusus kepada kelompok rentan. Sementara itu sampai saat ini belum jelasnya kewenangan Provinsi dan KabupatenKota dalam bidang kehutanan, dan sejauh ini belum terdapat Qanun yang mengaturnya. Pada Gambar 10, disajikan kewenangan pengelolaan hutan Gayo Lues. Gambar 10. Kewenangan Pengelolaan Hutan Gayo Lues Berdasarkan Gambar 10, terlihat bahwa terdapat beberapa kebijakan yang tumpang tindih dan lembaga pengelolaan sumberdaya hutan, baik lembaga- lembaga daerah maupun lembaga-lembaga pusat yang ada didaerah. Dengan tumpang tindihnya kebijakan dan kelembagaan pengelolaan sumberdaya hutan Gayo Lues, berimplikasi pada lemahnya kapasitas lembaga pengelola kehutanan untuk mempersiapkan prakondisi pengelolaan sumberdaya hutan tersebut, terjadi saling menunggu dan kevakuman atau ketiadaan serta ketidak jelasan pengelolaan hutan di tingkat tapaklapangan, sehingga terjadi open acces. Disamping itu persoalan ini disebabkan oleh lemahnya koordinasi dan perbedaan kepentingan antar lembaga-lembaga pengelola hutan. Dalam konteks penyelengaraan pengelolaan sumberdaya hutan Gayo Lues setelah pemberlakuan UUPA No 11 PEMERINTAH PUSAT UUPA No 112006 GUBERNUR ACEH DISHUTBUN ACEH QANUN 5 2007 PP No. 38 412007 ? DISHUTBUN GAYO LUES PERGUB 522006 BPKEL KEPRES 331998 YLI TNGL BKSDA, BPDAS BP2PHP UU KEHUTANAN 411999 K E L KAB. LAIN HUTAN GAYO LUES A P L

H. PRODUKSI T N G L

H. LINDUNG

PERGUB 191999 SK MENHUT 1702000 127 tahun 2006, koordinasi antara lembaga-lembaga pengelola kehutanan di daerah, dan lembaga-lembaga pusat yang ada didaerah sebenarnya sangat penting, namun koordinasi ini tidak berjalan. Dalam hal ini menurut Kartodihardjo 2006 seringkali upaya perubahan kelembagaan dalam hal ini aturan main dan instrumennya, tidak diikuti oleh perubahan landasan filosofi dan kerangka pikir yang digunakan, akibatnya peraturan bertambah, lembaga bertambah, nama lembaga seringkali diubah, tetapi tipe kebijakan yang dijalankan tidak berubah, sehingga tidak pula mengubah kinerja di lapangan. Berdasarkan uraian tersebut menggambarkan bahwa pelaksanaan desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan Gayo Lues dalam rangka otonomi khusus ternyata belum mampu menjalankan pengelolaan sumberdaya hutan tersebut dengan baik. Hal ini berarti tidak sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Ostrom, et al. 1993 dalam Kartodihardjo 2006, bahwa desentralisasi akan mengurangi biaya transaksi, perencanaan, dan pengelolaan, karena adanya kedekatan pengambilan keputusan dengan masalah yang dihadapi masyarakat.

5.3.3 InstansiLembaga Pengelolaan Hutan Aceh

Untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan, yaitu melalui upaya pemanfaatan sumberdaya hutan secara optimal, dengan mempertimbangkan aspek ekologi, ekonomi dan aspek sosial, tentunya diperlukan lembaga-lembaga pengelola yang profesional. Rincian lembaga-lembaga pemerintah dan non pemerintah, baik lembaga pusat yang ada didaerah, maupun lembaga-lembaga daerah, di disajikan pada Tabel 50. Lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan Aceh adalah terdiri lembaga resmi pemerintah, dan lembaga-lembaga non pemerintah. Lembaga-lembaga ini pada dasarnya bekerja dan bertanggung jawab untuk mewujudkan pengelolaan hutan Aceh kearah yang lebih baik, sehingga hutan Aceh akan lestari dan dapat mensejahterakan kehidupan masyarakat, terutama masyarakat sekitar hutan. Disamping itu juga untuk mewujudkan semua fungsi hutan sesuai yang diamanahkan oleh undang-undang. 128 Tabel 50. Lembaga Pengelolaan Hutan Aceh No Lembaga Keterangan Pemerintah Non Pemerintah 1. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Yayasan Leuser Internasional YLI, dan Unit Manajemen Leuser UML YLI dan UML hanya di wilayah Ekosistem Leuser 2. Balai Konservasi Sumberdaya Alam BKSDA Flora Fauna Internasional FFI hanya diwilayah Ulu Masen 3. Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser BTNGL World Wide Foundation WWF Indonesia 4. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai BPDAS Consevatian International Indonesia CII 5. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi BPHHP Wilayah I Wahana Lingkunganh Hidup Indonesia 6. Badan PengelolaaKawasan Ekosistem Leuser BPKEL Aceh Green BPKEL, khusus wilayah Ekosistem Leuser Berdasarkan Tabel 50, terlihat bahwa dari 6 lembaga pemerintah sebagai penyelenggara urusan kehutanan adalah hanya 2 lembaga yang merupakan Lembaga Pemerintah Aceh, yaitu Dinas Kehutanan dan Perkebunan, dan Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser BPKEL. Sedang 4 lembaga lainnya yaitu: BKSDA, BTNGL, BPDAS, dan BPHHP merupakan lembaga pemerintah pusat. Disamping lembaga resmi pemerintah juga terdapat beberapa lembaga non pemerintah yang ikut serta dalam pengelolaan sumberdaya hutan di Provinsi Aceh, termasuk di Kabupaten Gayo Lues. Oleh karena itu menurut Wiratno 2008 dalam Taqwaddin 2010 sangat menarik untuk memetakan peran dan tanggung jawab masing-masing lembaga tersebut untuk mengetahui sebaran, wilayah kerja, masing-masing lembaga, apakah terdapat tumpang tindih, saling klaim, duplikasi, dan sebagainya. Selanjutnya perkembangan organisasi kehutanan di Propinsi Aceh yaitu sebelum otonomi khusus berjalan, seluruh perangkat organisasi pengelolaan hutan di Provinsi NAD dibentuk berdasarkan peraturan-perundangan yang berlaku secara nasional. Pada era ini, rencana pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser KEL ditetapkan oleh Menteri Kehutanan berdasarkan Keppres No. 331998 129 mengenai Pengelolaan KEL. Dalam pelaksanaannya, pemerintah bekerjasama dengan Yayasan Leuser Internasional YLI. Setelah UU No 11 Tahun 2006 UUPA berlaku tanggal 1 Agustus 2006, Gubernur NAD menerbitkan Peraturan Gubernur No. 522006 tanggal 28 Nopember 2006 mengenai Pembentukan Badan Pengelola KELBPKEL Wilayah Aceh. Dalam Peraturan Gubernur ini disebutkan bahwa BPKEL dibentuk sebagai satuan organisasi non struktural yang mempunyai otoritas untuk melakukan perencanaan pengelolaan KEL dan pelaksanaannya. Kawasan Ekosistem Leuser ditetapkan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 190Kpts-II2001 tentang Pengesahan Batas KEL. Berdasarkan Qanun No 52007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Dinas Kehutanan dan Perkebunan dibentuk bersama-sama dengan Dinas Pertambangan dan Energi, Dinas Kelautan dan Perikanan, serta Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Seluruh Dinas-Dinas tersebut dapat membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah UPTD. Pembentukan Organisasi Pemerintah KabupatenKota belum terdapat Qanun yang mengatur. Dari perkembangan yang telah ada, KabupatenKota di Aceh mengikuti PP. No 382007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah KabupatenKota dan PP No. 412007 tentang Organisasi Perangkat Daerah sebagai acuan.

5.4. Analisis Strategis Pengelolaan Hutan Gayo Lues

Analisis strategis ditujukan untuk menemukan peubah-peubah strategis faktor internal unsur kekuatan dan kelemahan, faktor eksternal unsur peluang dan ancaman, dan nilai pengaruhnya terhadap sistem pengelolaan sumberdaya hutan Gayo Lues. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis strategis untuk masing- masing sistem pengelolaannya secara lengkap disajikan dalam uraian berikut ini; 5.4.1. SWOT Hutan Alam Campuran 5.4.1.1. Analisis Faktor Internal Kekuatan Berdasarkan hasil analisis strategis ditemukan lima variabel kekuatan dan nilai pengaruhnya masing-masing terhadap program pengelolaan hutan alam campuran, yang rinciannya disajikan pada Tabel 51. Variabel kekuatan ini 130 sebagai modal dasar yang harus dipertahankan, dan ditingkatkan perannya agar pelaksanaan pengelolaan hutan alam campuran tersebut dapat berhasil. Tabel 51. Variabel Faktor Internal Kekuatan dan Nilai Pengaruhnya Terhadap Pengeloaan Hutan Alam Campuran No PeubahVariabel Nilai Pengaruh 1. Tersedia hutan alam campuran S1 1,317 2. Potensi kayu komersil tinggi S2 0,550 3. Sudah tersedia sistem silvikultur untuk hutan alam S3 0,421 4. Teknologi eksploitasi sudah dikuasai S4 0,170 5. Dukungan pemerintah pusat dan daerah kuat S5 0,142 Jumlah 2,600 Berdasarkan data pada Tabel 51, terlihat bahwa baik nilai bobot, rating dan nilai pengaruh untuk setiap unsur variabel kekuatan terhadap sistem pengelolaan hutan alam campuran sangat bervariasi, dimana total nilai pengaruhnya sebesar 2,600. Uraian untuk setiap unsur variabel kekuatan menurut tingkatan nilai pengaruhnya, disajikan secara rinci di bawah ini : 1 Tersedianya hutan alam campuran Variabel ini merupakan faktor kekuatan utama dalam pengelolaan hutan alam campuran dengan nilai pengaruh sebesar 1,317. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 19 Tahun 1999 tentang Arahan Fungsi Hutan, bahwa hutan produksi di Gayo Lues seluas 45.190 ha, 32.386,94 ha merupakan hutan alam campuran. Untuk itu di Gayo Lues cukup tersedia hutan alam campuran, dan layak untuk dikelola secara profesional. 2 Potensi kayu komersil tinggi Variabel internal kekuatan kedua dalam pengelolaan hutan alam campuran adalah terdapat potensi berbagai jenis kayu komersil. Pada sumberdaya hutan Gayo Lues terdapat hutan alam campuran yang terdiri dari berbagai jenis kayu komersil yang mempunyai nilai ekonomi, terutama dari famili Dipterocarpaceae. Keberadaan potensi kayu komersil ini jika dikelola secara lestari, tentunya akan dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu untuk berbagai keperluaan, terutama untuk kebutuhan lokal, dan menjadi aset Gayo Lues yang dapat digunakan untuk pembangunan Gayo Lues dan pemberdayaan masyarakat.