64
iman anak-anaknya. Anak pertama kali dalam hidupnya mengenal ibunya sejak dalam rahim. Maka anak mengenal apa itu iman
pertama kali juga dari ibunya yang sejak bayi menyusui, mengasuh dengan penuh kasih dan menyediakan keperluan hidupnya. Di
samping berperanan sebagai ibu, seorang isteri juga mempunyai kewajiban untuk selalu taat dan setia kepada suaminya. Seorang
isteri hendaklah menghormati suaminya” Ef 5:33.
Martabat seorang pria juga harus dihormati dalam kedudukannya sebagai suami dan ayah dalam keluarga. Demikian
pula seorang suami hendaklah mau menghormati isterinya dan mencintainya dengan sepenuh hati. Seorang suami diharapkan
mampu mengembangkan sikap cinta kasih dan menampakkan cinta kasih kepada isterinya yaitu cinta kasih yang penuh kelembutan hati
dan kuat. Cinta kasih yang ditampakkan Kristus terhadap Gereja- Nya menjadi dasar dan teladan bagi suami-istri Bdk.Ef 5:25.
Setiap anak yang lahir dalam keluarga Kristiani mempunyai hak dan martabat yang sama. Oleh karena itu seorang anak berhak
memperoleh perhatian yang khusus di pelbagai segi kehidupan baik jasmani, emosional, pendidikan dan pembinaan imannya dan
semua itu hendaklah menjadi kekhasan keluarga Kristiani. Jadi anak mempunyai hak untuk mendapat cinta kasih, pendidikan,
pembinaan iman dari orang tuanya dan berhak juga mengemukakan pendapatnya serta menentukan masa depannya.
b. Monogam dan Tak Terceraikan
Pernikahan adalah persekutuan hidup yang dibangun oleh seorang pria dan seorang wanita monogami. Terbentuknya
persekutuan itu pertama kali dijalin dan berkembang oleh persekutuan suami-isteri melalui janji perkawinan. Mereka ini
“bukan lagi dua melainkan satu” Mat 19:6. Pasangan suami-isteri perlu terus-menerus menjaga keutuhan yang telah mereka bangun.
Kesatuan dalam cinta yang eksklusif dan sepenuhnya hanya dapat terwujud dalam ikatan satu pria dan satu wanita dan berlangsung
65
sepanjang hidup kekal tak terceraikan. Maka praktek poligami, apapun alasannya bertentangan dengan kehendak Allah sendiri
GS art. 49.
Mereka dipanggil untuk tetap bertumbuh dalam persekutuan mereka melalui kesetiaan dari hari ke hari terhadap janji pernikahan
mereka untuk saling menyerahkan diri seutuhnya Paus Yohanes Paulus II, 1994: art.19. Persekutuan pasangan suami isteri ini
tidak hanya bercirikan kesatuan melainkan tak terceraikan, “Apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia“
Mat 19:6. Kesatuan yang tak terceraikan ini menuntut kesetiaan seutuhnya dari kedua belah pihak baik dari suami maupun isteri
dan demi kepentingan anak-anak GS.art.48. Demi kepenuhan cinta menuju kesempurnaannya, dan demi kesejahteraan anak serta
tuntutan makna sakramental, bahwa cinta suami-isteri merupakan lambang cinta Allah dan Kristus kepada jemaat-Nya yang bersifat
kekal, maka perceraian secara tegas ditolak oleh Kristus sendiri. Demikian juga segala bentuk perbedaan yang mengarah pada
perpecahan atau persengketaan, misalnya menyangkut kekayaan, harta, anak, adalah sebuah penyimpangan dari makna kesatuan
tersebut. Betapa pun suami-isteri memiliki berbagai perbedaan, janganlah menjadi biang perpecahan karena egoisme, melainkan
justru didayagunakan secara sinergis, agar tercipta kesejahteraan bersama.
c. Keluarga adalah “Gereja Mini”
Identitas kekristenan keluarga Kristiani mengandung makna bahwa keluarga tersebut terpanggil untuk turut serta dalam hidup
dan perutusan Gereja. Keluarga Kristiani wajib mewujudkan dirinya menjadi “Gereja Mini” Paus Yohanes Paulus II, 1994:
art.49. Dalam rangka perwujudan itu keluarga Kristiani perlu menampilkan corak kehidupan umat beriman berpangkal pada
pola kehidupan Gereja Purba dalam persatuan historis dengan Tuhan Yesus Kis 2:41-47.
66
Konsekuensi dari corak tersebut adalah, bahwa keluarga Kristiani bukanlah semata-mata merupakan rukun hidup,
melainkan sekaligus rukun iman. Justru dengan kata Kristiani hendaknya dimensi iman menjiwai seluruh dinamika hidup
keluarga itu. Sebagaimana cara hidup jemaat perdana, keluarga Kristiani perlu memiliki komitmen yang tinggi terhadap segi iman
ini. Artinya, dalam perjalanan dan pergulatan hidup keluarga itu, hendaknya iman digali unsur wawasannya, diungkapkan
atau dirayakan dalam doa, dihayati dalam hubungan kasih persaudaraan, diwujudkan dalam tindakan nyata, serta disaksikan
secara radikal, agar mendatangkan suka cita bagi sesama. Pola penghayatan iman yang kompleks dan dinamis semacam ini, serta
seiring dengan tugas perutusan Gereja dalam karya pastoralnya, perlu terus-menerus ditumbuhkan dalam keluarga.
2. Peranan Keluarga