131 keberhasilan sebuah organisasi, dalam hal ini Tim Koordinasi, dianggap tercapai
apabila proses internal organisasi berjalan lancar. Lebih jauh ditegaskan Daniel Katz dan Robert Kahn, dalam Bryant
White 1987, ”bahwa pada tingkat pertama, keberhasilan implementasi sebuah kebijakan dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkannya dapat dilihat dari
konteks proses internal organisasi melalui kerjasama, yang antara lain ditinjau dari berjalannya koordinasi dengan baik dan efektif”
Kalau pun ada beberapa pihak yang terlibat, terutama Tim yang ada pada tingkat kecanatan dan Desa, demikian hasil pengamatan peneliti, maka
perannya tidak lebih dari sebatas melakukan kegiatan pendataan dan pemetaan sasaran sebagai bagian kecil dari tugas merumuskan perencanaan atau program.
Sementara pelaksanaan tugas dan fungsi yang lainnya, terutama menyangkut kegiatan sosialisasi, termasuk penggerakan masyarakatnya, ternyata lebih
banyak dilakukan oleh petugas internal dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Itu pun dilakukan hanya dengan memanfaatkan forum-forum pertemuan internal
yang ada. Dengan kata lain, tidak ada ”gerakan” yang meniscayakan arti pentingnya kebersamaan dan pelibatan banyak pihak dalam implementasi Wajar
Dikdas sebagaimana yang sering didengang-dengungkan.
3. Kajian Terhadap Kegiatan Sosialisasi
Jika Tim Koordinasi dibangun dalam rangka memperkuat kelembagaan yang diharapkan mampu menjadi motor penggerak dalam implementasi
pelaksanaan Wajar Dikdas 9 tahun di semua tingkatan, dan karenanya hadir menjadi salah satu aktor atau pelaku kebijakan, maka kegiatan sosialisasi
132 ditujukan dalam rangka meyakinkan arti pentingnya pelaksanaan kebijakan
Wajar Dikdas 9 Tahun bisa dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun dari hasil penelitian terungkap bahwa sosialisasi kebijakan yang
dalam kajian teoretis merupakan salah satu faktor yang akan menentukan keberhasilan dalam implementasi sebuah kebijakan, termasuk dalam
implementasi kebijakan Wajar Dikdas 9 tahun, ternyata belum secara optimal dilakukan, lebih-lebih jika dikaitkan dengan esensi sebuah gerakan yang
meniscayakan arti pentingnya kesemarakan dan keserentakan dalam melakukan sebuah kegiatan.
Konkritnya, demikian terungkap dari hasil penelitian, bahwa dari aspek pelaku atau implementor, maka praksis sosialisasi Wajar Dikdas 9 tahun
dilapangan baru banyak dilakukan oleh pejabat dan petugas, terutama petugas dan pejabat dari lingkup Dinas Pendidikan. Sementara keterlibatan pihak-pihak
lain, terutama dari kalangan tokoh masyarakat masih jauh dari esensi sebuah gerakan. Ini semua terjadi, disamping karena sosialisasinya yang memang
kurang intens, cakupannya yang sempit, juga karena pelaksanaannya yang tidak terkoordinasi dengan baik. ”Kami tidak pernah diikutsertakan dalam
perumusan rencananya, apalagi dalam pelaksanaannya”, kata beberapa tokoh masyarakat yang sempat diwawancarai.
Dari aspek waktu, gerakan sosialisasi juga berlangsung hanya pada momentum-momentum khusus, sebut saja selama pada masa pencanangan,
tetapi tidak berlangsung lama dan terus menerus sebagaimana yang diharapkan. Bahkan dari dimensi ruang atau tempat, sosialisasi Wajar Dikdas Juga
133 cenderung berlangsung hanya pada tempat-tempat yang secara langsung
berkaitan dengan urusan pendidikan seperti sekolah artau ruang-ruang rapat, sementara banyak ruang strategis lain seperti mesjid atau majlis ta’lim belum
banyak disentuh dan termanfaatkan. Maka tidak mengherankan kalau muncul kesan bahwa pelaksanaan
Wajar Dikdas 9 tahun ini dipersepsi dan terkesan masih merupakan tugas dan urusannya pemerintah semata, bahkan cenderung dianggap merupakan tugasnya
Dinas Pendidikan. Singkatnya, sosialisasi atau ”kominikasi” kebijakan yang menurut George Edward 1990 merupakan salah satu variable penting yang
akan menentukan keberhasilan implementasi kebijakan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan.
4. Kajian Terhadap Pendataan Sasaran