53
yang telah mempertemukan mereka, agar semakin menemukan rencana Allah menuju persatuan dalam kasih-Nya dengan hati
ikhlas dan terbuka. Masa persiapan semacam ini merupakan momen penting bagi pria dan wanita yang secara serius merencanakan
untuk membangun hidup bersama melalui pernikahan. Betapa pun demikian diakui bahwa masa persiapan yang dijalani bertahun-
tahun tidak selalu memberikan jaminan secara mutlak bagi yang bersangkutan untuk siap memasuki jenjang pernikahan. Kegagalan
masa persiapan bukanlah kegagalan seluruh hidup, melainkan bagian dari proses panggilan hidup yang penuh misteri. Bahkan
dengan kegagalan tersebut orang dapat bersyukur, karena Allah sesungguhnya maha bijaksana, yang tentu mempunyai rencana
lain yang lebih baik atas diri mereka. Maka kegagalan tidak perlu membuahkan kebencian, permusuhan dan dendam. Sebab cinta
pada dasarnya lemah-lembut dan tidak mendendam. Meskipun gagal, tetap bersemboyan: “lebih baik mengatakan bahwa dia
adalah mantan pacar saya, daripada mengatakan mantan sahabat saya”. Semboyan ini menunjukkan sikap bijaksana dan tetap
menghargai martabat manusiawi. Jadi intensitas cinta pada masa persiapan bukan terletak pada pengenalan dan kemantapan diri
satu sama lain yang bersifat manusiawi belaka, melainkan lebih- lebih terarah pada keterbukaan dan pengenalan akan rencana kasih
Allah sendiri atas diri mereka.
a. Hidup Berkeluarga adalah Panggilan
Apabila pria dan wanita telah dipertemukan dalam cinta kasih, selanjutnya dengan kebulatan hati dan kebebasan nuraninya
berniat membangun hidup bersama, maka niat suci ini perlu ditempatkan dalam perspektif menanggapi panggilan Tuhan.
Demikianlah mereka memenuhi tuntutan kodrat dari Allah sendiri. Sebab dari kodratnya pria dan wanita diciptakan Allah untuk
berpasangan menjadi satu daging lih. Kej 2:23 dst. Setelah Adam diciptakan, Allah menciptakan penolong yang pantas baginya,
54
seseorang yang sepadan dengannya, yang dapat menjadi partner dan temannya Maurice Eminyan, SJ, 2002:27. Maka perkawinan
bukan sekedar akibat atau konsekuensi dari tuntutan sosial bahwa umumnya orang harus menikah, melainkan suatu pilihan yang
ditempatkan dalam rangka rencana dan kehendak Allah sendiri.
Pada hakikatnya perkawinan merupakan lembaga dari Sang Pencipta yang bijaksana dan pemelihara, yang bermaksud
menetapkan rencana cinta kasih-Nya dalam diri manusia Maurice Eminyan, SJ, 2002:30. Perkawinan bukan sekedar untuk mengejar
kepenuhan tuntutan kodrat alam, melainkan lebih-lebih untuk memenuhi panggilan Allah sendiri yang bernilai adikodrati. Dalam
rangka mengemban panggilan Allah yang luhur semacam itu, pasangan suami-isteri diberkati dan diangkat menjadi partner kerja
Allah, untuk mengembangkan dan menyempurnakan kehidupan GS art. 50. Panggilan suci tersebut didasarkan pada Kitab
Kejadian yang dapat dibaca bahwa, Allah memberkati pasangan itu dan memanggil mereka untuk berbuah: “Beranakcuculah dan
bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah dia” Kej 1:29-31. Tugas luhur semacam itu memang sudah sepantasnyalah
dilakukan manusia, yang bermartabat luhur secitra dengan Allah, demi terciptanya Kerajaan Allah.
Perlu disadari bahwa pernikahan bukan satu-satunya cara untuk memenuhi panggilan Allah yang bernilai adikodrati
itu. Status hidup tidak menikah juga memiliki nilai adikodrati. Sebab sangat dimungkinkan ada orang yang tidak menikah
atas kemauannya sendiri demi Kerajaan Allah lih. Mat 19:12. Kita perlu menaruh sikap hormat dan memandang secara sehat
terhadap mereka yang memilih hidup menjadi imam, religius membiara, dan menjadi awam selibat. Pilihan status hidup yang
mereka jalani itu untuk pengemban panggilan luhur Allah juga, yakni menyerahkan hidupnya secara total bagi karya Allah, demi
Kerajaan Allah Dr. T. Jacobs, SJ, 1987:198. Itulah keutamaan hidup yang mereka hayati.
55
b. Makna Sakramental dalam Pernikahan