Analisis Persepsi Masyarakat U

112 Tabel 49. Rata-Rata Persepsi Masyarakat Berdasarkan Aspek Pertanyaan No Pertanyaan Nilai Skor Kategori Persepsi 1. Manfaat sumberdaya hutan bagi masyarakat 4,21 Tinggi 2. Pentingnya melestarikan sumberdaya hutan 4,16 Tinggi 3. Pentingnya kejelasan batas kawasan hutan 3,37 Sedang 4. Larangan perambahan dan pengambilan sumberdaya alam dari hutan 2,36 Rendah 5. Pengelolaan sumberdaya hutan oleh pihak lain 2,14 Rendah 6. Pengetahuan tentang peraturan perundang-undangan 1,94 Rendah 7. Pemberdayaanpenyuluhan kepada masyarakat 1,91 Rendah Berdasarkan data pada Tabel 49, menunjukkan bahwa rata-rata nilai skor, dan kategori persepsi masyarakat terhadap 7 aspek pertanyaan dalam kaitannya dengan keberadaan sumberdaya hutan Gayo Lues mulai dari nilai skor 1,91 kategori persepsi rendah sampai 4,21 kategori persepsi tinggi. Secara keseluruhan tingkat persepsi masyarakat untuk semua aspek pertanyaan didominasi oleh tingkat persepsi rendah 43,44 , diikuti dengan tingkat persepsi tinggi yaitu 30,30 , dan untuk tingkat persepsi sedang hanya 26,26 . Selanjutnya peringkat persepsi masyarakat terhadap berbagai aspek pertanyaan dalam kaitannya dengan keberadaan dan pengelolaan sumberdaya hutan Gayo Lues adalah sangat bervariasi yaitu mulai dari kategori sangat tidak setuju sampai dengan kategori sangat setuju. Keberadaan sumberdaya hutan sangat berarti bagi kehidupan masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal sekitar hutan. Dalam hal ini berbagai macam hasil hutan baik flora maupun fauna dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berbagai macam keperluan, dan yang lebih penting adalah hutan dapat mengatur tata air yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, yaitu baik untuk air sawah, air untuk keperluan rumah tangga dan air yang digunakan untuk sumber pembangkit tenaga listrik. Untuk itu secara keseluruhan respondenmasyarakat mempunyai kategori persepsi tinggi dengan nilai skor 4,21 terhadap manfaat sumberdaya hutan bagi masyarakat. Menurut Mubyarto 2005 kehidupan masyarakat desa di pinggir hutan pada umumnya tidak dapat dipisahkan dengan ekosistemnya. Hubungan kekerabatan antar warga desa dan hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya memberikan ciri khas kehidupan di 113 desa. Untuk itu masyarakatresponden sangat mendukung persepsi tinggi dengan nilai skor 4,16 untuk pelestarian keberadaan sumberdaya hutan Gayo Lues. Disisi lain Tingkat persepsi masyarakatresponden untuk masing-masing desa sampel terkait dengan pemberdayaan oleh para pihakpemerintah menunjukkan persepsinya rendah dengan nilai skor 1,91. Dalam hal ini menurut responden bahwa para pihak, terutama pihak pemerintah belum melakukan kegiatan pemberdayaan, dan penyuluhan kepada mereka, terutama yang berkaitan dengan kehutanan dan lingkungan. Hal ini ini ditunjukan oleh karakteristik masyarakatresponden dengan masih rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Nasendi dan Machfud 1996 bahwa keadaan sosial ekonomi masyarakat desa sekitar hutan relatif rendah, antara lain disebabkan oleh rendahnya tingkat pendapatan, tingkat pendidikan dan tingkat kesadaran akan fungsi hutan. Kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan akan sangat menentukan keberhasilan pengelolaan hutan pemanfaatan dan pelestarian hutan. Masalah deforestasi, degradasi, kebakaran, pencurian hasil hutan dan tekanan-tekanan terhadap hasil hutan lainnya merupakan tantangan dan ancaman yang dapat timbul sebagai akibat dari permasalahan sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan yang seharusnya dikembangkan dan diakomodasikan dengan tepat serta terarah dalam kegiatan pengelolaan hutan. Pada dasarnya masyarakat menyadari tentang dampak yang akan terjadi jika hutan mengalami kehancuran, apa lagi beberapa tahun yang lalu di Kabupaten Gayo Lues khususnya di Kecamatan Pining terjadi musibahbencana banjir bandang, yang berakibat pada merenggut beberapa korban jiwa, dan hilangnya harta bendanya. Namun dengan masih rendahnya kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan Gayo Lues, dan belum terberdayanya masyarakat, dan tidak terdapatnya pekerjaan lain yang lebih layak bagi masyarakat, maka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, bagi masyarakat tidak ada pilihan lain, kecuali dengan memanfaatkan sumberdaya hutan yang terdapat disekitar mereka, baik berupa melakukan kegiatan illegal logging, pembukaan lahan, dan pemanfaatan sumberdaya hutan lainnya. Disamping itu masyarakat mempunyai keyakinan bahwa sumberdaya hutan yang merupakan Anugerah Allah SWT, yang sudah dimiliki oleh mereka secara turun-temurun tidak akan 114 terganggu jika lahan hutan hanya digunakan oleh masyarakat sekitar. Untuk itu persepsi masyarakat terkait dengan larangan perambahan dan pengambilan sumberdaya alam dari hutan adalah termasuk kategori rendah yaitu dengan nilai skor 2,36. Untuk itu, menyatakan bahwa masyarakat didalam dan sekitar hutan harus lebih diperhatikan dalam pembangunan sektor kehutanan dalam pengelolaanpengusahaan hutan, karena mereka adalah bagian atau unsur dari ekosistem hutan yang saling tergantung. Mereka memiliki kekuatan yang sangat besar, yang apabila tidak diperhatikan dapat menjadi kekuatan perusak yang sangat dahsyat, sebaliknya bila diperhatikan dapat menjadi kekuatan pendukung yang juga sangat dahsyat Darusman,1993 Berdasarkan jawaban para responden yang tertera pada Lampiran 23 terkait dengan pentingnya kejelasan batas kawasan hutan menunjukkan bahwa dari 11 desa sampel ternyata 9 desa sampel mempunyai kategori persepsi sedang, dan hanya 1 desa dengan kategori persepsi rendah, dan tinggi. Selanjutnya secara keseluruhan rata-rata persepsi masyarakat Gayo Lues terhadap pentingnya kejelasan tata batas kawasan hutan dengan nilai skor 3,73 kategori persepsi sedang. Sedangkan berdasarkan jumlah responden 220 menunjukkan bahwa 45,91 menyatakan perlu adanya tata batas kawasan hutan secara jelas, 30,46 jawabannya ragu-ragu, dan hanya 23,64 saja yang menyatakan tidak perlu adanya tata batas kawasan hutan. Bagi responden yang berpersepsi diperlukannnya kejelasan tata batas yang jelas tentang kawasan hutan agar masyarakat secara umum bisa mengetahui batas kawasan hutan dengan wilayah yang boleh dikelola oleh masyarakat, dan bagi responden yang jawabannya ragu- ragu berpendapat bahwa ada tidaknya tanda batas yang jelas menyangkut dengan kawasan hutan tidak begitu berpengaruh, dimana selagi kondisi sosial ekonomi masyarakat belum baik, pendapatan rendah, kesejahteraan rendah, serta kebiasaan masyarakat untuk melakukan kegiatan pembukaan lahan untuk berladang secara berpindah-pindah belum berubah, maka adanya tata batas yang jelas tidak bermakna, masyarakat masih tetap melakukan kegiatan dan memanfaatkan hasil hutan yang terdapat dalam kawasan hutan. Sedangkan bagi masyarakat dengan jawaban tidak perlu adanya tata batas hutan berpendapat bahwa hutan adalah Anugerah Allah SWT yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan, 115 disamping itu keterkaitan dan ketergantungan masyarakat pada hutan sudah berlangsung secara terun-temurun, dengan kata lain hutan yang berada sekitar kampung merupakan milik masyarakat. Menyangkut dengan pemahaman dan pengetahuan masyarakat terhadap berbagai peraturan perundang-undangan terkait hutan dan kehutanan menunjukkan bahwa semua desa sampel 11 desa mempunyai kategori persepsi rendah dengan nilai skor 1,85 – 2,30. Hal ini berarti para respondenmasyarakat belum pernah memahami dan mengetahui berkaitan dengan semua peraturan dan perundang-undangan yang berlaku dalam kaitannya dengan keberadaan sumberdaya hutan di Gayo Lues. Namun demikian berdasarkan peringkat persepsi skala likert menunjukkan 79,09 responden tidak mengetahui sama sekali tentang peraturan dan perundang-undangan kehutanan, 10,91 menjawab dengan ragu-ragu, dan hanya 10 saja para responden yang sedikit memahami dan mengetahui tentang peraturan dan perundang-undangan yang berlaku tentang kehutanan. Bagi sebagian masyarakat Gayo Lues, terutama masyarakat sekitar hutan, bahwa keberadaan hutan merupakan suatu Anugerah yang perlu dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Disisi lain keberadaan arahan fungsi hutan saja kebanyakan dari masyarakat tidak memahaminya, apalagi yang berkaitan dengan larangan yang tidak boleh dilakukan pada kawasan hutan, dan peraturan-perundang-undangan lainnya. Selanjutnya keberadaan Kepres No. 33 tahun 1998 tentang kawasan ekosistem Leuser, dimana dalam wilayah KEL tidak dibolehkan ada kegiatan, sementara berdasarkan peta KEL terlampir pada Lampiran 25 bahwa hampir sebagian besar desa di Gayo Lues termasuk dalam wilayah KEL. Ketidak pahaman masyarakat Gayo Lues terhadap peraturan dan perundang-undangan yang terkait dengan sumberdaya hutan dikarenakan selama ini para pihak belum pernah melakukan penyuluhan kepada masyarakat, terutama kepada masyarakat yang tinggal disekitar hutan. Selanjutnya terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan oleh pihak lain, ternyata persepsi masyarakat tergolong rendah dengan nilai skor 2,14. Para respondenmasyarakat mengkhawatirkan jika hutan dikelola dan dikuasai oleh pihak lain, tentunya akan kehilangan lahan sebagai tempat mereka berladang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini dikarenakan ketertinggalan dari segi 116 ekonomi menyebabkan timbulnya sikap resistensi dari masyarakat terhadap pihak luar yang mengelola hutan, sikap inilah yang merupakan potensi laten terjadinya konflik dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Menurut Nugraha 1999 konflik dengan masyarakat sekitar hutan dapat terjadi karena selama ini pembangunan kehutanan belum memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Secara umum masyarakat merasakan manfaat dari sumberdaya hutan bagi kehidupan mereka, dan keberadaan sumberdaya hutan tersebut perlu untuk dilestarikan, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perilaku masyarakat masih bersifat negatif yaitu masih terdapat gangguan, antara lain kegiatan perambahan lahan, illegal logging, dan perburuan satwa, dan gangguan- gangguan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan antara persepsi masyarakat dengan perilaku di lapangan. Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Widada 2004 dimana persepsi masyarakat desa penyangga positif terhadap pelestarian Taman Nasional Gunung Halimun TNGH, namun dalam prakteknya masih menunjukkan perilaku yang negatif. Menurut Hennessy 1990, bahwa ketidak selarasan antara pendapat dan perilaku merupakan fakta yang biasa dalam kehidupan. Dalam hal ini perilaku merupakan sesuatu yang kompleks, dan tidak bersifat linier. Persepsi, sikap dan pendapat seseorang dikaitkan dengan perilakunya, sangat dipengaruhi lingkungan dan situasi. Perilaku masyarakat terhadap keberadaan sumberdaya hutan tidak hanya dipengaruhi oleh persepsi, tetapi menurut Harihanto 2001 juga dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain; 1 Jarak rumah dengan sumberdaya hutan, 2 jenis pekerjaan, 3 ketergantungan terhadap sumberdaya hutan, 4 status dan peran sosial, 5 pemahaman dalam menginterpretasi ajaran agama, 6 kebiasaan hidup, 7 interpretasi terhadap norma-norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat, 8 pendangan mengenai konsekwensi atau akibat dari perilaku terhadap sumberdaya hutan, 9 pandangan mengenai panutannya, 10 kemampuan ekonomi, 11 motivasi, dan 12 sikap. Kesenjangan antara persepsi dengan perilaku negatif masyarakat sekitar hutan gayo Lues diperkirakan karena tidak adanya pilihan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan karena secara individu-individu mempunyai 117 pandangan yang sempit dan pendek dalam lingkup waktu dan ruangan. Sedangkan Suparmoko 1995 menjelaskan bahwa semakin miskin seseorang akan cenderung semakin pendek dan sempit dalam mempertimbangkan keputusan yang diambilnya. Untuk itu karena kemiskinannya dan rendahnya sosial ekonominya maka masyarakat sekitar hutan Gayo Lues cenderung memikirkan pemenuhan kebutuhan yang paling mendesak jangka pendek untuk kebutuhan pribadi dan keluarganya sendiri. Dalam kondisi seperti ini, biasanya dampak negatif jangka panjang yang akan terjadi akan dikesampingkan. Oleh karena itu walaupun persepsi masyarakat Gayo Lues terkait dengan manfaat dan pelestarian hutan tergolong tinggi, namun kenyataannya masih berperilaku negatif terhadap pelestarian sumberdaya hutan gayo Lues. Hasil penelitian ini juga sama dengan hasil penelitian Budiono 2006 bahwa sebagaian besar petani tepi hutan adalah petani subsistem yang memiliki potensi sebagai pelestari, namun belum cukup kompoten khususnya dibidang teknis kehutanan, sosial ekonomi, dan pertanian konservasi. Potensi perilaku petani dalam mengelola hutan lindung bermotifkan pemenuhan ekonomi jangka pendek, mengelola komoditi non kehutanan, dan mengabaikan teknis kehutanan, serta pemanfaatan lahan dengan mengabaikan pertanian konservasi.

5.3. Analisis Kebijakan dan Kelembagaam

Kebijakan mempunyai pengertian yang sangat bervariasi tergantung dari sudut pandangnya. Dye 1978 dalam Sutrisno 2011 mengidentifikasikan kebijakan publik sebagai “apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan”. Laswell 1971 dalam Wahab 2008 memberikan arti kebijakan sebagai program yang memiliki sasaran, nilai dan dapat dilaksanakan. Berdasarkan Undang-Undang No 25 Tahun 2004 tentang sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, bahwa kebijakan adalah arahtindakan yang diambil oleh Pemerintah PusatDaerah untuk mencapai tujuan. Sedangkan kebijakan daerah, menurut Undang-Undang No 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, adalah peraturan daerah atau Keputusan Gubernur yang bersifat mengatur dan mengikat dalam penyelenggaraan keistimewaan. 118 Dalam pembahasan ini, lingkup kebijakan yang dimaksud hanya dibatasi yang berkaitan dengan peraturan perundangan dan kelembagaan. Untuk itu masalah kebijakan, yaitu segala sesuatu yang akan dicari solusinya, mempunyai lingkup luas dan tidak sekedar obyek teknis kehutanan. Rumusan masalah kebijakan menjadi sangat penting dalam pembuatan kebijakan. Keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah memerlukan penemuan solusi yang tepat terhadap masalah yang juga tepat. Kita lebih sering gagal, karena kita memecahkan suatu masalah yang salah, daripada menemukan solusi yang salah terhadap masalah yang tepat Ackoff, 1974; Dunn, 2000. Peraturan-perundangan yang dianalisis dalam penelitian ini yaitu yang terkait dengan kewenangan bidang kehutanan Provinsi Aceh Gayo Lues, sedangkan kelembagaan kehutanan yang dianalisis adalah kelembagaan kehutanan saat ini dan usulannya ke depan.

5.3. 1. Peraturan Perundang-Undangan

Kebijakan atau peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kewenangan pengelolaan hutan Gayo Lues, baik berupa undang-undang, keputusan presiden, keputusan menteri kehutanan, keputusan dan instruksi Gubernur Aceh, serta Qanun-Qanun peraturan daerah yang terkait dengan kehutanan uraiannya sebagai berikut :

5.3.1.1. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Berdasarkan hasil content analysis terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan kewenangan pengelolaan hutan Aceh hutan Gayo Lues adalah berdasarkan Undang-undang No. 41 tahun 1999, bahwa pemanfaatan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan, kecuali pada Cagar Alam, Zona Inti dan Rimba pada Taman Nasional pasal 24. Pemanfaatan kawasan ini harus melalui proses perizinan, baik izin usaha pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, kayu dan non kayu pasal 26 dan pasal 28. Berdasarkan Keputusan Gubernur Aceh No. 19 tahun 1999, dan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.172kpts-IIMenhut2002 terkait arahan fungsi hutan, bahwa sumberdaya hutan Gayo Lues terdiri dari Taman Nasional Gunung Leuser, hutan lindung, hutan produksi dan areal penggunaan lain APL. Untuk itu keberadaan sumberdaya hutan Gayo Lues tentunya dapat dikelola dan