61 endemik, yang keberadaannya pada saat ini ada yang sudah dan hampir punah.
Kekayaan keanekaragaman hayati ini terdapat pada semua arahan fungsi hutan, terutama pada kawasan konservasi. Keberadaan sumberdaya hutan ini dapat
menjaga keberlangsungan kehidupan yang lain, misalnya dapat menjamin sistem hidrologi, sehingga dampak akan terjadinya banjir tidak terjadi, mampu
menyimpan karbon, dalam rangka mengantisipasi pemanasan global dan perubahan iklim, serta banyak manfaat positif lainnya. Namun sampai saat ini
pemanfaatan sumberdaya hutan lebih dominan pada pemanfaatan hasil hutan kayu, sedangkan manfaat jasa lingkungannya
belum dioptimalkan pemanfaatannya. Oleh karena perlu dilestarikan dari kerusakan dan kepunahan,
agar dapat dinikmati dan menjadi warisan untuk generasi mendatang. Kegiatan perambahan dan illegal logging dari hari ke hari semakin
meningkat. Kegiatan ini bukan hanya terjadi di hutan produksi saja, tetapi lebih banyak terjadi pada kawasan konservasi. Sehingga akan berdampak pada
terjadinya perubahan akan tutupan lahan.
4.3.2. Taman Nasional Gunung Leuser TNGL
4.3.2.1. Sejarah Kawasan
Pada tahun 1920-an Pemerintah Kolonial Belanda memberikan izin kepada seorang ahli geologi Belanda bernama F.C. Van Heurn untuk meneliti dan
mengeksplorasi sumber minyak dan mineral yang diperkirakan banyak terdapat di Aceh. Setelah melakukan penelitian ternyata tidak ditemukan kandungan mineral
dan menyatakan bahwa pemuka adat setempat menginginkan agar mereka peduli terhadap barisan-barisan pegunungan berhutan lebat yang ada di Gunung Leuser.
Sebagai gantinya, Van Heurn mendiskusikan hasil pertemuannya dan menawarkan kepada para wakil pemuka adat para Datoek dan Oelee balang agar
mendesak Pemerintah Kolonial Belanda untuk memberikan status kawasan konservasi Wildlife Sanctuary. Setelah berdiskusi dengan Komisi Belanda
untuk Perlindungan Alam, pada bulan Agustus 1928 sebuah proposal disampaikan kepada Pemeintah Kolonial Belanda yang mengusulkan Suaka Alam di Aceh
Barat seluas 928.000 ha dan memberikan status perlindungan terhadap kawasan yang terbentang dari Singkil pada hulu Sungai Simpang Kiri di bagian selatan,
62 sepanjang Bukit Barisan, ke arah lembah Sungai Tripa dan Rawa Pantai
Meulaboh, di bagian utara. Proposal tersebut akhirnya direalisasikan pada tanggal 6 Februari 1934
dengan diadakannya pertemuan di Tapaktuan, yang dihadiri perwakilan pemuka adat dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pertemuan tersebut menghasilkan
“Deklarasi Tapaktuan”, yang ditandatangani oleh perwakilan pemuka adat dan Perwakilan Gubernur Hindia Belanda di Aceh pada saat itu Gouverneur van
Atjeh en Onderhoorigheden, Vaardezen. Deklarasi tersebut mulai berlaku mulai tanggal 1 Januari 1934 Deze regeling treedt in werking met ingang 1 Januari
1934. Deklarasi tersebut mencerminkan tekad masyarakat Aceh untuk melestarian kawasan Leuser untuk selamanya sekaligus juga diatur tentang sanksi
pidananya baik pidana penjara maupun pidana denda. Dalam salah satu paragrap Deklarasi Tapaktuan disebutkan sebagai berikut:
“Kami Oeloebalang dari landschap Gajo Loeos, Poelau Nas, Meuke’, labuhan Hadji, Manggeng, Lho’ Pawoh Noord, Blang Pidie, dan Bestuurcommissie dari
landschap Bambel, Onderafdeeling Gajo dan Alas. Menimbang bahwa perlu sekali diadakannya peratoeran yang memperlindungi segala djenis benda dan
segala padang-padang yang diasingkan boeat persediaan. Oleh karena itoe, dilarang dalam tanah persediaan ini mencari hewan yang hidoep,
menangkapnya, meloekainya, atau memboenoeh mati, mengganggoe sarang dari binatang-binatang itoe, mengeloerkan hidoep atau mati atau sebagian dari
binatang itoe lantaran itoe memoendoerkan banyaknya binatang” Pada tahun 1934, berdasarkan ZB No. 31735 tanggal 3 Juli 1934 dibentuk
Suaka Alam Gunung Leuser Wildreservaat Goenoeng Leoser dengan luas 142.800 ha. Selanjutnya berturut-turut pada tahun 1936, berdasarkan ZB No.
122AGR, tanggal 26 Oktober 1936 dibentuk Suaka margasatwa Kluet seluas 20.000 ha yang merupakan penghubung Suaka Alam Gunung Leuser dengan
Pantai Barat. Pada tahun 1938 dibentuk Suaka Alam Langkat Barat, Suaka Alam Langkat Selatan dan Suaka Alam Sekundur.
Pada masa setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1976, dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 69KptsUm121976, tanggal 10
Desember 1976 tentang Penunjukan Areal Hutan Kappi seluas 150.000 ha yang
63 terletak di Aceh Tenggara, Daerah Istimewa Aceh sebagai Suaka Margasatwa
Kappi. Keputusan tersebut diikuti dengan Pembentukan Instansi Kerja Sub Balai Pelestarian Alam Gunung Leuser pada tahun 1979.
Secara Yuridis Formal keberadaan Taman Nasional Gunung Leuser untuk pertama kali dituangkan dalam Pengumuman Menteri Pertanian Nomor:
811KptsUmII1980 tanggal 6 Maret 1980 tentang peresmian 5 lima Taman Nasional di Indonesia, termasuk TN. Gunung Leuser seluas 792.675 ha.
Untuk memberikan kepastian hukum bagi pengelola TNGL pada tahun 1982 telah dikeluarkan 2 dua Peraturan, yaitu: Keputusan Menteri Pertanian
Nomor: 923KptsUM121982 tentang luas wilayah TN. Gunung Leuser di Propinsi Sumatera Utara adalah 213.985 ha, dan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor: 924KptsUm121982 tentang Luas Wilayah TN. Gunung Leuser di Propinsi daerah Istimewa Aceh seluas 586,500 hektar.
4.3.2.2. Kondisi Tutupan Lahan TNGL
Berdasarkan hasil analisis citra landsat tahun 2009, bahwa jenis tutupan lahan di wilayah TNGL disajikan pada Tabel 24.
Tabel 24. Kondisi Tutupan Lahan TNGL. No
Jenis Tutupan Lahn Luas ha
1. Hutan primer
19.6854,57
97,03 2.
Hutan sekunder
984,02
0,49 3.
Hutan pinus
597,18
0,29 4.
Hutan kemiri 2.341,63
1,15 5.
Lahan terbukasemak belukar 624,06
0,31 6.
Pertania lahan kering 805,06
0,40 7.
Sawah 203,36
0,10 8.
Badan air 390,42
0,19 9.
Pemukiman 80,00
0,03 Total
202.880,30 100,00
Sumber: Analisis Citra Landsat Tahun 2009 Berdasarkan data pada Tabel 24, terlihat bahwa 97,03 dari luas wilayah
kawasan TNGL merupakan hutan primer Gambar 6, sedangkan hutan sekunder dan tutupan lahan lainnya secara keseluruhan hanya dibawah 4 . Hal ini
menunjukkan kondisi hutan di wilayah TNGL dapat disimpulkan masih utuh dan belum banyak terjadi gangguan. Namun demikian keberadaan TNGL perlu
diamankan dari berbagai gangguan, agar keberadaan TNGL dapat tercapai peran dan fungsinya.
64
Gambar 6. Kondisi Hutan Primer di TNGL Wilayah Gayo Lues
4.3.2.3. Flora dan Fauna
Formasi vegetasi alami di TNGL ditetapkan berdasarkan 5 kriteria, yaitu bioklimat zona klimatik ketinggian dengan berbagai formasi floristiknya.
Empat kriteria lainnya adalah hubungan antara komposisi floristik dengan biogeografi, hidrologi, tipe batuan dasar dan tanah. Van Steenis yang melakukan
penelitian pada tahun 1937 de Wilde W.J.J.O dan B.E.E.Duyfjes, 1996, membagi wilayah tumbuh-tumbuhan di TNGL atas 3 zona, yaitu :
a. Zona Tropika termasuk zona Colline, terletak 500 – 1000 meter dpl Zona Tropika merupakan daerah berhutan lebat ditumbuhi berbagai jenis
tegakan kayu yang berdiameter besar dan tinggi sampai mencapai 40 meter. Tegakan kayu tersebut digunakan sebagai pohon tumpangan dari berbagai
tumbuhan jenis liana dan epifit yang menarik, seperti anggrek, dan lainnya. b. Zona peralihan dari Zona Tropika ke Zona Colline dan Zona Sub-Montane
ditandai dengan semakin banyaknya jenis tanaman berbunga indah dan berbeda jenis karena perbedaan ketinggian. Semakin tinggi suatu tempat maka
pohon semakin berkurang, jenis liana mulai menghilang dan makin banyak dijumpai jenis rotan berduri.
65 c. Zona Montane termasuk zona sub montane, terletak 1000 – 1500 meter dpl
Zona montane merupakan hutan montane. Tegakan kayu tidak lagi terlalu tinggi hanya berkisar antara 10 – 20 meter. Tidak terdapat lagi jenis
tumbuhan liana. Lumut banyak menutupi tegakan kayu atau pohon. Kelembaban udara sangat tinggi dan hampir setiap saat tertutup kabut.
d. Zona Sub Alphine 2900 – 4200 meter dpl Zona Sub Alphine merupakan zona hutan Ercacoid dan tak berpohon lagi.
Hutan ini merupakan lapisan tebal campuran dari pohon-pohon kerdil dan semak-semak dengan beberapa pohon berbentuk payung familia Ericacae
yang menjulang tersendiri serta beberapa jenis tundra, anggrek dan lumut. Tipe vegetasi blang dengan tumbuhan Pinus merkusii terdapat banyak di
bagian utara kawasan TNGL seperti di Terangon, Blangkeujeren dan lainnya. Tipe vegetasi ini dengan 100 didominasi pinus dan tumbuhan rumput halus dan
pakis merupakan ekosistem yang berasal dari akibat pembakaran hutan berabad- abad dan secara periodik.
Selanjutnya TNGL merupakan habitat dari mamalia, burung, reptil, ampibi, dan ikan. Kawasan ini juga merupakan habitat burung dengan daftar
spesies 380 dan 350 di antaranya merupakan spesies yang hidup menetap. Diprediksi bahwa 36 dari 50 jenis burung endemik dapat ditemukan di kawasan
TNGL. Dari 129 spesies mamalia besar dan kecil di seluruh Sumatera, 65 di antaranya berada di kawasan taman nasional ini. TNGL dan kawasan di
sekitarnya yang disebut sebagai Kawasan Ekosistem Leuser merupakan habitat dari gajah Sumatera Elephas maximus sumatranus, harimau Sumatera Panthera
tigris sumatrae, badak Sumatera Dicerorhinus sumatraensis, Orangutan Sumatera Pongo abelii, Siamang Hylobates syndactylus syndactylus, Owa
Hylobates lar, Kedih Presbytis thomasi. 4.3.2.4.
Enclave
Di wilayah TNGL, terdapat beberapa enclave penting, yang sangat berpengaruh terhadap arah manajemen, yaitu Gumpang dan Marpunge di wilayah
SKW 1 Blangkejeren. Menurut sejarahnya, faktor yang menjadi penarik perhatian masyarakat untuk berpindah ke kawasan SM Gunung Leuser, adalah
dibukanya jaringan jalan oleh Kolonel Van Dallen dalam operasinya ke
66 pedalaman Gayo, yang membelah Suaka Margasatwa Kappi dan Suaka
Margasatwa Leuser. Jaringan jalan tersebut telah dimanfaatkan oleh masyarakat dalam melakukan hubungan perdagangan antara Tanah Alas dan Gayo.
Berawal dari semakin ramainya hubungan antara Tanah Gayo dan Tanah Alas, maka dikabarkan bahwa tanah antara dua daerah tersebut sebagian dapat
dijadikan areal pertanian dan pemukiman, sehingga secara perlahan tetapi pasti, mulai terjadi perpindahan penduduk dari daerah Blangkejeren, Rikit Gaib dan
Kuta Panjang, dan secara perlahan, pertumbuhan penduduk di sepanjang jalur kawasan hutan tersebut mulai merambat naik seiring dengan terbentuknya
beberapa dusun, seperti kantong penduduk di Gumpang dan kantong penduduk di Marpunge. Sejalan dengan itu, isu kehutanan semakin marak dengan
dideklarasikannya status kawasan tersebut menjadi TN. Gunung Leuser, pada tahun 1980. Selanjutnya kedua pemukiman tersebut ditetapkan menjadi enclave,
agar penduduk yang tinggal dalam enclave tidak lagi memperluas lahan garapan mereka di luar batas yang telah ditetapkan. Perlu diketahui bahwa di antara
Gumpang-Marpunge, terdapat kawasan TNGL sepanjang 12 km yang dialokasikan untuk koridor satwa. Demikian pula, antara Gumpang-Agusan, juga
merupakan jalur atau koridor yang ditetapkan sebagai lintasan satwa, dalam hal ini gajah.
Penetapan desa dalam kawasan TNGL menjadi enclave, yaitu Enclave Gumpang dan Enclave Marpunge didasarkan pada Surat Keputusan Menteri
Pertanian No.697kptsum121976 tentang Tata Batas Enclave Gumpang dan Marpunge. Batas enclave juga telah direkonstruksi pada tahun 1998, dengan
melibatkan semua unsur pemerintah dan masyarakat. Semetara itu saat ini desa enclave tersebut sudah dimekarkan menjadi sebuah kecamatan yaitu kecamatan
Putri Betung, dan berkembang beberapa desa di kecamatan tersebut yang termasuk dalam kawasan TNGL.
4.3.3. Hutan Lindung
Deliniasi kawasan lindung di Gayo Lues dilakukan berdasarkan Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang pengelolaan kawasan lindung. Kondisi tutupan lahan
pada hutan lindung Gayo Lues disajikan pada Tabel 25.
67 Tabel 25. Kondisi Tutupan Lahan Hutan Lindung
No Jenis Tutupan Lahan
Luas ha 1.
Hutan primer 198.242,94
87,50 2.
Hutan sekunder 19.156,39
8,46 3.
Hutan pinus 3.008,30
1,33 4.
Hutan kemiri 933,24
0,41 5.
Lahan terbukasemak belukar 3.523,88
0,56 6.
Pertania lahan kering 820,76
0,36 7.
Badan air 874,49
0,39 Total
226.560,00 100,00
Sumber: Analisis Citra Landsat Tahun 2009 Berdasarkan data pada Tabel 25, terlihat bahwa secara umum keberadaan
hutan lindung di Gayo Lues 87,50 merupakan sebagai hutan primer, sedang hutan sekunder, hutan pinus dan tutupan lahan lainnya secara keseluruhan hanya
dibawah 2,5 . Hal ini menunnjukkan bahwa kondisi hutan lindung tersebut masih tergolong sangat baik.
4.3.4. Hutan Produksi
Keberadaan hutan produksi di Gayo Lues seluas 45.190 ha, dilihat dari jenis vegetasinya terdiri dari tegakan pinus alam dan hutan alam campuran,
kondisi tutupan lahan hutan produksi Gayo Lues disajikan pada Tabel 26. Berdasarkan data pada Tabel 26, terlihat bahwa 54,71 merupakan hutan
primer hutan alam campuran, 20 dari luas hutan produksi merupakan hutan pinus alam, dan 16,96 merupakan hutan sekunder khusus hutan alam
campuran, serta 6,63 merupakan lahan terbukasemak belukar. Sedangkan tutupan lahan yang lain secara keseluruhan dibawah 2 . Hal ini menunjukkan
bahwa lebih kurang 25 hutan produksi Gayo Lues sudah mengalami kerusakan, yang tentunya perlu dilakukan kegiatan rehabilitasi.
Tabel 26. Kondisi Tutupan Lahan Hutan Produksi No
Jenis Tutupan Lahn Luas ha
1. Hutan primer
24.721,48 54,71
2. Hutan sekunder
7665,46 16,96
3. Hutan pinus
9.037,66 20,00
4. Hutan kemiri
414,83 0,92
5. Lahan terbukasemak belukar
2.995,69 6,63
6. Sawah
80,48 0,18
7. Badan air
274,40 0,61
Total 45.190,00
100,00 Sumber: Analisis Citra Landsat Tahun 2009
68
4.4. Kondisi Daerah Aliran Sungai DAS
Gayo Lues merupakan salah satu kabupaten yang terletak di daerah hulu yang memiliki 9 hulu Daerah Aliran Sungai DAS, yang rinciannya disajikan
pada Tabel 27, dan Peta DAS dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 27. Rincian DAS di Wilayah Gayo Lues.
No Nama DAS
Luas DAS Ha Wilayah Hilir
Kabupaten 1.
Lawe Alas 100.162,51
Aceh Singkil 2.
Aih Tripe 215.514,48
Nagan Raya 3.
Krueng Taming 186.661,60
Aceh Taming 4.
Kruemg Baroe 8165,06
Aceh Selatan 5.
Krueng Batee 17.191,15
Abdiya 6.
Krueng Kluet 27.635,06
Aceh Selatan 7.
Krueng Seumayam 2.254,24
Nagan Raya 8.
Krueng Seunagan 2.281,69
Nagan Raya 9.
Kruemg Jambo Aye 12.092,20
Aceh Utara Total
571.598,00 Sumber : Analisis Citra Landsat Tahun 2009
Berdasarkan data yang terdapat pada Tabel 27, terlihat bahwa di wilayah Gayo Lues terdapat tiga hulu DAS yang tergolong besar, yaitu DAS Aih Tripe,
DAS Krueng Taming, dan DAS Lawe Alas, dimana setiap DAS mempunyai luas areal diatas 100.000 hektar. Sedangkan enam DAS lainnya rata-rata dibawah
27.000 hektar. Untuk itu ketiga DAS besar tersebut perlu perhatian yang serius, agar kondisi DAS tetap terjaga. Namun kenyataannya beberapa tahun yang lalu
di Gayo Lues DAS Kr. Tamiang terjadi banjir bandang, khususnya di Kecamatan Pining. Hal ini dikarenakan sudah terjadi gangguan atau kerusakan
diwilayah hulu DAS tersebut. Salah satu indikator kerusakan DAS adalah sering terjadi bencana banjir
yang akan berdampak pada sendi-sendi kehidupan. Musibah banjir akan terus terjadi ketika tata lingkungan di Daerah Aliran Sungai DAS tidak diperbaiki
secara serius.
4.5 . Kondisi Gangguan Sumberdaya Hutan Gayo Lues
Kondisi sumberdaya hutan Gayo Lues, baik pada hutan produksi, hutan lindung dan Taman Nasional Gunung Leuser dari tahun-ketahun selalu
mengalami berbagai persoalan yang menyangkut kerusakan kawasan. Kerusakan
69 ini disebabkan kegiatan pembalakan kayuillegal logging, perambahan lahan,
kebakaran, dan alih fungsi lahan.
4.5.1. Pembalakan kayuIllegal Logging
Pembalakan kayu yang dilakukan secara illegal pada hutan Gayo Lues sebenarnya mulai meningkat skalanya sejak periode 1990-an dan mencapai
puncaknya pada tahun 1998, dan setelah itu persoalan illegal logging menurun drastis sampai tahun 2004. Hal ini dikarenakan pada periode itu merupakan
masa-masa puncaknya terjadi konflik antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pihak Gerakan Aceh Merdeka GAM, sehingga dapat menurunkan
kegiatan illegal logging, karena pelaku illegal logging tersebut sedikit sulit dan tidak berani ke hutan, serta sulit untuk mengeluarkan kayu dari hutan.
Selanjutnya setelah terjadi musibah gempa dan tsunami yang banyak menghancurkan bangunan fisik, terutama diwilayah pesisir Aceh, tentunya
banyak membutuhkan bahan baku kayu untuk melakukan proses pembangunan kembali rumah-rumah, perkantoran, dan bangunan lainnya yang hancur. Dalam
rangka memenuhi kebutuhan bahan baku kayu tersebut, diakui, atau tidak diakui, bahwa sumber kayu tersebut salah satunya diperoleh dari hasil kegiatan illegal
logging, hal semacam ini juga terjadi pada sumberdaya hutan di Gayo Lues.
4.5.2. Perambahan Lahan
Kegiatan perambahan hutanlahan yang dilakukan oleh masyarakat, terutama masyarakat yang berdomisili di dalam atau sekitar hutan merupakan
suatu kegiatan yang sudah lazim dilakukan, hal ini dikarenakan pola atau sistem pertanian yang dilakukan oleh sebagian masyarakat adalah masih secara
berpindah-pindah. Mengingat lahan-lahan yang sudah dimanfaatakan lebih kurang 2-3 tahun sudah kurangtidak subur, maka para peladang akan mencari dan
membuka lahan baru yang lebih subur untuk ditanami tanaman semusim. Kegiatan semacam ini sudah dilakukan secara turun-temurun, dan semakin lama
pembukaan lahan semakin menjauh dari perkampungan, bahkan masuk kedalam
kawasan hutan.
Kawasan hutan yang dibuka oleh peladang adalah tergantung pada arahan fungsi hutan yang dekat dengan perkampungan mareka. Dalam hal ini khusus