II.2.2.2. Strategi Kebijakan Pembangunan Kawasan Perkotaan
Untuk menghadapi masalah dan tantangan dalam pembangunan kawasan perkotaan, strategi kebijakan yang harus dilakukan adalah Raharjo,2010:148:
1. Meningkatkan kemampuan pengelolaan perkotaan, khususnya dibidang
pembiayaan, pembangunan kota, pelayanan prasarana dan sarana umum, pelayanan sosial pendidikan, kesehatan, perumahan, dan pengelolaan tata
ruang dan pertanahan. 2.
Meningkatkan penanganan masalah sosial kemasyarakatan khususnya kejahatan perkotaan, tenaga kerja dan kemiskinan.
3. Meningkatkan kerja sama investasi dan pengelolaan prasarana dan sarana
umum antara pemerintah kota dan swasta. 4.
Meningkatkan dan mengembangkan fungsi kota sebagai pusat pemerintahan, pusat pertumbuhan dan pusat pelayanan.
II.2.2.3. Penataan Ruang Kawasan Perkotaan
Menurut Raharjo 2010:149 Penataan ruang kawasan perkotaan diarahkan pertama untuk mencapai tata ruang yang optimal, serasi, selaras dan seimbang
dalam pengembangan hidup manusia, kedua meningkatkan fungsi kawasan perkotaan secara serasi dan seimbang antara perkembangan lingkungan dan nilai
kehidupan masyarakat, ketiga mengatur pemanfaatan ruang kawasan perkotaan guna meningkatkan kemakmuran rakyat dan mencegah serta menanggulangi
dampak negatif terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial. Pada kawasan perkotaan diarahkan perkembangannya untuk berbagai
kegiatan perkotaan meliputi pemukiman perkotaan, sarana dan prasarana
Universitas Sumatera Utara
pemukiman fasilitas sosial dan fasilitas umum, infrastruktur jaringan jalan dan angkutan,air minum, drainase, air limbah, persampahan, listrik dan
telekomunikasi, kawasan fungsional perkotaan.
II.3 Pola Pemukiman
Permukiman yang menempati area paling luas dalam pemanfaatan ruang kota mengalami perkembangan yang selaras dengan perkembangan penduduk dan
mempunyai pola-pola tertentu yang menciptakan bentuk dan struktur suatu kota yang berbeda dengan kota lainnya. Intensitas penggunaan tanah di daerah pusat
kota yang tinggi dan mengakibatkan naiknya nilai harga tanah, sementara jumlah penduduk kota bertambah terus dan memerlukan tempat hunian yang pada
gilirannya memaksa penduduk kota memilih alternatif mendirikan perumahan kearah pinggiran kota. Koestor dkk 2001: 41.
Menurut Koestor dkk 2001: 42 Ada tiga pola pemukiman penduduk dalam hubungannya dengan bentang alamnya, pertama; Pola Pemukiman
Memanjang Linear. Pola pemukiman memanjang memiliki ciri pemukiman berupa deretan memanjang karena mengikuti jalan, sungai,
rel kereta api atau pantai. Dalam Pola ini terdapat empat bagian yaitu a Mengikuti Jalan; Pada daerah ini pemukiman berada di sebelah kanan kiri
jalan. Umumnya pola pemukiman seperti ini banyak terdapat di dataran rendah yang morfologinya landai sehingga memudahkan pembangunan
jalan-jalan di pemukiman. Namun pola ini sebenarnya terbentuk secara alami untuk mendekati sarana transportasi. b Mengikuti rel kereta api;
Pada daerah ini pemukiman berada di sebelah kanan kiri rel kereta api. Umumnya pola pemukiman seperti ini banyak terdapat di daerah
perkotaan terutama di DKI Jakarta dan atau daerah padat penduduknya yang dilalui rel kereta api seperti di kota Medan. c Mengikuti Alur
Sungai; Pada daerah ini pemukiman terbentuk memanjang mengikuti aliran sungai. Biasanya pola pemukiman ini terdapat di daerah pedalaman
yang memiliki sungai-sungai besar. Sungai-sungai tersebut memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan penduduk. d Mengikuti Garis
Pantai; Daerah pantai pada umumnya merupakan pemukiman penduduk yang bermata pencaharian nelayan. Pada daerah ini pemukiman terbentuk
memanjang mengikuti garis pantai. Hal itu untuk memudahkan penduduk dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu mencari ikan ke laut. Kedua
Universitas Sumatera Utara
Pola Pemukiman Terpusat dimana Pola pemukiman ini mengelompok membentuk unit-unit yang kecil dan menyebar, umumnya terdapat di
daerah pegunungan atau daerah dataran tinggi yang berelief kasar, dan terkadang daerahnya terisolir. Di daerah pegunungan pola pemukiman
memusat mengitari mata air dan tanah yang subur. Sedangkan daerah pertambangan di pedalaman pemukiman memusat mendekati lokasi
pertambangan. Penduduk yang tinggal di pemukiman terpusat biasanya masih memiliki hubungan kekerabatan dan hubungan dalam pekerjaan.
Pola pemukiman ini sengaja dibuat untuk mempermudah komunikasi antarkeluarga atau antarteman bekerja. Ketiga; Pola Pemukiman Tersebar
dimana pola pemukiman ini terdapat di daerah dataran tinggi atau daerah gunung api dan daerah-daerah yang kurang subur. Pada daerah dataran
tinggi atau daerah gunung api penduduk akan mendirikan pemukiman secara tersebar karena mencari daerah yang tidak terjal, morfologinya rata
dan relatif aman. Sedangkan pada daerah kapur pemukiman penduduk akan tersebar mencari daerah yang memiliki kondisi air yang baik. Mata
pencaharian penduduk pada pola pemukiman ini sebagian besar dalam bidang pertanian, ladang, perkebunan dan peternakan.
II.4. Asas-asas Pembangunan Perumahan dan Pemukiman
Alvi Syahrin 2003:106 mengemukakan beberapa asas Pembangunan Perumahan dan Pemukiman yang terdiri dari:
1. Asas Demokrasi, artinya pembangunan perumahan dan pemukiman
harus memperhatikan pengelolaan sumber daya alam serta adanya pengakomodasian kekuasaan dan kewenangan dalam mengelola antara
pusat dan daerah, transparan dalam pengambilan keputusan, meningkatkan partisipasi semua pihak yang terkait, tidak diskriminasi
dalam pembuatan dan implementasi. 2.
Asas Transparansi, artinya keterbukaan dalam proses pengambilan keputusan membuka ruang bagi peningkatan partisipasi dan
pengawasan publik dalam pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan perumahan pemukiman, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pemukiman, mulai dari perencaan, pelaksanan, pemantauan dan evaluasi.
3. Asas Koordinasi dan Keterpaduan antar sektor, artinya pengelolaan
pembangunan perumahan dan pemukiman dilakukan secara terintegrasi dengan saling memperhatikan kepentingan antar sektor,
sehingga dapat dibina hubungan yang saling mendukung dan kerjasama yang menempatkan kepentingan pelestarian fungsi
lingkungan dan keberlanjutan fungsi perumahan dan pemukiman diatas kepentingan masing-masing sektor.
4. Asas Efisiensi, artinya pemanfaatan sumber daya alam bagi
pembangunan perumahan dan pemukiman didasarkan pada pengelolaan secara bijaksana dan memperhatikan sifat dapat
diperbaharui renewable dan tidak dapat diperbaharui nonrenewable,
Universitas Sumatera Utara
dengan selalu memperhitungkan keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya alam bagi kepentingan geerasi kini dan mendatang.
5. Asas Desentralisasi, yaitu penyerahan wewenang tanggung jawab
pengelolaan perumahan dan pemukiman serta keterkaitannya dengan lingkungan hidup oleh pemerintah kepada daerah otonom, atau menteri
kepada birokrasi dibawahnya, sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan sesuai dengan karakteristik wilayah masing-masing daerah.
6. Asas Partisipasi Publik, artinya pengelolaan perumahan dan
pemukiman dalam kaitannya dengan kelestarian fungsi lingkungan, membuka kesempatan kepada masyarakat dan semua pihak yang
terkait Stakeholder, untuk mengambil bagian aktif dalam pengelolaan dan pemukiman serta pelestarian lingkungan, mulai dari kegiatan
idnetifikasi dan inventarisasi, perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan dan evaluasi.
7. Asas Pengawasan Publik, artinya mekanisme dan prosedur
pengawasan masyarakat dan semua pihak yang terkait stakeholder dalam pengelolaan perumahan dan pemukiman serta pelestarian fungsi
lingkungan, dengan mengambil bagian aktif dalam melakukan pengawasan yang efektif.
8. Asas Akuntabilitas Publik, artinya upaya yang harus direncanakan dan
dilaksanakan oleh pihak pengelola pembangunan perumahan dan pe mukiman serta pelestarian fungsi lingkungan, khususnya mengenai
hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan publik dan kepentingan masyarakat, sebagai bentuk pertanggungjawabannya kepada rakyat
atas segala tindakan yang dilakukan dalam pengelolaan secara transparan.
9. Asas Informasi dan Persetujuan, artinya memberikan informasi yang
benar dan meminta persetujuan masyarakat dalam pembangunan perumahan dan pemukiman serta pelestarian fungsi lingkungan,
dengan persetujuan tersebut didasarkan pada prinsip kebebasan dari pihak yang memberi persetujuan.
II.5. Masalah dan Tantangan dalam Pembangunan Pemukiman
Masalah utama dalam penyediaan sarana hunian, khususnya di pemukiman perkotaan adalah Raharjo, 2010:139:
1. Tingginya kebutuhan akan tempat tinggal, tempat usaha dan tempat
memproduksi beserta prasarana dan sarana pendukungnya sedangkan lahan yang tersedia terbatas.
2. Belum stabilnya iklim usaha perumahan dan pemukiman di kota.
Universitas Sumatera Utara
3. Belum optimalnya sistem penggalangan dana masyarakat sebagai sumber
pembiayaan pembangunan sarana hunian. 4.
Belum mantapnya sistem penyediaan sarana hunian bagi masyarakat yang berpendapatan rendah dan masyarakat miskin.
5. Masih rendahnya kualitas pelayanan prasarana dan sarana pemukiman
seperti air bersih, air limbah persampahan, drainase dan penanggulangan banjir, jaringan jalan, lalu lintas dan transportasi umum, pasar, sarana
sosial dan jalur hijau.
II.6. Strategi Kebijakan Pembangunan PerumahanPemukiman
Untuk mencapai tujuan pembangunan pemukiman Raharjo 2005:141 memaparkan strategi kebijakan yang dapat dilakukan pertama, mengembangkan
sistem penyediaan, pembangunan dan perbaikan sarana hunian yang layak, murah dan terjangkau oleh masyarakat khususnya masyarakat yang berpendapatan
rendah. Kedua meningkatnya kemampuan pengelolaan pelayanan prasarana dan sarana pemukiman di kawasan perkotaan dan pedesaan. Ketiga mengendalikan
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan pedesaan agar tidak digunakan secara berlebihan. Keempat meningkatkan kerjasama investasi dan pengelolaan
pelayanan prasarana dan sarana pemukiman antara pemerintah dan masyarakat.
II.7. Arahan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sistem Pemukiman
Langkah-langkah dalam melakukan pengendalian ini menurut Raharjo 2010:141 dilakukan dengan dua tahapan yaitu tahap pemantauan dan tahap
evaluasi, tahap pemantauan yaitu pemantauan terhadap pemanfaatan ruang sistem
Universitas Sumatera Utara
pemukiman dimaksudkan sebagai identifikasi menyangkut beberapa hal yaitu pertama klasifikasi sistem pemukiman yang ada dikabupatenkota dihubungkan
dengan pemanfaatan ruangnya, kedua identifikasi pertumbuhan sistem-sistem pemukiman dan penyebaran diwilayah kabupatenkota, ketiga konservasi lahan-
lahan produktif untuk pemanfaatan kawasan pemukiman, keempat ketersediaan dan kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ruang sistem pemukiman dan syarat-
syarat pengembanganpembangunan sistem pemukimanyang tercantum di kabupatenkota. Tahap evaluasi pertama evaluasi terhadap kecenderungan atau
proporsi dominan sistem pemukiman dan apakah penyebarannya telah merata dalam wilayah kabupatenkota, kedua mengevaluasi kompleksitas fasilitas
penunjang sistem pemukiman dan apakah penyebarannya telah merata pada wilayah kabupaenkota, ketiga mengevaluasi penggunaan ruang untuk
pengembangan sistem
pemukiman terhadap
lahan-lahan produktif
dikabupatenkota dan terakhir evaluasi tingkat ketersediaan kesesuaian lahan diperlukan kapling siap bangun dan lingkungan siap bangun sebagai pemanfaatan
ruang untuk pengembangan sistem pemukiman dikabupatenkota.
II.8. Pemukiman Kumuh II.8.1. Pengertian Pemukiman Kumuh
Menurut Raharjo 2010:118 Kumuh atau slum adalah permukiman atau perumahan orang-orang miskin kota yang berpenduduk padat,terdapat dilorong
yang kotor dan merupakan bagian dari kota secara keseluruhan, juga biasa disebut dengan wilayah pencomberan semraut.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Raharjo2010:11 pengertian lingkungan permukiman kumuh secara umum diperkotaan yaitu:
a. Dari segi fisik : pada umumnya tanahnya sempit, pola penggunaan tanah
tidak teratur, prasarana yang tidak baik,pembuangan air limbah yang tidak baik sehingga mudah menimbulkan wabah penyakit,rumah yang dibuat
pada umumnya semi permanen dan dalam kondisi yang mudah rusak. b.
Dari segi sosial: penduduk padat dengan area yang terbatas, tingkat pendidikan dan kesehatan yang terbatas, sifat gotong royong relatif lebih
kuat dibandingkan masyarakat kota lainnya. c.
Dari segi hukum: sebagian besar kawasan kumuh umumnya terbentuk tanpa melalui prosedur perundang-undangan yang ada, hal ini disebabkan
langka dan mahalnya tanah perkotaan. d.
Dari segi ekonomi: mata pencarian yang heterogen, sector perekonomian yang bersifat informal seperti : penarik becak, buruh pedagang kaki lima
II.8.2. Kebijakan Kuratif Terhadap Pemukiman Kumuh