Perkembangan Produksi Sabun Mandi dan Sabun Cuci di Indonesia

26 tentang Perubahan atas Tata Cara Penetapan Harga Patokan Ekspor HPE atas Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar yang berlaku sejak tanggal dikeluarkannya dan Permendag Nomor 32 Tahun 2011 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor atas Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar. Adapun isi Permendag Nomor 32 Tahun 2011 adalah: 1. Penetapan harga patokan ekspor HPE ditetapkan dengan berpedoman pada harga rata-rata internasional atau harga rata-rata FOB dalam satu bulan terakhir sebelum HPE; 2. Tarif bea keluar untuk komoditi kelapa sawit, Crude Palm Oil CPO dan produk turunannya berpedoman pada harga referensi yang didasarkan pada harga rata-rata minyak sawit CIF Rotterdam, harga rata-rata CPO bursa Malaysia dan atau harga rata-rata bursa Jakarta; 3. Harga referensi CPO sebesar USD 1 009.51MT. Dalam Lampiran I Permendag Nomor 32 Tahun 2011 harga patokan ekspor HPE minyak sawit HS 1511.10.00.00 adalah sebesar 938 USDMT, Palm Fatty Acid Distilate 3823.19.10.00 adalah sebesar 808 USDMT, dan biodiesel 3824.90.90.00 adalah sebesar 1 065 USDMT. Dalam rangka peningkatan daya saing dan nilai tambah dari komoditas minyak sawit pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah PP Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan PPh dalam tahun berjalan. Peraturan ini menjadi dasar hukum untuk Kementerian Keuangan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130PMK.0112011 mengenai Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan atau yang sering disebut Tax Holiday untuk industri- industri khusus pionir termasuk diantaranya industri minyak sawit. Permasalahan dengan pengolahan produk hilir, produk perkebunan masih didominasi oleh komoditas olahan primer, padahal nilai tambah yang tinggi berada pada produk olahan dalam bentuk produk setengah jadi dan produk jadi, baik barang untuk keperluan industri maupun rumah tangga. Terbatasnya pengembangan pengolahan hasil perkebunan disebabkan oleh rendahnya konsistensi kualitas komoditas perkebunan dan terbatasnya pengembangan agroindustri di Indonesia. Upaya dalam mengatasi permasalahan pengembangan 27 kualitas komoditas berkaitan erat dengan insentif ekonomi untuk meningkatkan kualitas komoditas. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia mengakibatkan ketersediaan dana menjadi kendala utama untuk melanjutkan percepatan pembangunan perkebunan. Pada awal krisis, tidak sedikit perusahaan perkebunan menghadapi masalah keuangan sehingga terpaksa menghentikan kegiatannya. Pembangunan perkebunan sempat mengalami stagnasi bahkan pada beberapa kasus perkebunan besar mengalami kerusakan karena dijarah dan dirusak masyarakat. Permodalan untuk perkebunan baik yang berasal dari masyarakat maupun lembaga keuangan, merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembangunan perkebunan. Sejak berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia dan LoI antara Pemerintah Indonesia dan IMF, kredit lunak menjadi sangat terbatas. Sejak saat itu, ketersediaan modal mengandalkan lembaga keuangan perbankan dan non perbankan dari dalam dan luar negeri dengan pola pengadaan dan penyaluran sistem komersial. Tahun 2006 pemerintah mulai memberi perhatian terhadap permodalan usaha perkebunan terkait dengan pengembangan industri hilir dalam meningkatkan nilai tambah pada komoditas sawit. Pemerintah mencanangkan subsidi kredit investasi untuk sektor perkebunan kelapa sawit. Hal ini sesuai dengan Peraturan Kementerian Keuangan Nomor 117PMK.062006 yang selanjutnya ditanggapi oleh Kementerian Pertanian melalui dikeluarkannya Peraturan Menteri Petanian Nomor 33PermentanOT.14072006 tentang subsidi kredit untuk pengembangan usaha perkebunan kelapa sawit melalui revitalisasi perkebunan. Selanjutnya kebijakan ini untuk penyalurannya bekerjasama dengan pihak perbankan melalui perjanjian Kerjasama Pendanaan antara Menteri KeuanganDirjen Perbendaharaan dengan 16 Bank Pelaksana PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Mandiri, PT BUKOPIN, PT BNI, PT BPD Sumatera Utara, BPD Sumatera Selatan, BPD Sumatera BaratBank Nagari, BPD Riau, BPD NAD, BPD Papua, PT Bank Niaga, PT Bank Agro, Bank Mega, Bank Artha Graha, PT BII, dan BPD Kalimantan Timur . Revitalisasi perkebunan yang dimaksudkan dalam upaya percepatan pengembangan perkebunan rakyat melalui perluasan, peremajaan dan rehabilitasi