118
B. DAMPAK PERSEPSI KELIRU MANUSIA
SEBAGAI PENGUASA ALAM Kej 1:27-28 adalah ayat Kitab Suci yang sering dipakai untuk
melegitimasi peran dan perilaku manusia untuk menguasai dan memanfaatkan alam semesta. Ayat itu kerap ditafsirkan secara
sempit dan sepihak hingga mengandung unsur subordinasi dari ciptaan lain terhadap status manusia yang tinggi sebagai penguasa
alam hingga membenarkan sikap eksploitatif manusia terhadap alam semesta demi kemajuan dan kesejahteraan hidupnya
sendiri Mateus Mali, 2008:141-142. Padahal sebetulnya, ayat Alkitabiah itu hanya bisa dimengerti dengan baik dan tepat bila
dikaitkan dengan ayat lain yang menjadi makna dan tujuan dari pengangkatan status manusia sebagai mahkota alam, yakni ayat
Kej 1: 18, 31 yang menandaskan bahwa “Allah melihat segala yang dijadikanNya itu sungguh amat baik adanya.” Dengan kata
lain, manusia itu diangkat menjadi penguasa alam justru karena ia itu bertugas untuk terus menjaga dan memelihara kebaikan
keindahan tertib alam natural order sebagaimana alam itu telah diciptakan Allah, dan bukannya malah menguras dan merusak
tertib alam itu hingga porak-poranda.
Ayat lain yang menggarisbawahi panggilan manusia sebagai penguasa yang bijak dari alam semesta adalah Mazmur 8:4-7:
“Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kau tempatkan: Apakah manusia sehingga
Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia sehingga Engkau mengindahkannya? Namun Engkau telah membuatnya hampir
sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-
Mu, segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya…”.
Pertanyaannya ialah: Apa artinya manusia itu telah diangkat menjadi penguasa yang hampir sama seperti Allah itu? Jawabnya
ialah manusia itu harus meniru pola penguasaan Allah yang telah
119
menyelenggarakan segala sesuatu dengan baik dan bijaksana, hingga semua makhluk ciptaan mempunyai ruang hidup dan
tercukupi kebutuhannya. Karya penyelenggaraan ilahi providentia dei itu diungkapkan dengan indah dalam Mazmur 104: 10-14
berikut ini,
“Engkau yang melepas mata-mata air ke dalam lembah- lembah, mengalir di antara gunung-gunung,
memberi minum segala binatang di padang, memuaskan haus keledai-keledai hutan;
di dekatnya diam burung-burung di udara, bersiul dari antara daun-daunan.
Engkau yang memberi minum gunung-gunung dari kamar- kamar loteng-Mu, bumi kenyang dari buah pekerjaan-Mu.
Engkau yang menumbuhkan rumput bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan untuk diusahakan manusia, yang
mengeluarkan makanan dari dalam tanah” Di jaman teknologi modern ini, kekuasaan manusia terhadap
alam nampak dalam bentuk kemajuan dan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi Iptek yang telah melahirkan
peradaban industri informasi global hingga manusia mempunyai kekuatan yang canggih untuk memanfaatkan sumber-sumber
alam, bahkan untuk mengeruk kekayaan alam yang terbatas itu dengan cara yang tanpa batas. Tindakan eksploitatif habis-
habisan itu mempunyai akibat langsung dan tak langsung yang dapat merusak kondisi tanah, udara, air dan keseluruhan sistim
ekologis yang menjadi lingkungan hidup manusia. Tanpa disadari, progress manusia yang melupakan mandat ilahi untuk mengelola
alam dengan tertib dan bijaksana itu telah menyebabkan terjadinya regress atau kemunduran kondisi alam karena terjadi kerusakan
ekologis yang fatal. Dekret 3 No.33 Kongregasi Jendral 35 Serikat Yesus, mendeskripsikan akibat parah yang dapat ditimbulkan dari
kerusakan lingkungan itu sebagai berikut:
120
“Masa depan BUMI kita terancam. Air beracun, udara tercemar, penebangan hutan secara besar-besaran, pembuangan
sampah atom dan racun mematikan menyebabkan kematian dan malapetaka tak terkatakan…”
Salah satu contoh dari progress yang menyebabkan masa depan bumi kita malah jadi terancam, misalnya, adalah kemampuan
manusia memanfaatkan tenaga nuklir. Menurut penelitian Al Gore 2010:175, antusiasme manusia terhadap tenaga nuklir didasarkan
pada persepsi bahwa tenaga ini dapat menjadi sumber energi listrik yang bebas karbon dioksida. Pendapat ini menurutnya
tidak seutuhnya benar sebab siklus hidup reaktor nuklir itu dari pembangunannya, penambangan, pengolahan bahan bakar
uranium sampai transportasi dan limbah nuklir menghasilkan banyak CO2. Jumlah CO2 yang dihasilkan oleh energi nuklir per
jam-kilowatt memang jauh lebih sedikit daripada yang dihasilkan dari batu bara; namun jika dibandingkan dengan tenaga angin,
matahari atau tenaga hidrolistrik maka CO2 pembangkit listrik tenaga nuklir jauh lebih banyak. Menjadi sangat mengerikan jika
tempat reaktor nuklir itu meledak, seperti yang terjadi di Chernobyl pada tahun 1986 atau bocor seperti di Fukushima 2011. Radiasi
yang disebarkan akibat ledakan Chernobyl itu jauh lebih dahsyat karena berkekuatan 100 kali lebih besar daripada bom-bom atom
yang dijatuhkan di Nagasaki dan Hirosima. Jadi, apabila realitas regress tersebut tidak diantisipasi, maka dapat “menghancurkan”
harmoni damai di antara umat manusia dan alam dengan adanya krisis ekologis yang luas.
Dalam skala global, krisis ekologis disebut dengan istilah global warming pemanasan global, sedangkan dalam skala kecil krisis
ekologis dialami dalam bentuk banjir rutin musiman, kekeringan, penumpkan sampah, polusi udara, pencemaran air dan rusaknya
hutan lindung. Apabila manusia tidak mau sungguh terlibat dalam upaya “menyelamatkan alam”, maka struktur peradaban umat
manusia dapat runtuh.
121
C. MENUMBUHKAN SPIRITUALITAS EKOLOGIS