Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Margarin

25 Tabel 19. Konsumsi Minyak Sawit oleh Industri Fatty Acid Tahun 2007-2011 ton Tahun Bahan Baku Fatty Acid Produksi Fatty Acid 2007 820.978 567 050 2008 936.974 605 060 2009 975.052 722 540 2010 1 155.103 632 871 2011 1 376.991 763 912 Sumber: CIC 2012c

2.4. Kebijakan Pemerintah Mengenai Minyak Sawit

Pemerintah bersama industri terkait selalu mengupayakan kemajuan industri hilir dari produk turunan kelapa sawit melalui berbagai kebijakan dengan tujuan untuk meningkatkan devisa negara dan menciptaan lapangan kerja baru. Pemerintah memiliki alternatif kebijakan untuk mengurangi ekspor minyak sawit dan memastikan terpenuhinya kebutuhan minyak sawit domestik, yaitu Domestic Market Obligation DMO. Sesuai dengan Undang-Undang No.18 tentang perkebunan yang mengamanatkan keamanan penawaran minyak sawit dalam negeri Novindra 2011. Sejalan dengan alternatif kebijakan pemerintah, dimana minyak sawit sebagai salah satu hasil perkebunan kelapa sawit perlu dibatasi ekspornya dalam bentuk mentah untuk menciptakan daya saing yang lebih tinggi, untuk itu selanjutnya diperlukan pengembangan industri hilirnya dan keamanan pasokan minyak sawit dalam negeri. Intervensi pemerintah dengan instrumen pajak fiskal merupakan komponen penting untuk pengembangan industri hilir. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar terhadap Barang Ekspor memberikan dasar hukum yang kuat bagi upaya pembatasan ekspor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Peraturan ini memberikan kewenangan kepada menteri keuangan untuk menetapkan besaran tarif bea keluar untuk barang ekspor setelah mendapatkan masukan dari kementerianinstansi terkait. Pengenaan bea keluar bertujuan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dalam negeri, melindungi kelestarian sumberdaya alam, mengantisipasi kenaikan harga yang cukup drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional dan menjaga stabilitas harga komoditi tertentu di dalam negeri Permenkeu 2008. Berdasarkan Permenkeu tersebut, Kementerian Perdagangan pada tanggal 13 September 2011 mengeluarkan Permendag Nomor 25M-DAGPER92011 26 tentang Perubahan atas Tata Cara Penetapan Harga Patokan Ekspor HPE atas Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar yang berlaku sejak tanggal dikeluarkannya dan Permendag Nomor 32 Tahun 2011 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor atas Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar. Adapun isi Permendag Nomor 32 Tahun 2011 adalah: 1. Penetapan harga patokan ekspor HPE ditetapkan dengan berpedoman pada harga rata-rata internasional atau harga rata-rata FOB dalam satu bulan terakhir sebelum HPE; 2. Tarif bea keluar untuk komoditi kelapa sawit, Crude Palm Oil CPO dan produk turunannya berpedoman pada harga referensi yang didasarkan pada harga rata-rata minyak sawit CIF Rotterdam, harga rata-rata CPO bursa Malaysia dan atau harga rata-rata bursa Jakarta; 3. Harga referensi CPO sebesar USD 1 009.51MT. Dalam Lampiran I Permendag Nomor 32 Tahun 2011 harga patokan ekspor HPE minyak sawit HS 1511.10.00.00 adalah sebesar 938 USDMT, Palm Fatty Acid Distilate 3823.19.10.00 adalah sebesar 808 USDMT, dan biodiesel 3824.90.90.00 adalah sebesar 1 065 USDMT. Dalam rangka peningkatan daya saing dan nilai tambah dari komoditas minyak sawit pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah PP Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh dalam tahun berjalan. Peraturan ini menjadi dasar hukum untuk Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130PMK.0112011 mengenai Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan atau yang sering disebut Tax Holiday untuk industri- industri khusus pionir termasuk diantaranya industri minyak sawit. Permasalahan dengan pengolahan produk hilir, produk perkebunan masih didominasi oleh komoditas olahan primer, padahal nilai tambah yang tinggi berada pada produk olahan dalam bentuk produk setengah jadi dan produk jadi, baik barang untuk keperluan industri maupun rumah tangga. Terbatasnya pengembangan pengolahan hasil perkebunan disebabkan oleh rendahnya konsistensi kualitas komoditas perkebunan dan terbatasnya pengembangan agroindustri di Indonesia. Upaya dalam mengatasi permasalahan pengembangan