Studi Kasus Masyarakat Kampung Aur

digunakan untuk membuang kotoran, tapi air yang mengalir membuat masyarakat merasa tidak ada masalah dengan itu. sarana air yang selalu ada untuk mencuci dan mandi tidak membuat masyarakat jadi kesulitan seperti kalau tinggal dirumah susun, niat pemerintah untuk menjadikan pemukiman di kampung aur menjadi lebih baik tidak dibarengi dengan kemampuan masyarakat untuk mencicil rumah tersebut, sama saja jika pemerintah menyediakan rumah susun yang tidak disukai masyarakat lalu masyarakat harus kembali membayar kepada pemerintah, pada saat ini bisa makan saja sudah syukur bagi masyarakat, lebih baik tinggal dirumah sendiri yang seadanya dan tidak perlu membayar cicilan perbulan. wawancara dengan ibuk Nurhayati, tinggal dilingkungan IV di Jalan Aur sejak kecil sampai memiliki 3 orang anak yang paling besar kelas 3 SMP Hal ini serupa dengan keinginan masyarakat yang berada di pemukiman kumuh dan liar yang ada di Kelurahan Tegal Sari Mandala II Kecamatan Medan Denai hasil penelitian dari mahasiswi usu Adina Sari Lubis fakultas teknik, dalam thesisnya yang bejudul Kajian Karakteristik Pemukim Kumuh dan Liar di Perkotaan yang ditulis pada tahun 2010, didalam penelitiannya menyebutkan bahwa masyarakat yang tinggal dipemukiman kumuh dan liar tidak menginginkan tinggal di rumah susun, tipe rumah yang mereka idamkan 95,89 menjawab ingin memiliki rumah tunggal jika harus pindah dari pemukiman tersebut.

V.10. Studi Kasus Masyarakat Kampung Aur

Salah satu masyarakat yang sempat diwawancara secara mendalam oleh peneliti bernama Anwar dengan umur kisaran 56 tahun selama ini bertahan hidup menjadi tukang upah jahit pakaian, dengan istri berjualan sarapan. Pak Anwar Universitas Sumatera Utara memiliki 3 orang anak, dengan anak tertua berumur 17 tahun yang kini berada dibangku kelas 3 SMA , dia mengaku bahwa kemungkinan tidak mampu untuk mennguliahkan anaknya tersebut, namun berharap anaknya bisa bekerja dan menghasilkan uang, dengan begitu keuangan keluarga menjadi lebih terbantu Tingal di kampung aur sudah lebih dari 15 tahun, dan status rumah menyewa, karena biaya kontrak rumah yang murah membuat pak Anwar bertahan tinggal di rumah sewa tersebut, tidak terkira berapa kali terkena banjir, sampai hampir mengenai atap rumah, namun tidak ada jalan lain bagi pak anwar selain bertahan. Pak anwar mengakui bahwa mereka tidak memiliki daya apapun untuk melawan kebijakan pemerintah, lagi pula status kepemilikan rumah juga bukan milik sendiri, hanya saja kalau bisa memilih memang lebih mau tinggal di rumah sewa tempatnya tinggal kini. Dengan penghasilan yang tidak tetap membuat kehidupan menjadi serba sulit, rumah kontrakan yang hanya dua juta pertahun sangat meringankan beban dalam memiliki tempat untuk berlindung. Berbeda dengan kasus pak Arsil Tanjung mantan kepala lingkungan Kampung Aur yang menjabat pada tahun 2007-2009, Ia mengakui bahwa sangat tidak setuju dengan adanya pembukaan lahan rusun tanpa ganti rugi, karena rumah yang ditempati oleh pak Arsil adalah milik pribadi. Pak arsil mengakui bahwa kehidupannya di Kampung Aur sudah nyaman, walaupun rumah yang ditempati tidak besar. berbeda dari tempat tinggal Pak Anwar, rumah pak Arsil yang sedikit menjorok kebelakang dan tanah relatif lebih tinggi, tidak pernah merasakan banjir. Pak Arsil bagai mantan kepala lingkungan lebih memahami persoalan undang-undang agraria tentang kepemilikan tanah, sehingga itu juga yang Universitas Sumatera Utara dijadikannya kekuatan untuk bertahan di kampung Aur, tidak ada ganti rugi maka tidak ada pula pembongkaran, ia mengaku siap untuk pindah dari kampung Aur dari pada tinggal di rumah susun yang disiapkan pemerintah walaupun nantinya rumah susun tersebut berstatus milik pribadi. Orang tua seperti pak Arsil sudah tidak kuat untuk naik turun tangga rumah susun setiap hari. Pemerintah biasanya tidak mau ambil tau setelah bangunan selesai dan masyarakat menetap dirumah susun tersebut maka masyarakatpun ditelantarkan, seperti yang terlihat di Jakarta, apalagi setelah 20 tahun masa bangunan, masyarakat akan diusir dari rumah susun tersebut, dan tidak punya tempat tinggal lagi. Hal tersebut yang menjadi pertimbangan pak Arsil. Menurutnya tinggal di Kampung Aur sudah nyaman, Kebijakan pemerintah untuk membuat rumah susun tanpa ganti rugi dan lahan menjadi milik masyarakat secara bersama, hal itu tentu merugikan masyarakat yang sudah tinggal bertahun-tahun dilingkungan Kampung Aur,dan untuk yang memiliki usaha rumah kontrak di kelurahan Aur, tidak akan mendapat pemasukan lagi, walaupun hasil yang diperolehnya tidak banyak, namun bisa untuk menambah pengasilan masyarakat tersebut. Pemerintah yang menginginkan kebijakan ini ada, maka harus ada ganti rugi bagi masyarakat, setelah itu terserah pemerintah mau membuat pemukiman ini menjadi rumah susun atau apartemen, yang penting saya dan keluraga memilih untuk pindah dan tinggal dirumah baru yang tentunya rumah tunggal itu yang diucapkan oleh pak Arsil. Pergantian rugi tersebut juga suatu cara bagi nya untuk memperbesar kesempatan masyarakat dalam membuka atau memperbesar usaha, sehingga masyarakat bisa lebih berdaya. Universitas Sumatera Utara

BAB VI SINERGITAS PEMERINTAH DAN MASYARAKAT SEBAGAI

STRATEGI DALAM MENGURANGI PEMUKIMAN KUMUH DI KELURAHAN AUR Dalam penelitian ini, penulis menganalisis dan menginterpretasikan data yang dikumpulkan dan disajikan pada bab sebelumnya. adapun jenis metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, dimana data dan fakta yang didapatkan dilapangan dideskripsikan sebagaimana adanya diiringi dengan penafsiran dan analisa rasional. Analisa data dilakukan dari seluruh data yang telah disediakan secara menyeluruh yang diperoleh selama penelitian, baik melalui wawancara, studi kepustakaan serta observasi fenomena fenomena yang ada kaitannya dengan strategi pembangunan perkotaan untuk mengatasi pemukiman kumuh di Kota Medan. Di dalam menganalisis data ini, penulis menggunakan indikator sesuai dengan teori yang telah dipaparkan sebelumnya, dengan melihat fakta yang terjadi di lapangan.

VI.1. Koordinasi yang tidak Efektif antara Pemerintah dan Masyarakat

Koordinasi antar Bappeda dan SKPD seperti Dinas Perumahan dan Pemukiman serta Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan masih menunjukkan kurang memuaskan dimana koordinasi yang mereka jalankan belum terjadi secara maksimal artinya dari hasil wawancara yang dilakukan, pihak Bappeda mengakui Universitas Sumatera Utara