Kajian Terhadap Keberadaan Tim Koordinasi

129 yang dibuat oleh pemerintah provinsi dan bahkan pemerintah pusat, dan karenanya bersifat top down, ketimbang banyak mempertimbangkan kondisi riel yang dihadapi kabupaten Cianjur, sehingga dilihat dari lima prinsip penentuan target yang harus memenuhi kriteria SMART-nya specific, measurable, achievable, relaistic dan time bound, maka hanya tiga kriteria, yakni specific, measurable dan time bound-nya yang secara jelas sudah dipenuhinya. Sementara dua kriteria penting lainnya, kriteria achievable prinsip harus dapat dicapai dan realistiknya prinsip kesesuaian dengan kondisi rielnya masih dipertanyakan, dan akan dibahas dalam uraian mengenai pencapaian kinerjanya pada pembahasan berikutnya.

2. Kajian Terhadap Keberadaan Tim Koordinasi

Dari hasil penelitian terungkap bahwa kehadiran lembaga koordinasi yang sekaligus merupakan koordinator sekaligus implementor, bahkan menjado motor penggerak dari pelaksanaan kebijakan ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Ketua Umum Tim, dalam hal ini Sekretaris Daerah Sekda, yang diharapkan bisa memutarkan jalannya roda organisasi yang melibatkan banyak pihak yang ada dibawah kewenangannya, misalnya, karena kesibukannya nyaris tidak pernah hadir dalam rapat-rapat Tim yang dilakukan. Demikian halnya dengan anggota Tim yang lainnya, terutama anggota yang mewakili Polres dan Kodim dan beberapa Dinas lain juga nyaris tak pernah terlibat dalam kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya. Padahal keberadaan mereka selaku implementor, termasuk sikap dan pelakunya disposisi dalam bahasa George C Edward 1990, atau dukungan sumber daya 130 manusia dalam bahasanya Donald Van Meter 1975, merupakan salah satu variable yang akan menentukan keberhasilan melaksanakan sebuah kebijakan. Singkatnya, demikian dari hasil pengamatan peneliti, hanya dari Unsur Dinas P dan K serta Kantor departemen Agama yang berperan aktif. Salah satu alasannya, disamping karena hampir semua institusi yang ditetapkan menjadi anggota Tim Koordinasi itu tidak terlebih dahulu diajak bicara kecuali sebatas ditunjuk dan ditetapkan SK Bupati, juga tidak pernah melakukan pertemuan untuk menjelaskan peran dan fungsinya. Maka benar apa yang dikatakan Peter Senge 1992, ”bahwa hampir dalam kebanyakan organisasi, relatif hanya sedikit orang yang mengikuti enrolled, dan bahkan beberapa saja yang komit committed, mayoritas orang berada dalam posisi pemenuhan complant. Mereka mendukung visi pada tingkat tertentu, tetapi mereka tidak benar-0benar mengikuti enrolled atau komit committed”. Tidak mengherankan pula jika keterlibatan mereka pada umumnya menjadi kurang bahkan nyaris tidak berfungsi kecuali sebatas tertulis dalam SK Bupati. ”Kami tidak dilibatkan, bahkan kami tidak tahu kalau dalam SK Bupati tertuang sebagai anggota Tim Koordinasi”, demikian ungkap beberapa kepala Dinas Instansi ketika diwawancarai. Menurut pendapat peneliti, itulah pula awal dari lemahnya komitmen yang akan mempengaruhi kinerja Tim dalam menjalankan tugas pada tahap berikutnya. Hal tersebut juga ditegaskan Argyris 1964, dikutip Nyoman Sumaryadi 2005 yang menegaskan bahwa 131 keberhasilan sebuah organisasi, dalam hal ini Tim Koordinasi, dianggap tercapai apabila proses internal organisasi berjalan lancar. Lebih jauh ditegaskan Daniel Katz dan Robert Kahn, dalam Bryant White 1987, ”bahwa pada tingkat pertama, keberhasilan implementasi sebuah kebijakan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkannya dapat dilihat dari konteks proses internal organisasi melalui kerjasama, yang antara lain ditinjau dari berjalannya koordinasi dengan baik dan efektif” Kalau pun ada beberapa pihak yang terlibat, terutama Tim yang ada pada tingkat kecanatan dan Desa, demikian hasil pengamatan peneliti, maka perannya tidak lebih dari sebatas melakukan kegiatan pendataan dan pemetaan sasaran sebagai bagian kecil dari tugas merumuskan perencanaan atau program. Sementara pelaksanaan tugas dan fungsi yang lainnya, terutama menyangkut kegiatan sosialisasi, termasuk penggerakan masyarakatnya, ternyata lebih banyak dilakukan oleh petugas internal dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Itu pun dilakukan hanya dengan memanfaatkan forum-forum pertemuan internal yang ada. Dengan kata lain, tidak ada ”gerakan” yang meniscayakan arti pentingnya kebersamaan dan pelibatan banyak pihak dalam implementasi Wajar Dikdas sebagaimana yang sering didengang-dengungkan.

3. Kajian Terhadap Kegiatan Sosialisasi