Penyusunan Diagram dan Matrik SWOT Pengembangan Ekowisata di kabupaten Gayo Lues.
172
memiliki peluang dan kekuatan, tetapi juga menghadapi berbagai kendala atau kelemahan internal yang akan muncul.
Mengingat posisi pada sel 3, maka pengembangan ekowisata tersebut mempunyai peluang, tetapi menghadapi kelemahan yang lebih dominan dan kurang
menguntungkan. Pada situasi seperti ini, menurut Rangkuti 1997 fokus strategi yang harus digunakan adalah meminimalkan masalah-masalah internal dalam
pengembangan, yaitu dengan cara menggunakan strategi memanfaatkan peluang yang ada, untuk menghadapi dan mengatasi kelemahan yang terjadi. Dalam hal ini strategi
yang perlu diterapkan adalah strategi turn around WO. Pilihan strategi ini, untuk melawan kelemahan, dan merubah atau mengalihkan kendala atau kelemahan yang
terjadi menjadi suatu peluang atau kesempatan. Lebih lanjut dengan telah ditentukan pilihan-pilihan strategi tersebut di
atas, dan sehubungan dengan mensukseskan program pengembangan ekowisata di Kabupaten Gayo Lues senantiasa perlu disusun suatu rumusan terhadap alternatif-
alternatif strategi yang perlu digunakan dalam kegiatan pengelolaan ekowisata tersebut. Penyusunan alternatif-alternatif strategi tersebut dapat dilakukan dengan
penggunaan suatu matrik SWOT, seperti terlihat pada Lampiran 33. Berdasarkan data hasil perumusan alternatif strategi pada matrik SWOT di
atas, menunnjukkan bahwa alternatif strategi yang akan diterapkan dalam menjalankan pengembangan ekowisata di Gayo Lues adalah strategi WO, yaitu
1 Pembangunan sarana dan prasarana ekowisata, termasuk transportasi, 2 Pengembangan promosi dan publikasi ekowisata, dan 3 Pengembangan
kerjasama dengan para pihak. Strategi yang pertama ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah kelemahan dalam pengembangan ekowisata yaitu belum
tersedianya sarana dan prasarana ekowisata, disamping itu lokasi ekowisata Gayo Lues berjauhan dengan kota provinsi, sementara aksessibilitas dan sarana jalan
darat kurang mendukung untuk program pengembangan ekowisata tersebut, untuk
itu diperlukan sarana transportasi udara, mengingat peluang pengembangan sumberdaya hutan Gayo Lues sebagai salah satu pusat wisata NAD sangat
terbuka, dan pemanfaatan minat masyarakatwisatawan asing yang meningkat datang ke Aceh pasca konflik dan tsunami. Strategi kedua dilakukan untuk
memberikan informasi tentang keberadaan objek wisata Gayo Lues kepada para
173
pihak terutama kepada wisatawan, mengingat selama ini belum adanya promosi dan publikasi terhadap keberadaan ekowisata Gayo Lues tersebut. Sedangkan
strategi ketiga dilakukan untuk membangun kerjasama dengan para pihak terkait dengan pengembangan sarana dan prasarana ekowisata, kerjasama dalam
pengelolaannya. Pengembangan usaha ekowisata perlu adanya kolaborasi antara pihak
pemerintah, swasta, pihak lain yang terkait termasuk masyarakat sekitar hutan secara aktif. Hal ini perlu dilakukan dalam rangka memberdayakan masyarakat
sekitar hutan dalam menjalankan kewajiban untuk menjaga hutan dan juga memperoleh hak dalam pemanfaatannya. Dengan demikian dapat terciptanya
keseimbangan yang positif antara tujuan komersial usaha, lingkungan yang baik dan peningkatan nilai ekonomi bagi masyarakat lokal atau masyarakat sekitar
hutan dapat direalisasikan. 5.5. Strategi Pengelolaan Hutan Gayo Lues
Berdasarkan hasil analisis nilai ekonomi sumberdaya hutan, analisis persepsi masyarakat, analisis kelembagaan, dan analisis strategis unsur internal dan eksternal,
yang diikuti dengan penyusunan diagram dan matrik SWOT terhadap sistem pengelolaan hutan alam campuran, pengelolaan hutan pinus, pengelolaan hutan
kemiri rakyat, dan pengembangan ekowisata, dapat disusun strategi pengelolaan hutan Gayo Lues sebagai berikut :
5.5.1. Penataan Kebijakan dan Kelembagaan Berdasarkan uraian sebelumnya, dan semenjak berlakukanya UUPA No.
11 Tahun 2006, dimana kebijakan kehutanan di provinsi Aceh, khususnya di Kabupaten Gayo Lues belum terjadi perubahan dan pembaharuan secara
signifikan. Begitu juga halnya terkait dengan instansi atau lembaga-lembaga kehutanan, baik lembaga pusat maupun lembaga daerah belum mampu mengatasi
berbagai persoalan yang terjadi dilapangan. Hal ini dikarenakan belum terjadi
penguatan kapasitas untuk setiap lembaga-lembaga tersebut, dalam hal ini lembagaorganisasi pusat yang ada didaerah ternyata belum mempunyai peran
nyata untuk membantu menguatkan peran lembaga-lembaga kehutanan daerah. Sehingga untuk pelaksanaan pengelolaan hutan tidak terdapat kepastian kawasan,
174
lemahnya penguatan lembaga masyarakat, lemahnya pengelolaan hutan dilapangan, baik untuk kegiatan tata hutan, pemanfaatan, perlindungan dan
kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Disamping itu lembaga-lembaga kehutanan lebih berperan dalam penanganan administrasi terkait komoditi hasil hutan
daripada pengelolaan di lapangan Kartodiharjo, 2008 bahkan dapat dikatakan tidak ada pengelolaan dilapangan, sehingga terjadi open access. Selanjutnya
lemahnya sinergi dan koordinasi antar lembaga-lembaga kehutanan, dimana setiap lembaga merasa lebih berkompoten dalam pengelolaan kawasan hutan. Persoalan
lainnya yang terjadi terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan adalah terjadi perbedaan interpretasi terhadap isi dari peraturan perundang-undangan oleh
lembaga-lembaga kehutanan dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan. Misalnya dengan keberadaan UUPA No 11 Tahun 2006, dengan sendirinya keberadaan
Kepres 33 Tahun 1998 akan gugur, tetapi kenyataannya para pihak menafsirkan bahwa keberadaan Kepres 33 Tahun 1998 tersebut tidak akan gugur sebelum ada
pencabutan dari pemerintah pusat. Padahal dari sudut pandang hukum bahwa peraturan yang lebih besar akan mengenyampingkan peraturan dibawahnya lex
superiory derogate lex inperiory dan peraturan yang lebih spesifik akan
mengenyampingkan peraturan yang bersifat umum lex specialist derogate lex generalis
Sehubungan dengan uraian tersebut, maka persoalan kelembagaan menjadi penting, menurut Kartodihardjo 2006 mengingat luasnya kawasan hutan di
Gayo Lues yang mempunyai ciri mudah terjadinya akses yang terbuka bagi semua pihak, sehingga diperlukan suatu kelembagaan yang dapat menjamin kepastian
hak atas hutan. Selanjutnya berdasarkan fungsi dan tujuannya, institusikelembagaan sangat diperlukan oleh masyarakat. Namun ketika
kelembagaan tidak jalan, maka diperlukan suatu langkah perbaikan, salah satu cara untuk memperbaiki kinerja institusi adalah melalui pengembangan institusi
Pratiwi 2008. Pengembangan institusikelembagaan menurut Nasution 1999, dalam Karyana 2007. merupakan suatu proses menuju kearah perbaikan aturan
dalam masyarakat, sehingga menjadi kelembagaan yang dikehendaki. Untuk itu yang dimaksudkan dengan pengembangan institusi adalah menata kembali atau
memperbaiki institusi yang terkait dengan peraturan perundang-undangan dan
175
organisasilembaga pengelola, yang mengarahkan perilaku atau organisasi untuk melestarikan sumberdaya hutan Gayo Lues.
Sehubungan dengan urain tersebut tentunya penataan kelembagaan baik menyangkut dengan peraturan perundang-undangan maupun lembagaorganisasi
pengelola kehutanan menjadi salah satu prioritas utama yang perlu segera dilakukan secara konprehensif. Hal ini sesuai dengan pendapat Nurrochmat
2005 bahwa perlu segera dilakukan penertiban terhadap berbagai peraturan kehutanan yang tumpang tindih.
Persoalan kelembagaan dalam pengelolaan sumberdya hutan perlu adanya kejelasan, jika tidak adanya kejelasan tentunya akan berdampak pada terjadinya
konflik atau tumpang tindih peraturan perundang-undangan, terjadi saling menunggu antara masing-masing lembaga dalam melakukan pengelolaan, serta
termotivasi untuk munculnya benih-benih konflik antara sesama lembaga kehutanan yang ada di daerah, dan konflik antara lembagaorganisasi pusat yang
ada di daerah dengan lembaga daerah itu sendiri. Untuk itu Pemerintah Aceh dan Pemerintah Gayo Lues perlu mengajak para pihak termasuk instansi pusat yang
ada di daerah untuk duduk bersama dalam rangka membahas semua persoalan kebijakan dan kelembagaan kehutanan Gayo Lues, dan persoalan-persoalan
lainnya yang terkait dengan keberadaan sumberdaya hutan Gayo Lues. Terkait dengan penataan kebijakan dan kelembagaan, langkah konkrit
yang perlu dilakukan sebagai berikut: 1. Peninjauan dan penataan kembali terhadap UUPA NO 11 Tahun 2006
khususnya pasal 150, agar sumberdaya hutan Gayo Lues dapat dikelola dan diusahakan berdasarkan UU 411999, dan berdasarkan arahan fungsi hutan
yang mengacu pada Pergub Aceh No 191999 dan SK Menhut No 1722002. Disamping itu juga perlu diluruskan dan disamakan persepsi atau penafsiran
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah terkait dengan pasal 156 dan pasal 165 UUPA No 11 Tahun 2006. Selanjutnya Perlu ketegasan pemerintah
pusat terkait dengan keberadaan Kepres 33 Tahun 1998. 2. Perlu pengkhususan dan penguatan peran Dinas Kehutanan dalam struktur
Pemerintahan. Untuk itu Qanun No 52007 tentang organisasi perangkat
176
daerah Kehutanan dan perkebunan digabung dalam satu lembaga perlu ditinjau kembalirevisi.
3. Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser BPKEL yang bersifat non struktural Pergub Aceh No 522007, perlu diintergrasikan kedalam struktur
pemerintahan dan dirubah menjadi suatu badan yang bersifat struktural menjadi Badan Konservasi Sumberdaya Alam Aceh BKSDAA. Luas dan
lokasi wilayah kelolanya bukan hanya wilayah KEL tetapi seluruh kawasan konservasi dan hutan lindung yang ada di Provinsi Aceh. Untuk itu Perubahan
ini perlu ditetapkan melalui Pergub Aceh, dan menggantikan Pergub Aceh No 522007 tersebut.
4. Dinas Kehutanan dan BKSDAA bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten untuk menyiapkan prakondisi pengelolaan hutan, seperti inventarisasi hutan,
tata hutan, kepastian kawasan, rehabilitasi hutan dan lahan, dan perlindungan. Dari kegiatan ini dapat ditentukan wilayah pengelolaan hutan alam produksi,
hutan tanaman, hutan rakyat, pengembangan ekowisata, jasa lingkungan, dan alokasi sumberdaya hutan untuk peruntukan lain
5. Pembentukan unit kelola wilayah UKW, baik pada kawasan konservasi, hutan lindung, dan hutan produksi, yaitu untuk pengelolaan dan pengusahaan
hasil hutan kayu, non kayu dan jasa lingkungan. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari kekosongan pengelolaan dan tanggung jawab ditingkat
tapaklapangan. Misalnya melalui pengembangan kesatuan pengelolaan hutan KPH
6. Sejumlah Peraturan Gubernur Aceh yang perlu disiapkan antara lain: 1 Peraturan Gubernur tentang Penunjukan dan Penetapan Kawasan hutan dan
lahan berdasarkan fungsi kawasan hutan pemisahan kawasan budidaya dan kawasan konservasi dan kawasan lindung, mensyaratkan ketersediaan peta
kawasan berdasarkan fungsi. 2 Peraturan Gubernur tentang Penetapan Status Kawasan Hutan Hutan Negara, Adat dan Hak. 3 Peraturan Gubernur
tentang Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kelembagaan Pemanfaatan Sumberdaya Alam.
177
Sehubungan dengan uraian tersebut terkait dengan kewenangan dan peran lembagaorganisasi kehutanan disajikan dalam bentuk diagram seperti terlihat
pada Gambar 16.
Gambar 16. Usulan Lembaga Pengelolaan Sumberdaya Hutan