57
mereka tidak atau belum berniat untuk menikah. Pernikahan bukan hanya masalah hukum, melainkan masalah hidup dan masa
depan. Buat apa menikah kalau akhirnya tidak hidup bersama. Apalagi sebagai orang Kristiani, perkawinan sipil saja tidak cukup,
karena mengabaikan nilai spiritualnya Paus Yohanes Paulus II, 1994: art.82.
3. Pokok-pokok Refleksi Moral
a. Apakah setiap orang harus menikah? Terangkan alasan anda
b. Di mana letak kesucian pernikahan? Jelaskan c. Terangkan makna dari ungkapan: “Jodoh di tangan
Tuhan” d. Apa artinya hidup berkeluarga sebagai suatu panggilan?
C. CINTA KASIH SEBAGAI DASAR, SEMANGAT DAN TUJUAN PERKAWINAN
Dalam rangka membangun komunitas pribadi-pribadi, fungsi cinta hendaknya ditempatkan sebagai dasar, semangat dan tujuan
Paus Yohanes Paulus II, 1994: art.18.
1. Dasar
Syarat utama dan esensial yang perlu dipenuhi untuk membangun persekutuan hidup adalah cinta. Sebagaimana telah
diuraikan di depan, bahwa cinta adalah sebuah pengalaman yang personal dan penuh misteri. Dalam pengalaman tersebut terjadi
komitmen yang dibangun oleh seorang pria dan seorang wanita atas dasar kebebasan dan tanggung jawab. Karena persekutuan
hidup pria dan wanita mengandaikan adanya komitmen antara kedua belah pihak untuk bersatu jiwa dan raga, maka secara
mutlak memprasyaratkan adanya cinta yang telah mempersatukan mereka. Cinta menjadi dasar hidup bersama.
58
Konsekuensinya adalah, bahwa orang tidak layak hidup bersama tanpa saling mencintai. Maka pernikahan atas dasar
paksaan, apapun dalihnya, merupakan tindakan yang tidak manusiawi, karena melanggar hak azasi manusia. Adalah
pandangan yang tidak masuk akal, bila mengatakan: “Yang penting nikah dulu, soal cinta kan bisa dipelajari”. Semboyan “Witing tresna
jalaran saka kulina” awalnya cinta bermula dari kebiasaan hanya berlaku pada masa pra-nikah. Cinta dalam konteks pernikahan
pada dasarnya tidak dapat “dikredit”, apalagi “buah cintanya”, yakni anak. Maka keluarga yang dibangun bukan atas dasar saling
mencintai, melainkan misalnya demi status, harta atau semata- mata untuk menyelamatkan status anak “di luar pernikahan”
jelas tidak memiliki dasar yang kokoh.
2. Semangat
Ada kalanya keluarga mengalami gejolak, terutama bila menghadapi hal baru atau mengalami perubahan situasi. Kelahiran
si buah hati, di satu pihak mendatangkan kebahagiaan yang luar biasa bagi pasangan suami-isteri, tetapi pada saat tertentu dapat
menimbulkan problem atau konflik suami-isteri. Problem tersebut muncul, misalnya ada perbedaan cara mendidik, perlakuan yang
kurang adil, kecemburuan, dsb. Di samping itu, kesibukan karena tuntutan karya maupun kewajiban moral terhadap keluarga induk
masing-masing, terkadang mengakibatkan tergesernya perhatian terhadap kepentingan keluarga sendiri.
Apabila segala kepentingan yang ingin diupayakan oleh keluarga, baik yang menyangkut kebutuhan intern maupun
ekstern ditempatkan dalam semangat dan sikap dasar “demi dan atas nama cinta”, tidak perlu terjadi konflik. Cinta dapat menjadi
semangat, bahkan jaminan yang dapat mendatangkan suka cita, apabila diekspresikan melalui sikap-sikap: sabar, murah hati, tidak
cemburu, tidak sombong, adil, percaya dan penuh pengharapan lih. 1Kor 13:4-7. Sebab sesungguhnya untuk menjadi bahagia dan
59
menjadikan pasangan bahagia, mau tidak mau seseorang harus menjadi orang yang tepat bagi partnernya, bukannya mencari dan
menuntut orang yang tepatcocok dan sesuai dengan keinginan dirinya Alan Loy Mc. Ginnis, 1987:27. Dalam konteks perkawinan,
cinta hendaknya dihayati bukan lagi “untuk mencari pribadi yang cocok”, melainkan “menjadi pribadi yang cocok”. Inilah makna
cinta itu: Love is not finding the right person, but is being the right person.
3. Tujuan