55
b. Makna Sakramental dalam Pernikahan
Kesecitraan pria dan wanita dengan Allah Penciptanya, memberikan nilai kesucian atas keluarga yang mereka bangun.
Dengan begitu keluarga dibangun atas cinta dari gambaran Allah itu sekaligus merupakan perwujudan cinta Allah Maurice
Eminyan, SJ, 2002:28. Keluarga sebagai bentuk persekutuan hidup antar manusia yang secitra dengan Allah, merupakan gambar dan
citra Allah juga. Di sinilah makna sakramental keluarga Kristiani dapat ditemukan. Berkat Sakramen Pernikahan suami-isteri
menerima kehadiran Allah dengan rahmat-Nya yang melimpah, guna: menguduskan mereka berdua, menyempurnakan cinta dan
persatuan hidup mereka, dan mendampingi serta membimbing mereka agar semakin dekat dengan Tuhan Gilarso, SJ, 1996:11.
Adapun konsekuensinya adalah, bahwa suami-isteri itu menjadi tanda kehadiran cinta kasih Allah satu sama lain. Sebab
mereka berdua pada hakikatnya menjadi tanda, lambang dan perwujudan kasih setia Kristus kepada Gereja-Nya lih. Ef 5:24-
28. Demikian juga hendaknya keluarga Kristiani menjadi Bait Allah, tempat di mana Roh Kasih Allah yang telah menyatukan
mereka tetap ada di dalam mereka. Indikator penghayatan makna sakramental terletak pada sejauh mana keberadaan dan seluruh
peranan suami-isteri dan keluarga itu mendatangkan rahmat kasih dan damai sejahtera satu sama lain dan bagi seluruh anggota
keluarganya.
2. Hakikat Sosial Perkawinan
a. Persekutuan Hidup dan Cinta
Keluarga merupakan persekutuan hidup antara pria dan wanita yang membentuk komunitas antar pribadi berdasarkan
cinta kasih. Konsekuensinya adalah bahwa perkawinan merupakan persekutuan hidup yang menyatukan seorang pria dan seorang
wanita dalam kesatuan lahir batin yang mencakup seluruh aspek
56
hidup: jiwa, raga dan spiritual. Berdasarkan cinta, pasangan suami- istri menghayati kesatuan secara jiwa, raga, dan spiritual. Wujud
kesatuan jiwa nampak dalam cinta kasih pria dan wanita itu, sebagai komitmen yang mereka bangun berdasarkan kebebasan.
Komitmen itulah yang memungkinkan pria dan wanita saling menerima, melengkapi dan memperkaya satu sama lain. Suami
dan istri masing-masing menjadi bagian satu terhadap yang lain, menjadi garwa atau sigaraning nyawa yang artinya menjadi belahan
jiwa. Dengan kesatuan raga atau fisik, pria dan wanita menjadi satu daging, dalam arti saling pasrah dan menyatukan raga
mereka dalam penghayatan cinta yang total melalui persetubuhan. Kesatuan fisik dapat juga dimengerti dalam arti kesatuan harta
kekayaan secara material. Semua bentuk kekayaan adalah milik keluarga bersama dan diarahkan untuk kesejahteraan keluarga.
Dengan kesatuan secara spiritual, hendaknya suami-isteri dan anak hidupnya bertumpu pada semangat iman yang sama. Artinya,
kepercayaan dan kepasrahan kepada Tuhan Sang Pencipta dan Penyelenggara kehidupan menjadi tali penyatu dan dasar hidup
bersama.
b. Nilai Sosial dan Legal
Keluarga merupakan sel masyarakat yang pertama, yang menjadi dasar terbentuknya masyarakat Paus Yohanes Paulus II,
1994: art.42. Peranan keluarga sangat besar bagi pembangunan masyarakat. Begitu juga sebaliknya, masyarakat harus mengabdi
kepentingan keluarga dan bersama keluarga mengabdi kepentingan martabat manusia. Dari sebab itu negara wajib menghormati dan
melindungi hak-hak keluarga. Perkawinan juga perlu diatur dengan Undang-undang, agar eksistensinya mendapat perlindungan secara
hukum. Sayangnya nilai legalitas bisa dimanipulir oleh pasangan pria dan wanita yang sekedar ingin memperoleh keabsahan atas
pernikahannya. Hal semacam ini dilakukan, mungkin demi warisan, demi status anaknya atau sekedar menutup aib, dsb. Padahal
57
mereka tidak atau belum berniat untuk menikah. Pernikahan bukan hanya masalah hukum, melainkan masalah hidup dan masa
depan. Buat apa menikah kalau akhirnya tidak hidup bersama. Apalagi sebagai orang Kristiani, perkawinan sipil saja tidak cukup,
karena mengabaikan nilai spiritualnya Paus Yohanes Paulus II, 1994: art.82.
3. Pokok-pokok Refleksi Moral