114 Persisnya, setelah anak dari pasangan orang tua yang pekerjaanya hanya
sebagai buruh itu lulus SD pada tahun 2006, ia didorong orang tuanya melanjutkan pendidikan ke Pesantren dengan alasan faktor biaya yang ditangkap
dari ceritera para orang tua yang mejadi tetangganya. Nahasnya, baru dua bulan di pesantren anaknya sudah dibawa pulang karena ketidakmampuan orang tua
untuk memberi bekal makan anaknya. Karena kemiskinan, singkatnya, si anak haris rela tidak bisa menikmati pendidikan, bahkan untuk pendidikan pesantren
yang tidak memungut biaya sekali pun.
2. Beberapa Faktor Utama Penyebab
Apa yang dialami oleh banyak anak dari keluarga miskin seperti yang diangkat dalam beberapa kasus di atas sesungguhnya hanyalah merupakan
representasi saja dari sekian banyak kasus yang sama, atau setidaknya cenderung sama, yang umumnya banyak dialami oleh anak dari keluarga miskin
yang lainnya. Persisnya, dari 270 anak yang tinggal di 270 Desa Kelurahan yang
sengaja diwawancarai dan diobservasi dalam penelitian ini, dan setelah dilakukan klasifikasi atau kategorisasi, maka setidaknya ada empat faktor
dominan yang sekaligus menjadi alasan anak dari keluarga miskin di Kabupaten Cianjur selama ini terpaksa meninggalkan bangku sekolah, baik dropout di
tengah jalan, maupun tidak melanjutkan sekolah. Dari hasil penelitian pula terungkap bahwa masing-masing faktor
tersebut tidak selamanya hadir secara terpisah dari faktor yang lainnya, melainkan melekat atau hadir tidak terpisahkan dari satu atau bahkan semua
115 faktor yang lainnya. Pengklasifikasian di sini dibuat sekadar untuk memudahkan
analisis sekaligus menjelaskan faktor dominan paling berpengaruh yang selama ini muncul menjadi penyebab anak dari keluarga miskin tidak melanjutkan atau
putus sekolah. Pertama, dan yang paling utama, adalah menyangkut faktor ekonomi
keluarga, sebutlah beban berat ekonomi keluarga. Inilah pula faktor yang pada akhirnya banyak mempengaruhi lahirnya faktor penyebab lain, sebutlah seperti
menyangkut faktor kesadaran atau motivasi, baik motivasi anak maupun orang tuanya, bahkan motivasi kedua belah pihaknya.
Fakta di atas sesuai dengan hasil sebuah penlitian terkini yang dilakukan El findri dan Davy 2006, dalam Devy Hendri Kompas, 30 Juli 2007 yang
menyebutkan, meski salah satu alasan utama tidak bersekolahnya anak-anak dari keluarga miskin adalah karena jauhnya jarak sekolah dengan rumah, faktor
kemiskinan rumah tangga tetap menjadi kontributor utama. Masalah pokoknya muncul ketika tuntutan biaya yang dibutuhkan untuk
menyekolahkan anaknya harus menyedot tuntutan biaya untuk memenuhi keseharian hidup mereka, bahkan untuk kebutuhan sangat primer karena
menyangkut pemenuhan perut atau makan sehari-hari mereka. Kecenderungan tersebut diperparah oleh besarnya beban hidup yang harus ditanggung oleh
keluarga miskin lantaran besarnya jumlah anak yang dimiliki mereka. Hasil penelitian ini juga mengungkapkan, semakin miskin sebuah
keluarga, maka akan semakin besar keinginan untuk memiliki banyak anak. Hal ini juga sesuai dengan tesis yang dikembangkan para ahli demografi – sosiologi
yang menegaskan bahwa besarnya anak bagi keluarga miskin adalah investasi.
116 Itu sebabnya, semakin miskin sepasang keluarga, maka akan semakin banyak
kemungkinan anak yang mereka miliki. Buat mereka, anak adalah mesin produksi yang diharapkan bisa membantu meringankan beban ekonomi
kelauraga. Dari hasil penelitian juga terungkap bahwa masalah beban berat
ekonomi di sini bukan menyangkut besarnya biaya yang harus dipenuhi anak untuk membayar iuran sekolah yang memang sudah dibebaskan pemerintah,
melainkan menyangkut biaya untuk keperluan seperti seragam, baju olah raga, biaya transportasi, bahkan biaya jajan anak, adalah beberapa komponen lain
yang mesti diperhitungkan dalam pembiayaan pendidikan. Jelasnya, beban biaya tidak langsung, atau indirect cost, itulah yang
menjadi masalah berat yang sering dihadapi anak dari keluarga miskin dalam mengakses layanan Wajar Dikdas 9 tahun selama ini. Bahkan bagi mereka yang
sangat miskin, anak justeru ditarik dari sekolah dengan maksud hanya untuk membantu meringankan beban hidup keluarga, bahkan anak dibiarkan bermain
keluyuran. Di situlah pula arti pentingnya mempertimbangkan apa yang dalam konsep ekonomi pendidikan disebut dengan opportunity foregone kesempatan
yang hilang yang mesti dipertimbangkan dalam membicarakan pembiayaan pendidikan, lebih-lebih bagi anak dari keluarga miskin.
Kedua, adalah faktor kesadaran, baik menyangkut kesadaran orang tua maupun kesadaran anaknya sendiri, bahkan menyangkut kesadaran kedua-
duanya, yakni kesadaran anak dan orang tuanya. Persisnya, dari banyak kasus anak tidak bersekolah yang diteliti, sebagian diataranya terjadi karena berkait
dengan persoalan miskinnya kesadaran atau awarnesses mereka. Kondisi ini
117 diperkuat oleh tingkat pendidikan orang tua mereka yang secara rata-rata
memang tidak lebih dari tamatan SD, bahkan banyak yang tidak tamat SD. Namun perlu dicatat bahwa faktor kesadaran di sini tidaklah berdiri
sendiri atau lepas dari faktor lainnya yang memang merupakan karakter khas dari keluarga miskin. Jelasnya, dari hasil penelitian juga terungkap bahwa
kesadaran mereka akan arti pentingnya pendidikan menjadi berkurang lantaran memang terdesak oleh tuntutan hidup yang dihadapi mereka. Karena begitu
beratnya beban hidup yang harus ditanggung mereka, misalnya, motivasi mereka untuk melanjutkan pendidikan anaknya menjadi berkurang.
Faktor jarak jauh antara tempat tinggal anak dengan lokasi sekolah, ketiga, adalah merupakan masalah berat tersendiri yang selama ini menjadi
penyebab sebagian anak dari keluarga miskin tidak melanjutkan atau putus sekolah. Dari banyak kasus anak tidak sekolah yang diteliti, sebagiannya
mengeluh karena masalah biaya transportasi. Dalam konteks itu, efektivitas semua kebijakan yang diimplementasikan pemerintah selama ini jelas-jelas
belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan dan tuntutan anak dari keluarga miskin, dan karenanya layak dipertanyakan.
Bahkan karena sangat jauh dan langkanya sarana transportasi, ada diantara mereka yang setiap harinya harus mengeluarkan biaya transport saja
tidak kurang dari Rp. 50.000,-, sebuah angka yang jauh lebih besar dibanding besarnya iuran yang dibebaskan pemerintah. Itulah pula faktor yang selama ini
belum banyak dijawab dalam implementasi kebiajakan Wajar Dikdas. Seperti pernah ditegaskan pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia,
Nanang Fatah Kompas, 20 Desember 2006, salah satu kesulitan masyarakat
118 dalam mengakses pendidikan berkait dengan persoalan transportasi karena
selama ini pemerintah tidak memperhitungkan jarak jangkauan calon siswa dengan sekolah.
Bahkan jauhnya jarak yang terpaksa sering harus ditempuh anak dari keluarga miskin – karena ketiadaan infrastruktur jalan serta sarana transfortasi –
adalah contoh dari bentuk pengorbanan yang tak jarang hadir menjadi beban berat sendiri bagi anak dari keluarga miskin dalam mengakses pendidikan.
Meminjam istilahnya Thomas Yanes 1985, Non – monetary cost, itulah faktor lain yang selama ini tak jarang hadir menjadi beban berat sendiri bagi anak dari
keluarga miskin dalam mengakses pendidikan Itulah pula faktor ketiga yang selama ini jadi penyebab lain anak dari
keluarga miskin tidak melanjutkan sekolah ke jenjang SLTP. Masalah ini tak jarang diperburuk oleh beratnya beban kehidupan ekonomi keluarga mereka,
disamping aspek kesadaran atau motivasi mereka terhadap pendidikan yang memang rendah. Di sini, efektivitas layanan pendidikan yang dilakukan
pemerintah saat ini juga layak dipertanyakan karena belum mampu menjawab kondisi riel kehidupan anak dari keluarga miskin.
Seperti diungkapkan oleh Drs. Dadang, Kepala SMP Sukaresmi 1 yang menjadi sekolah Induk SMP Terbuka yang mengatakan : bahwa ”hanya sekitar
70 persen dari murid-muridnya yang rtin mengikuti kegiatan belajar”. Alasannya, tegasnya pula, ”anak-anak yang selruhnya berasal dari keluarga
miskin itu sering bolos karena memang diajak orang tuanya, kalau bukan karena memang motivasi anaknya sendiri yang rendah, yang menjadi penyebab anak
sering tidak hadir mengikuti proses pembelajaran”.
119 Hal itu didukung pula oleh tesisnya Bruner 1970 dan Beeby 1979
yang menegaskan bahwa kemampuan ekonomi masyarakat miskin yang rendah dapat mengurangi hasrat orang tua dan semangat anak untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Parahnya, demikian pernah terlontar dari beberapa tokoh masyarakat di Cianjur selatan, bahwa tidak jarang anak
yang sedang sekolah ditingkat SMP terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah hanya karena ada iming-iming mau diajak bekerja keluar negeri
umumnya jadi pembantu rumah tangga oleh oknum dari penyalur tenaga kerja yang selama ini menjadi masalah pelik tersendiri bagi pemerintah dalam upaya
untuk mengimplementasikan kebijakan Wajar Dikdasnya, bahkan menjadi masalah pelik dan kompleks tersendiri dalam menaggulangi masalah
”trafficking” yang tak jarang muncul di kabupaten Cianjur. Keempat, adalah menyangkut faktor psikologis seperti perasaan
rendah diri atau minder, baik karena status sosialnya yang memang miskin maupun karena faktor kelainan atau cacat fisik yang dimilikinya, termasuk
didalamnya faktor psikologis karena memang anaknya yang karena berbagai hal malas bersekolah. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Silverstein dan Krate,
dikutip Saratri Wilonoyudho Kompas, 16 Mei 2005 yang mengungkapkan bahwa anak-anak dari keluarga miskin yang umumnya tinggal di daerah kumuh
atau tertinggal terisolasi menyebebkan mereka memiliki sifat kurang percaya diri dan penghargaan pada diri sendiri rendah low self esteem.
Hasil penelitian itu juga sesuai dengan pendapatnya Oscar Lewis 1961 yang banyak melihat kemiskinan lebih dari aspek budaya – budaya kemiskinan
culture of poverty – yang menegaskan bahwa dilihat dari perilaku
120 kesehariannya, budaya miskin itu tampak dari tanda-trandanya seperti merasa
tidak berharga, tidak berdaya, rendah diri dan ketergantungan. Salah satu wujud kongkritnya, sebagian diantara mereka terpaksa
meninggalkan bangku sekolah hanya karena tidak mampu membeli sepatu atau baju seragam seperti halnya yang bisa dilakuan oleh anak-anak yang lainnya.
Sebagian diantaranya tidak mau melanjutkan sekolah lantaran merasa umurnya sudah berada di atas umur anak yang lainnya kalau bukan karena malu karena
cacat tubuh yang dimilikinya. Bahkan sebagian dintaranya terpaksa meninggalkan bangku sekolah hanya karena merasa tertekan berkait dengan
berbagai tindakan kekerasan yang tak jarang diterima anak, terutama dalam bentuk kekerasan mental yang terkadang harus dihadapi dilingkungan
sekolahnya. Di sini, kondisi lingkungan internal sekolah turut memperparah penderitaan anak dari keluarga miskin. Itulah faktor kelima yang dari hasil
penelitian ini terangkat sebagai penyebab lain kenapa anak dari keluarga miskin
tidak bisa menyelesaikan pendidikan dasarnya.
121
BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Jika uraian dalam bab sebelumnya diarahkan kepada upaya untuk mendeskripsikan temuan-temuan penelitian sesuai dengan fokus dan
pertanyaan penelitian yang diajukan, maka dalam bab berikut ini akan disajikan uraian yang berisi pembahasan terhadap seluruh temuan penelitian, terutama
yang ditekankan pada fokus penelitian. Melalui bab ini, efektivitas dari implementasi kebijakan percepatan
Wajar Dikdas 9 tahun dalam rangka membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari keluarga miskin akan dijawab. Melalui bab ini pula, alasan
mengani masih banyaknya anak dari keluarga miskin yang belum tersentuh kebijakan akan dibahas.
Bukan hanya itu, melalui bab ini pula akan dimunculkan beberapa isu strategis yang bisa dijadikan landasan dalam rangka meningkatkan efektivitas
pelaksanaan akselerasi penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun dikaitkan dengan upayanya untuk membantu meringankan beban pendidikan bagi anak dari
keluarga miskin.
A. Kajian Terhadap Arah Kebijakan yang Ditempuh