121
C. MENUMBUHKAN SPIRITUALITAS EKOLOGIS
Alam perlu dicintai dan diselamatkan demi keberlangsungan hidup umat manusia sendiri. Manusia perlu terlibat aktif dalam
segala program dan kegiatan pemulihan kembali keseimbangan dan kelestarian alam, sehingga alam dapat tetap berfungsi sebagai
“ibu bagi bio-diversitas,” atau lingkungan yang ramah bagi aneka ragam jenis kehidupan yang berbeda.
Moral lingkungan hidup menegaskan tentang perlunya manusia bersikap bersahabat baik terhadap alam sendiri, maupun
terhadap aneka jenis mahluk hidup lainnya yang menjadi sesama warga alam: sesama insan ciptaan yang ditempatkan Allah
untuk menghuni alam ini dengan akur dan rukun. Kemauan dan kemampuan untuk hidup harmonis dengan segala makhluk di
alam inilah yang menjadi tujuan dari konsientisasi ekologis.
Konsientisasi ekologis hanya mungkin terjadi apabila manusia menghormati sifat-sifat ilahi alam atau memiliki spiritualitas
ekologis Eddy Kristiyanto, 2008:11. Spiritualitas ekologis lahir dari penghayatan iman umat karena dapat merasakan kekuatan,
keindahan dan keagungan alam yang menghantarkannya untuk menyadari adanya daya dan kuasa ilahi yang bekerja di dalam
alam Agus Rahmat, 1989. Alam memang memiliki kekuatan vital karena alam itu subur dan kreatif: alam sanggup menghidupkan,
menumbuhkan serta memproses segala yang nampaknya usang dan terbuang dengan menjadikannya kembali baru serta berkembang.
Pada tahun 1954, Albert Einstein menyatakan ciri alam yang paling menonjol adalah order atau ketertiban dan keteraturan.
Setiap kali manusia berhasil menyibak atau memahami alam, ia menemukan adanya ketertiban dan keserasian bekerja, tertata
di dalam alam. Alam semesta itu bukanlah medan yang galau melainkan kesatuan yang utuh dan serasi. Alam dikuasai, dijiwai
oleh prinsip ketertiban, ditata oleh Logossabda kebijaksanaan akal budi ilahi. Gagasan religius Einstein itu diterjemahkan oleh
Endang Saifudin Anshari 1983:166 sebagai berikut:
122
“Agamaku tak lain daripada rasa kagum yang rendah hati terhadap Roh Agung yang tak terbatas yang menyatakan atau
mengungkapkan kebijaksanaanNya dalam bagian-bagian kecil fragmen alam yang bisa kita pahami dengan akal budi kita
yang rapuh dan lemah terbatas ini. Keyakinan emosional yang mendalam akan kehadiran daya pikir yang Agung yang terungkap
dalam tatanan alam semesta, yang melampaui akal budiku itu, membentuk isi dari pengertianku tentang Allah”.
Kutipan pernyataan Einstein itu mau menjelaskan jika refleksi seseorang atas alam dapat menghantarkan manusia menghayati
iman akan keberadaan Allah: kabut-kabut, bintang-bintang maupun atom-atom kecil …. semua itu ada berkat dan demi Allah,
Sang Pencipta semesta alam. Alam harus dipandang sebagai suatu realitas yang hidup dan berjiwa. Tidaklah mengherankan apabila
alam sering dipersonifikasikan sebagai ibu Pertiwi yang berasal dari bahasa Kawi “Pratiwi” yang artinya tanahbumi atau Bunda
dalam bahasa Latin kata mater artinya bunda yang identik dengan kata mater yang berarti tanahalammateri.
Perasaan religiusitas manusia atas alam juga dapat tumbuh pada saat manusia menyadari kreativitas dan regularitas alam.
Maksudnya 1 menghayati kekhasan alam yang terus menerus menumbuhkan dan menciptakankreativitas, serta 2 menyadari
jika segala sesuatu yang ada di alam ini terjadi secara teratur menurut hukum-hukum tertenturegularitas. Kreativitas alam menyiratkan
bahwa ada kehidupan kosmik di dalamnya, sementara regularitas ketertiban alam menunjukkan adanya akalbudi kosmik yang
menata dan mengendalikan segalanya. Kreativitas dan regularitas alam menghantarkan manusia untuk menghayati bahwa Allah
Pencipta tidak terpisahkan dari alam, juga tidak identik dengan alam sebab Allah itu melingkupi dan mengatasi alam. Inilah yang
disebut dengan spiritualitas ekologis yang dapat tumbuh apabila manusia memahami sifat ilahi dari alam, seperti yang diungkapkan
oleh Pemazmur berikut ini, “Langit menceriterakan kemuliaan
123
Allah dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya” Mzm 19. Manusia harus menerima alam sebagai “sesama”-nya karena
sama-sama diciptakan Allah maka alam harus dihormati karena alam pun mempunyai nilai di dalam dirinya sendiri Mateus Mali,
2008. Tak mengherankan apabila Santo Ignatius mengajarkan perlunya melestarikan lingkungan alam sebagaimana termuat di
dalam “Asas dan Dasar” LR 33 tentang bergunanya ciptaan, atau ajarannya tentang Contemplatio ad Amorem yang menggambarkan
kehadiran aktif Allah yang penuh kasih di dalam alam guna memelihara ciptaannya LR 230-237.
Bagaimana cara mewujudkan spiritualitas ekologis? Belajar dari Hinduisme, alam semesta akan menjadi kesatuan yang
harmonis apabila ketertiban alam rta dijaga serta dipelihara. Sama halnya dengan manusia, dapat hidup dalam suasana damai
sejahtera apabila tertib keadilan atau dharma dihayati oleh semua penganutnya.
Dalam tradisi Katolik, kita memiliki spiritualitas ekologis dengan cara melakukan contemplatio ad amorem atau mengakui
keagungan Tuhan yang tampak dalam segala ciptaan-Nya, seperti termuat di Mazmur 104:14,
“Engkau yang menumbuhkan rumput bagi hewan dan tumbuh- tumbuhan untuk diusahakan manusia, yang mengeluarkan
makanan dari tanah”. Ayat tersebut mengandung pujian pemazmur atau kesadaran
imannya akan tanggungjawab dan panggilannya untuk menjaga dan melestarikan alam.
Santo Fransiskus Asisi pun memiliki keyakinan jika alam merupakan revelasi dari Allah Pencipta Laba Lajar, 1989.
Akibatnya, Fransisikus Asisi sanggup membangun persaudaraan ekologis dengan sesama ciptaan lain, ia tidak mau menguasai alam
tetapi memelihara dan menyertakanmelibatkan alam berikut segala isinya dalam ibadat kosmik cosmic liturgy untuk memuji
124
Allah Pencipta. Semuanya itu dituangkannya dalam doanya yang terkenal yaitu “Gita Sang Surya” Murray Bodo, 2006: 249-250.
Dalam doa itu, Santo Fransiskus Asisi menyebut semua makhluk ciptaan sebagai “saudara dan saudari kandungnya” berikut ini:
Terpujilah Engkau, Tuhanku, bersama semua makhlukMu, terutama Tuan Saudara Matahari; dia terang siang hari, melalui
dia kami Kau beri terang. Dia indah dan bercahaya dengan sinar cahaya yang cemerlang; tentang Engkau, Yang Mahaluhur, dia
menjadi tanda lambang.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Bulan dan Bintang-bintang, di cakrawala Kaupasang mereka, gemerlapan,
megah dan indah. Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Angin, dan
karena udara dan kabut, karena langit yang cerah dan segala cuaca, dengannya Engkau menopang hidup makhluk ciptaanMu.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Air, dia besar faedahnya, selalu merendah, berharga dan murni.
Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudara Api, dengannya Engkau menerangi malam; dia indah dan cerah ceria, kuat dan
perkasa. Terpujilah Engkau, Tuhanku, karena Saudari Ibu Pertiwi,
dia menyuap dan mengasuh kami, dia menumbuhkan aneka ragam buah-buahan, beserta bunga warna-warni dan rumput-
rumputan......”
Apabila kita memiliki spiritualitas ekologis semacam itu, maka kita akan memiliki hasrat untuk menghormati, merawat dan
memelihara alam semesta.
D. APLIKASI