106 Dan di situlah pula efektivitas kebijakan percepatan penuntasan Wajar Dikdas 9
tahun yang dilaksanakan selama ini bisa dikaji dan dievaluasi lebih dalam lagi.
1. Potret Sejumlah Kasus
Many children left behid, tulis Deborah Meier 2005, seorang penulis sekaligus praktisi pendidikan di daratan Amerika Serikat, dikutip Rohmat
Mulyana 2007 untuk menggambarkan sekaligus mengkritisi disparitas pendidikan antara rakyat miskin alias kurang beruntung dengan mereka yang
kaya. Itulah pula salah satu potret buram yang terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan di negeri ini, bahkan untuk penyelenggaraan pendidikan tingkat
dasar sekalipun. Dan di situlah pula penyelenggaraan pendidikankita, khususnya Wajar Dikdas 9 tahun yang sangat diniscayakan dalam Undang-undang
sesungguhnya digugat. Banyak sekali faktor yang selama ini hadir menjadi alasan seorang anak
tidak melanjutkan sekolah, kendati pun pemerintah, melalui kebijakan- kebijakannya, telah berupaya untuk mempermudah akses masyarakat terhadap
layanan pendidikan, khususnya layanan pendidikan dasar 9 tahun. Seperti diungkapkan Paulo Freire 1995, sebagai kaum marginal, mereka adalah anak-
anak yang mengalami kesulitan akses pendidikan karena faktor kemiskinan, hambatan geografis, bias gender, atau karena faktor kecacatan difable –
defferent ability. Bahkan bagi mereka, belajar dilembaga pendidikan yang berkualitas menjadsi sesuaru yang sangat mahal.
Rahmat 14 tahun yang beralamat di kawasan perumahan padat yang ada kelurahan Sayang Cianjur kota, misalnya, terpaksa tidak melanjutkan
sekolah setelah tamat SD pada tahun 2006. Alasannya, ia cenderung lebih
107 memilih memenuhi ajakan ibunya untuk ikut berdagang keliling kampung
ketimbang memenuhi ajakan gurunya untuk melanjutkan sekolah ke tingat SLTP yang jaraknya tidak jauh dari tempat tinggalnya. Bahkan orang tua dan
anaknya mengetahui kalau penyelenggaraan pendidikan dasar di daerahnya, melalui program BOS-nya, telah dibebaskan dari segala bentuk iuran alias
gratis. Di sini, masalah biaya sekolah, khsusnya biaya langsung – direct cost bukanlah perupakan masalah utama karena ada faktor lain yang selama ini
menjadi kendala bagi anak miskin dalam mengakses pendidikan. Dari hasil wawancara terungkap bahwa beban berat hidup keluarga
dengan segala dampak psikologisnya terhadap sikap dan perilaku anak yang diperkuat dengan miskinnya kesadaran orang tua akan arti pentingnya
pendidikan, hadir menjadi penyebab dominan anak bernama Rahmat yang memiliki ayah hanya sebagai kuli kasar itu tidak melanjutkan sekolah.
Apa yang dialami Rahmat juga dialami oleh Diki 15, anak dari seorang ayah yang memiliki pekerjaan hanya sebagai tukang becak dan ibunya sebagai
tukang cuci baju tetangganya. Persisnya, Diki yang beralamat di Rancabali Cianjur kota itu terpaksa harus meninggalkan bangku sekolah pada kelas V SD
lantaran kurang memperoleh perhatian sama sekali dari orang tuanya. Seperti dialami keluarga Rahmat, maka beban berat ekonomi keluarga serta kesadaran
orang tua akan arti pentingnya pendidikan hadir menyatu menjadi faktor penyebab si anak harus meninggalkan bangku sekolah. Kasus ini sesuai dengan
tesisnya Bruner 1970 dan Beeby 1979 yang mengeaskan bahwa kemampuan ekonomi masyarakat yang rendah dapat mengurangi hasrat orang tua dan
semangat anak untuk melanjutkan pendidikan.
108 Pengalaman yang harus dijalani anak bernama Ai Siti Aminah 15 yang
beralamat di Desa Sukagalih Kecamatan Mande lebih memprihatinkan lagi. Meskipun motivasi ia untuk melanjutkan sekolah cukup tinggi, bahkan sampai
sempat menangis-nangis ingin melanjutkan sekolah, namun si anak pada akhirnya harus puas menikmati pendidikan hanya sampai tingkat SD.
Alasannya, ayahnya yang hanya seorang buruh kuli itulah yang justeru melarangnya melanjutkan sekolah dengan alasan takut tidak bisa membiayai
kebutuhan pendidikan anaknya. Dari hasil wawancara terungkap bahwa biaya yang dikeluhkan bukan
berkait dengan kebutuhan bayaran sekolah yang diketahuinya telah dibebaskan pemerintah, tetapi menyangkut kebutuhan sekolah yang lainnya, terutama
perlengkapan sekolah seperti baju seragam, sepatu dan sejenisnya. Itulah pula alasan yang banyak dialami oleh anak dari keluarga miskin
yang lainnya. Suryana 15 yang merupakan anak pertama dari pasangan Lukman dan Ny. Masliah asal Desa Saganten Kecamatan Sindangbarang
terpaksa hanya bisa menikmati bangku sekolah kelas satu Madrasah Tsanawiyah MTs selama 15 hari hanya karena merasa kasihan kepada orang tuanya yang
kondisi ekonominya dalam keadaan morat marit. Persisnya, si anak merasa kasihan sekaligus takut kalau orang tuanya kelak tidak bisa memenuhi banyak
kebutuhan sekolah yang perlu dilengkapinya. Di sini, masalah motivasi anak dan beban ekonomi keluarga hadir saling memperkuat menentukan sikap anak
dan keluarga terhadap pendidikan. Sangat berbeda dengan yang dialami oleh anak-anak dalam kasus di atas
adalah beberapa kasus yang dialami oleh anak di bawah ini. Leman 15 yang
109 beralamat di Desa Mekarsari Cikalongkulon, misalnya, terpaksa tidak bisa
melanjutkan sekolah ke tingkat SLTP bukan karena tidak mendapat dukungan dari orang tuanya, tetapi lebih karena faktor motivasi yang dimiliki anaknya
sendiri. Ah abdi mah alim sareng males we ah tidak mau dan saya ini malas saja, kata si anak sambil mengekspressikan keinginannya untuk membantu
pekerjaan orang tuanya ketimbang melanjutkan sekolah. Di sini, kondisi kemiskinan keluarga dengan banyak dimensinya adalah akar yang menjadi
penyebab hilangnya motivasi anak untuk melanjutkan pendidikan. Hal yang sama juga dialami oleh Rita 14, anak kedua dari lima
bersaudara pasangan U Suherlan dan Ny. Rani yang beralamat di Desa Mekarwangi Kecamatan Ciranjang. Dalam kasus ini, meskipun orang tuanya
terus mendorong anaknya untuk kembali masuk sekolah, namun Rita terpaksa meninggalkan bangku sekolah pada kelas IV SD karena merasa malu terlalu
sering tidak masuk sekolah berkait dengan sakit yang sering dideritanya. Faktor psikologis yang ditandai dengan perasaan rendah diri merupakan
alasan lain kenapa seorang anak tidak mau melanjutkan sekolah. Itulah pula yang antara lain dialami oleh beberapa anak berikut ini. Aris 15, misalnya,
terpaksa meninggalkan bangku sekolah dasar SD pada tahun 2006 bukan semata karena faktor ekonomi orang tua yang memang miskin, tetapi lebih oleh
karena faktor psikologis berupa perasaan minder yang tak jarang diciptakan lingkungan sekolahnya.
Menurut penjelasan orang tuanya, Empep yang hanya pedagang asongan dilingkungan sekolah itu, Aris yang beralamat di Desa Jamali Kecamatan
Mande itu tidak mau sekolah karena sering diolok-olok teman sekolahnya
110 sendiri dengan sebutan ”si begang” kurus, ”si penyol” lonjong dan
sebagainya. Dan ironisnya, cemoohan yang sering menekan secara psikologis sekaligus membuat minder anak itu justeru tak jarang dilakukan oleh gurunya
sendiri, tegas Aris dan keluarganya. Bahkan oleh orang tua dan kakeknya, Aris telah dicoba dan berkali-kali
dimotivasi untuk bisa pindah sekolah, namun ia tetap memilih meninggalkan bangku sekolah lantaran faktor psikologis yang dialaminya. Dari kasus ini bisa
diangkat bahwa lingkungan sekolah, bukan semata lingkungan keluarga, termasuk kesadaran orang tuanya, apalagi semata faktor ekonomi, merupakan
faktor penting lain yang turut berpengaruh sekaligus menjadi alasan kenapa seorang anak tidak melanjutkan sekolah.
Itulah pula yang dialami oleh beberapa anak yang lainnya. Nunang 14 yang hanya mampu menikmati pendidikan sampai kelas IV SD pada tahun 2003
tidak mau melanjutkan sekolah karena merasa malu kalau usianya sudah terlalu tua usia untuk kembali melanjutkan sekolah setingkat SD. ”Ah era geus gede”
ah malu sudah besar, ujarnya ketika dimintai alasan kenapa ia tidak melanjutkan sekolah. Padahal jarak jauh antara sekolah dan rumahnya hanya
sekitar 200 meter, bahkan pemerintah telah menyediaakan layanan pendidikan bernama Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat PKBM yang jaraknya juga tidak
jauh dari tempat tinggalnya. Itulah pula yang dialami oleh Santi 15, anak kedua dari enam
bersaudara yang beralamat di Desa Jambudipa Kecaamatan Warung Kondang. Persisnya, Santi yang tamat SD pada tahun 2005 itu, kini tidak mau melanjutkan
kejenjang SLTP yang jaraknya hanya sekitar 100 meter dari rumahnya itu
111 karena merasa malu berkait dengan usianya yang sudah menginjak umur 15
tahun, usia dimana teman-temannya sudah bisa menyelesaikan pendidikan jenjang SLTP.
Kasus berikut lebih memprihatinan lagi. Meskipun dorongan dari orang tuanya kuat, namun Jali 13, anak tunggal dari pasangan Basiri dan Ny.Lilis
yang beralamat di Desa Purabaya Kecamatan Leles terpaksa meninggalkan bangku sekolah kelas satu SMP pada tahun 2007 hanya karena merasa dirinya
memiliki kekurangan secara fisik, cacat kaki. ”Isin pa, pan abdi cacat sampean” malu pak, kan saya ini punya cacat kaki, keluhnya ketika ditanya
alasan tidak melanjutkan sekolah. Singkatnya, bahwa dorongan orang tua saja tidaklah cukup karena aspek
motivasi dan kesadaran anak juga sangat berpengaruh. Caca 13, misal lain, anak tunggal pasangan Mumuh dan Ny.Sarwati yang beralamat di Desa
Sukajaya Kecamatan Leles Cianjur Selatan itu terpaksa tidak melanjutkan sekolah ke jenjang SLTP bukan karena tidak didukung orang tuanya,
melainkan karena anaknya sendiri yang memang ngotot tidak mau melanjutkan. Alasannya, ia lebih senang bermain alias keluyuran dengan motor bodong
yang dibelikan orang tuanya ketimbang melanjutkan sekolah ke SMP Satu Atap yang jaraknya hanya sekitar 300 meter dari rumahnya.
Faktor jarak jauh antara rumah dengan lokasi sekolah, adalah merupakan salah satu determinan penting yang selama ini hadir menjadi alasan kenapa
masih banyak anak yang tidak melanjutkan sekolah. Itulah pula yang terutama banyak dialami oleh anak-anak dari keluarga miskin yang tinggal di daerah-
daerah terpencil, terutama di daerah Cianjur selatan. Hal ini menunjukan bahwa
112 program-program Wajar Dikdas 9 tahun yang selama ini digulirkan pemerintah
belum mampu menyentuh dan menjawab persoalan yang dimiliki anak dari keluarga miskin.
Ami Diyanti 13, anak dari pasagan Ibu Sinah dan Iskandar yang pendidikanya haya tamatan SD degan pekerjaan sebagai buruh tani di Desa
Sirnagalih itu terpaksa tidak melanjutkan sekolah se jenjang SLTP hanya karena jauhnya jarak, sekitar 7 km. Bahkan untuk bisa masuk jalur pendidikan
nonformal berupa Kejar Paket B pun ia harus menempuh jarak sekitar 6 km. Kondisi itu diperkuat oleh masalah beban ekonomi keluarga, disamping karena
si anak tidak mau sekolah karena merasa dikampungnya tidak punya teman sejenis, yakni teman sesama perempuan.
Ketersediaan tenaga pendidikan seperti guru atau tenaga pengajar merupakan masalah lain yang selama ini sangat berpengaruh dalam menunjang
keberhasilan Wajar Dikdas 9 tahun. Yuyu Yuningsih 14 yang anak seorang tukang baso dan bertempat tinggal di desa Sukamulya Kecamatan Mande,
misalnya, terpaksa meninggalkan proses belajar dalam bentuk Paket Kejar B yang disediakan Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur hanya karena guru
pengajarnya yang jarang datang. Di sini, efektivitas layanan pendidikan non- formal yang disediakan pemerintah dipertanyakan. Bahkan anak bernama
Yuyu ini pernah berkeinginan untuk pindah ke SMP terbuka namun akhirnya mengurungkan diri lantaran tidak mampu menyediakan biaya untuk membeli
kaos olah raga dan baju seragam, bahkan untuk uang jajan. Dalam konteks ini, kondisi atau lingkungan internal sekolah menjadi masalah tersendiri bagi anak
dari keluarga miskin.
113 Demikian halnya yang dialami oleh anak bernama Agung 12, anak ke
tiga dari 5 orang anak paasangan Adang dan Ny. Tini yang beralamat di Desa Cipanas Kecamatan Cipanas yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah pada
kelas IV SD pada tahun 2005. Alasannya bukan oleh karena masalah beratnya membayar SPP seperti sebelum ada pembebasan biaya sekolah, tetapi lebih oleh
karena ketidakmampuannya untuk bisa membeli perlengkapan seolah seperti untuk membeli buku, seragam, bahkan untuk membayar iuran keterampilan
yang masih diminta oleh pihak sekolah. Alasan karena orang tuanya ingin melanjutkan pendidikan anaknya ke
pesantren, adalah faktor lain yang di kabupaten Cianjur cukup berpengaruh terhadap upaya penuntasan Wajar Dikdas 9 tahun. Kecenderungan ini sesuai
dengan budaya ”ngaos” yang memang melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Cianjur, tegas beberapa tokoh masyarakat yang sempat
diwawancarai. Itulah yang antara lain dialami oleh Yuyu 14, anak ke tujuh dari tujuh anak pasangan Supriatna dan Ny. Popon yang pendidikannya hanya
tamat SD itu. Itulah pula yang dialami oleh Yusuf 15, anak ke dua dari empat bersaudara yang bertempat tinggal di Desa Gunungsari Kecamatan Sukanagara
yang meninggalkan bangku sekolah hanya sampai kelas V SD pada tahun 2004 hanya karena cita-citanya ingin jadi ustadz.
Hal yang sama juga dialami oleh Siti Nurhaeni 14, satu dari empat anak pasangan Ujang Husen dan Ny. Enok Sadiah yang beralamat di Desa
Bobojong Kecamatan Mande. Bedanya, jika Yusuf masuk pesantren karena memang ingin jadi ustadz, maka Siti Nurhaeni masuk pessantren karena desakan
ekonomi.
114 Persisnya, setelah anak dari pasangan orang tua yang pekerjaanya hanya
sebagai buruh itu lulus SD pada tahun 2006, ia didorong orang tuanya melanjutkan pendidikan ke Pesantren dengan alasan faktor biaya yang ditangkap
dari ceritera para orang tua yang mejadi tetangganya. Nahasnya, baru dua bulan di pesantren anaknya sudah dibawa pulang karena ketidakmampuan orang tua
untuk memberi bekal makan anaknya. Karena kemiskinan, singkatnya, si anak haris rela tidak bisa menikmati pendidikan, bahkan untuk pendidikan pesantren
yang tidak memungut biaya sekali pun.
2. Beberapa Faktor Utama Penyebab